Sabtu, 30 Desember 2017

Rumah diantara Kabut_bagian 5

Hawa dingin menembus melalui sela-sela jendela, meski telah ditutup rapat-rapat. Embun menghiasi dinding-dinding kaca yang membeku. Di sebelah timur, matahari mulai menampakkan benang-benang emasnya diantara kabut. Beberapa rombongan wisatawan yang terlambat mulai bergegas, menuju arah bukit Sikunir. Menurut penduduk sekitar, setiap pagi bukit kecil itu tak pernah sepi oleh orang-orang yang ingin menyaksikan “telor ceplok raksasa”.

Anggi menghela nafasnya yang berasap. Jaket tebalnya ia rapatkan. Bus kecil itu mulai bergerak menuju desa Parikesit. Sepanjang jalan, terhampar perkebunan carica dan kentang. Beberapa petani memikul keranjang-keranjang kecil hasil panen mereka.

Disebuah tikungan, bus mengerem mendadak. Seorang ibu dengan karungnya melambaikan tangan. Kondektur mulai mengangkut karung berisi kentang-kentang segar. Ibu berkerudung selendang itu duduk disamping Anggi.

Bus kembali melaju dalam keheningan. Terkadang terdengar percakapan sopir dengan kondektur dalam bahasa daerah yang tak dimengerti Anggi. Si ibu menoleh kearahnya, dan tersenyum. Ia menawarkan permen jahe rumahan tanpa merk.

“Monggo, mbak. Permen jae damelane kula kiyambak..”

Anggi menggeleng. “Maaf, saya tidak paham.”

“Oh, orang Jakarta ya?” Si ibu tersenyum lebar, mencoba berbahasa Indonesia dengan logat jawanya.
Anggi tersenyum. Ia mengangguk sambil menggosok-gosokkan tangannya yang kaku.

“Ini lho, makan ini biar anget. Mbaknya mau kemana?”

“Desa Parikesit, Bu. Masih jauh ya?”

“Ohh, ndak kok. Kula..eh aku juga mau kesana, ketempat menantu sekalian kondangan.”

“Wah..kebetulan sekali ya.” Anggi tersenyum. Permen jahe buatan ibu itu memang enak. Hangat dan manis.

“Mbaknya mau kerumah siapa? Barangkali aku kenal.”

Bus kembali mengerem mendadak. Truk didepannya tiba-tiba berhenti.

“Ah, teman saya. Namanya Ibrahim. Syarif Ibrahim.”

Si ibu terlihat mengernyitkan keningnya, mencoba berpikir. Beberapa penumpang sekilas melihat kearah mereka yang bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia.

“Ibrahim, putranya Pak Bahar bukan? Yang di Wadas Putih?”

Anggi menggeleng. “Saya tidak tahu. Saya kesini pun belum tahu rumahnya.”

“Lho, apa ndak takut nyasar? Kok temanmu itu ndak jemput atau kasih alamat yang jelas.”

“Dia tidak tahu saya kesini kok. Ah, ibu namanya siapa?”

“Panggil saja Mbok Ranggi. Lha mbak siapa?”

Sambil tertawa, Anggi menggenggam tangan mbok Ranggi. “Saya Anggi, mbok.”

Wanita setengah baya itu terkejut, karena namanya hampir sama.

“Oalah, lha kok mirip ya. Eh, mbak Anggi kalau mau, ikut mbok dulu saja. Nanti biar mbok bantu cari teman kamu itu. Kebetulan kondangannya juga ndak jauh dari rumah menantu saya. Nanti selesai kondangan kita ke kelurahan.” Mbok Ranggi menawarkan bantuan. Entah kenapa, Anggi merasa percaya dengan wanita desa yang polos namun sopan dan berwibawa itu.

“Baiklah. Terimakasih sebelumnya, mbok.”

Tiga puluh menit kemudian bus berhenti. Mbok Ranggi mengajaknya turun.

”Dari sini, kita naik ojek mbak.”

Mbok Ranggi memesan dua ojek. Anggi memaksa untuk membayar tarifnya, setelah wanita itu beberapa kali menolak.

Jalanan mulai terjal. Beberapa kali sangat licin karena guyuran hujan semalam. Kepala Anggi sangat berat. Dua hari ia kurang tidur, meski telah mendapatkan tempat penginapan di sekitar Wonosobo. Ia hanya ingin memastikan, laki-laki itu baik-baik saja meski harus berkorban meninggalkan Arumi beberapa hari dan naik kereta ke Jawa Tengah.

Ojek memasuki wilayah perkampungan. Pemandangan hijau disekitar sedikit meringankan lelah. Mbok Ranggi yang berada di depan menunjukkan sebuah tempat. Sebuah hiasan janur kuning melengkung, masih sangat segar. Dibawahnya tergantung sebuah tulisan tangan yang indah. Ibrahim bin Bahar & Alisa binti Mahmud. Anggi merasa jantungnya berhenti sesaat. Ia tak melihat mempelai, karena acara belum dimulai. Merekapun berhenti disebuah rumah berpagar bambu. Rumah menantu Mbok Ranggi.

“Nah, sudah sampai mbak. Ini anakku.”

Mbok Ranggi memperkenalkan seorang wanita dua puluh tahunan yang menggendong bayi laki-laki. Wanita itu sempat bertanya sebentar kepada ibunya, sebelum kemudian tersenyum dan mempersilahkan masuk.

Sesaat setelah melepas lelah, Anggi membantu Ratih, anak Mbok Ranggi menyiapkan sarapan. Bayinya di gendong sang nenek di halaman.
“Maaf, mbak merepotkan..”

Ndak apa-apa mbak. Anggap saja kami keluarga.”

“Oh ya..kalau boleh tahu, yang menikah itu namanya  siapa? Ah, laki-lakinya maksud saya..”

Ratih merendam potongan kentang dengan air garam. “Itu teman sekolah aku dulu mbak. Namanya Ibrahim, anaknya Pak Bahar. Belum lama ini dia dibawa pulang karena kecelakaan. Terus setelah sembuh, sama bapaknya dijodohin..”

Muka Anggi pucat. Jantungnya seperti tersengat hawa dingin pegunungan Dieng. Ratih terkejut.

“Kenapa, mbak?”

“Dia..kerja dimana?”

“Emm..di Jakarta.”

Anggi merasa perutnya sangat mual. Bayang-bayang janur kuning menjerat kepalanya yang semakin berat. Ratih yang panik menuntunnya ke ruang depan. Ia tak sadarkan diri.

*

Arumi memperhatikan Ran yang sedang mengaduk bubur ayam. Aroma sedap menyebar di dapur kecil itu. Mbak pengasuh beberapa kali mengajak gadis kecil itu keluar dari dapur, namun Arumi selalu menolak.

“Arumi mau lihat Tante Ran masak.” Rengeknya.

Ran tertawa. Ia mengambil sesuap kecil bubur yang masih meletup-letup, mendiamkannya sebentar, lalu diberikan ke Arumi.

“Enak nggak, sayang?”

Arumi mengangguk sambil mendecapkan lidahnya. Ia pun mengambil mangkuk kecil.

“Arumi mau kasih ke Tante Anggi.”

“Sebentar ya, masih panas.”

Ran mematikan kompor saat Doni menelepon. Ia menanyakan jam berapa harus menjemputnya. Ran menatap jam di dinding ruang tengah. Masih 5 jam lagi sebelum film mulai.

“Dua jam lagi, mas. Ini baru selesai buat bubur.”

Anggi terbaring dengan selimut tebal. Wajahnya sangat pucat, namun panasnya sudah mulai turun setelah dikompres. Ran menggenggam tangannya yang dingin.

“Makan dulu, mbak. Ini Arumi mau suapin katanya.”

Anggi tersenyum. Ran sangat prihatin setelah tadi Arumi meneleponnya. Sudah tiga hari wanita itu demam. Mbak pengasuh sudah memanggil dokter, namun belum ada perubahan.

“Makasih ya, Kirana. Kamu apa kabar?”

Ran memijit lengannya yang terasa lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu. “Alhamdulillah, sudah baik mbak. Setelah operasi, saya sudah nggak kerja lagi.”

Arumi mengaduk dan meniup bubur yang masih mengepul agar cepat dingin. Anggi tersenyum melihat tingkahnya.

“Arumi, kenapa kamu malah menelepon Tante Ran?”

Gadis itu terlihat cemberut. Mbak pengasuh mengusap kepalanya.

“Tadi Arumi menelepon Tante Farah, tapi malah dimarahin. Suaranya juga berisik sekali.”

Anggi menatap mbak pengasuh. Wanita muda itu mengangguk. “Iya, Bu. Sepertinya Mbak Farah sedang mabuk.” Bisiknya.

Anggi baru ingat, temannya itu sedang berlibur dengan kapal pesiar. Mungkin ia tidak tahu kalau Arumi yang menelepon.

Selesai makan, Anggi menyuruh Arumi untuk mandi. Ran menatap mata Anggi yang terlihat gelisah.
“Kalau nggak keberatan, ceritakan saja apa masalah mbak. Siapa tahu saya bisa bantu..”

Anggi menunjukan beberapa gambar di HPnya. Ran mengamati daerah dalam foto tersebut.

“Ini..seperti di daerah Dieng.” Gumamnya.

“Iya. Beberapa hari yang lalu, aku kesana untuk mencari seseorang..”

Suara riang Arumi terdengar dari arah kamar mandi. Terkadang ia berteriak kecil saat sabun mengenai matanya.

Ran mengulurkan tisu, menyeka butiran air mata di pipi tirus Anggi yang sedang rapuh. Ia menggenggam kedua tangan berjari lentik itu.

“Ran, kamu bisa membantuku…menjadi, muallaf?” Suara Anggi lirih. Ada getar dalam kata terakhir.

Insya Allah, mbak. Tentu saja dengan senang hati.”

Ran sempat terkejut dengan pilihan wanita itu. Bagaimanapun, ini bukanlah pilihan mudah jika bukan dari keikhlasan hati.

Arumi telah selesai mandi. Mbak pengasuh pun mengetuk pintu kamar Anggi untuk meminta izin shalat ashar. Namun ia terkejut saat melihat wanita itu tengah bersimpuh dalam balutan mukena putih bersih, bersama Ran yang menuntunnya untuk membaca kalimat syahadat.

Suara iqomah terasa berbeda di senja penuh makna, mengiringi lafal indah yang mengawali kehidupan baru seorang wanita muallaf.


**

Tidak ada komentar :

Posting Komentar