I
often close my eyes, and i can see you smile
You
reach out my hand, and i’m woken from my dream
Although
your herat is mine
It’s
hollow inside
I
never had your love, and i never will
And
every night, I lie awake
Thinking
maybe you love me like i’ve always loved you
But….
Lagu Kiss the Rain itu
terhenti. Anggi mengeluh, ia lupa membawa power
bank. Baterainya habis.
Seorang waitress membawakan segelas red punch. “Ada tambahan lain, Bu?
Mungkin kentang goreng atau dimsumnya?”
“Ah, nanti saja. Saya
sedang menunggu teman.” Waitress itu
tersenyum, mengangguk, lalu kembali ke posisinya di dekat tiang. Stand bye dan mengawasi beberapa meja
lainnya.
Wanita itu meraih
tabloid wanita di dekat receptionist.
Ia langsung menuju halaman tengah, dimana sebuah cerpen dua halaman dimuat.
Kisah tentang seorang wanita yang sangat anti dengan rokok, minuman keras, dan
narkoba, namun justru jatuh cinta untuk yang pertama kalinya dengan pecandu
narkoba. Dahinya berkerut, saat melihat siapa pengarangnya. Little Bud.
“Sedang baca apa,
sampai berkerut begitu?”
Seseorang tiba-tiba
duduk didepannya. Anggi terkejut.
“Oh, Ibrahim. Sejak
kapan kamu sampai? Maaf, HPnya mati,
jadi nggak kasih kabar lagi.”
“Baru kok.” Laki-laki
manis itu tersenyum. Anggi mengalihkan pandangannya, menghindari senyum itu. Di
luar terparkir taxi biru laut. Ia tahu Ibrahim tidak bisa berlama-lama.
“Mau pesan apa?” Anggi
menyodorkan buku menu padanya. Tidak perlu waktu lama, ia pun memesan hot plate teriyaki, buncis bawang putih,
dan segelas orange juice. Anggi
memanggil waitress yang sama, dan
langsung memesan.
Sesaat suasana sangat
canggung. Anggi memainkan ponselnya yang mati.
“Ada yang mau dihubungi
ya? Nih, pakai punya saya saja.”
“Nggak kok. Nggak ada.”
Wanita itu lagi-lagi gugup. Ibrahim memang tidak pernah menatap matanya, namun
ia merasa tatapan laki-laki itu sangat berbahaya untuk jantungnya.
“Ah, kamu punya power bank?”
“Mmm..sepertinya ada di
taxi. Sebentar saya lihat dulu.”
Ibrahim keluar menuju
taxinya. Anggi menghela nafas panjang. Sejak tadi jantungnya tak beraturan dan
kini sedikit lega saat laki-laki itu pergi.
Pesanan datang
bersamaan dengan kembalinya Ibrahim. Lumayan cepat, melihat kondisi restoran
yang lumayan ramai.
“Pakai saja dulu.
Kebetulan tadi malam baru saya charge.”
Anggi mengangguk.
“Terimakasih.”
“Bagaimana
pekerjaan..?” Mereka terdiam sesaat, lalu tertawa. Bagaimana bisa melontarkan
pertanyaan yang sama. Anggi mengaduk red
punchnya. “Masih sama, hanya lebih baik dari sebelumnya.”
Ibrahim tersenyum.
Mereka tidak banyak
bicara. Ibrahim pun makan dengan sedikit tergesa. Anggi belum bisa menyalakan
HPnya, jadi ia hanya memandang keluar dan sesekali menghela nafas pelan-pelan.
Alunan musik restoran menutupi waktu yang bergulir tanpa kata.
“Mau pulang sekarang?
Biar saya antar.” Anggi mengangguk.
Di dalam mobil pun
mereka tak banyak bicara. Anggi mencoba menyalakan HPnya. Beberapa pesan masuk,
beberapa dari Farah. Wanita itu mengirim sebuah foto tiket kapal pesiar
terkenal, star cruise selama 3 hari,
tiket pesawat ke Singapura, dan terakhir foto seorang laki-laki setengah baya
bermata sipit. Ia bisa menduga, pacar baru Farah. Pengusaha Korea.
Suara adzan mengalun
dari HP Ibrahim. Anggi sedikit terkejut, karena laki-laki itu meminggirkan
taxinya.
“Ada apa?”
“Maaf, sedang adzan.
Saya mau shalat dulu sebentar di pom bensin itu, nggak apa-apa kan?”
“Oh ya, tentu. Si-lahkan.”
Anggi buru-buru mengangguk.
Ibrahim kembali dengan
wajah yang lebih segar. Anggi memandangnya dari balik kaca sebelum laki-laki
itu membuka pintu.
“Maaf ya mbak..”
“Panggil saja Anggi.
Sepertinya terdengar lebih akrab..ah maksudku kamu terlalu formal.”
Ibrahim tertawa. “Baiklah,
Anggi.”
“Mmm..Ibrahim..”
“Ya?”
“Aku…mau jadi..”
Anggi mengumpulkan
energinya, menenangkan jantungnya. Semalaman ia telah memikirkan baik-baik
keputusannya. Ibrahim tetap menyetir dengan wajah tenang.
“Mu-allaf..”
Anggi terlonjak, saat gerobak
tukang sayur tiba-tiba menyebrang dan Ibrahim menginjak rem mendadak.
“Ah, maaf..”
“Bisakah..?” Anggi
mengulang kata-katanya saat suasana kembali normal.
“Tentu, Alhamdulillah..” Ibrahim tersenyum
sangat manis. Anggi menyesal telah melihat, karena jantungnya kini lebih tak
terkondisikan.
“Datanglah ke masjid
kecil diantara rumah susun dekat fly over.
Setiap minggu sore saya mengajar anak-anak mengaji disana.”
Anggi mengangguk.
Sentuhan angin sejuk melembutkan denyut nadinya. Ia seperti menemukan jalan
baru yang lebih indah.
*