Rabu, 25 Oktober 2017

Rumah Diantara Kabut_bagian 5

I often close my eyes, and i can see you smile
You reach out my hand, and i’m woken from my dream
Although your herat is mine
It’s hollow inside
I never had your love, and i never will
And every night, I lie awake
Thinking maybe you love me like i’ve always loved you
But….

Lagu Kiss the Rain itu terhenti. Anggi mengeluh, ia lupa membawa power bank. Baterainya habis.
Seorang waitress membawakan segelas red punch. “Ada tambahan lain, Bu? Mungkin kentang goreng atau dimsumnya?”

“Ah, nanti saja. Saya sedang menunggu teman.” Waitress itu tersenyum, mengangguk, lalu kembali ke posisinya di dekat tiang. Stand bye dan mengawasi beberapa meja lainnya.

Wanita itu meraih tabloid wanita di dekat receptionist. Ia langsung menuju halaman tengah, dimana sebuah cerpen dua halaman dimuat. Kisah tentang seorang wanita yang sangat anti dengan rokok, minuman keras, dan narkoba, namun justru jatuh cinta untuk yang pertama kalinya dengan pecandu narkoba. Dahinya berkerut, saat melihat siapa pengarangnya. Little Bud.

“Sedang baca apa, sampai berkerut begitu?”

Seseorang tiba-tiba duduk didepannya. Anggi terkejut.

“Oh, Ibrahim. Sejak kapan  kamu sampai? Maaf, HPnya mati, jadi nggak kasih kabar lagi.”

“Baru kok.” Laki-laki manis itu tersenyum. Anggi mengalihkan pandangannya, menghindari senyum itu. Di luar terparkir taxi biru laut. Ia tahu Ibrahim tidak bisa berlama-lama.

“Mau pesan apa?” Anggi menyodorkan buku menu padanya. Tidak perlu waktu lama, ia pun memesan hot plate teriyaki, buncis bawang putih, dan segelas orange juice. Anggi memanggil waitress yang sama, dan langsung memesan.

Sesaat suasana sangat canggung. Anggi memainkan ponselnya yang mati.

“Ada yang mau dihubungi ya? Nih, pakai punya saya saja.”

“Nggak kok. Nggak ada.” Wanita itu lagi-lagi gugup. Ibrahim memang tidak pernah menatap matanya, namun ia merasa tatapan laki-laki itu sangat berbahaya untuk jantungnya.

“Ah, kamu punya power bank?”

“Mmm..sepertinya ada di taxi. Sebentar saya lihat dulu.”

Ibrahim keluar menuju taxinya. Anggi menghela nafas panjang. Sejak tadi jantungnya tak beraturan dan kini sedikit lega saat laki-laki itu pergi.

Pesanan datang bersamaan dengan kembalinya Ibrahim. Lumayan cepat, melihat kondisi restoran yang lumayan ramai.

“Pakai saja dulu. Kebetulan tadi malam baru saya charge.”

Anggi mengangguk. “Terimakasih.”

“Bagaimana pekerjaan..?” Mereka terdiam sesaat, lalu tertawa. Bagaimana bisa melontarkan pertanyaan yang sama. Anggi mengaduk red punchnya. “Masih sama, hanya lebih baik dari sebelumnya.”

Ibrahim tersenyum.

Mereka tidak banyak bicara. Ibrahim pun makan dengan sedikit tergesa. Anggi belum bisa menyalakan HPnya, jadi ia hanya memandang keluar dan sesekali menghela nafas pelan-pelan. Alunan musik restoran menutupi waktu yang bergulir tanpa kata.

“Mau pulang sekarang? Biar saya antar.” Anggi mengangguk.

Di dalam mobil pun mereka tak banyak bicara. Anggi mencoba menyalakan HPnya. Beberapa pesan masuk, beberapa dari Farah. Wanita itu mengirim sebuah foto tiket kapal pesiar terkenal, star cruise selama 3 hari, tiket pesawat ke Singapura, dan terakhir foto seorang laki-laki setengah baya bermata sipit. Ia bisa menduga, pacar baru Farah. Pengusaha Korea.

Suara adzan mengalun dari HP Ibrahim. Anggi sedikit terkejut, karena laki-laki itu meminggirkan taxinya.

“Ada apa?”

“Maaf, sedang adzan. Saya mau shalat dulu sebentar di pom bensin itu, nggak apa-apa kan?”

“Oh ya, tentu. Si-lahkan.” Anggi buru-buru mengangguk.

Ibrahim kembali dengan wajah yang lebih segar. Anggi memandangnya dari balik kaca sebelum laki-laki itu membuka pintu.

“Maaf ya mbak..”

“Panggil saja Anggi. Sepertinya terdengar lebih akrab..ah maksudku kamu terlalu formal.”

Ibrahim tertawa. “Baiklah, Anggi.”

“Mmm..Ibrahim..”

“Ya?”

“Aku…mau jadi..”

Anggi mengumpulkan energinya, menenangkan jantungnya. Semalaman ia telah memikirkan baik-baik keputusannya. Ibrahim tetap menyetir dengan wajah tenang.

“Mu-allaf..”

Anggi terlonjak, saat gerobak tukang sayur tiba-tiba menyebrang dan Ibrahim menginjak rem mendadak.

“Ah, maaf..”

“Bisakah..?” Anggi mengulang kata-katanya saat suasana kembali normal.

“Tentu, Alhamdulillah..” Ibrahim tersenyum sangat manis. Anggi menyesal telah melihat, karena jantungnya kini lebih tak terkondisikan.

“Datanglah ke masjid kecil diantara rumah susun dekat fly over. Setiap minggu sore saya mengajar anak-anak mengaji disana.”

Anggi mengangguk. Sentuhan angin sejuk melembutkan denyut nadinya. Ia seperti menemukan jalan baru yang lebih indah.

*

Rumah Diantara Kabut_bagian 4

Ran memuntahkan kembali potongan apel yang baru saja ia telan. Itu makanan pertama yang ingin ia makan sejak terbangun dari bius. Namun ternyata perutnya belum bisa menerima apapun, selain air putih yang dipaksakan. Kepalanya sangat berat. Luka bekas operasi terasa berdenyut saat bergerak.

Beberapa kali darah naik ke selang infus, namun itu tak lebih parah dari mual yang ia alami. Seorang perawat membawa nampan makan siang dan obat. Ran enggan menyentuhnya, melihatnya saja membuat perut kembali bergejolak.

Dengan sabar Doni menyuapkan nasi dan kuah lauk bacam tahu. Telur rebus ia singkirkan karena Ran tidak suka.

Sungguh lebih pahit dari menelan pil tanpa air. Ran mengerang. Doni menjauhkan sendok dan nasi yang baru beberapa butir masuk ke mulut.

“Jangan dipaksa, biarkan perutnya tenang dulu.” Lani datang membawa seikat kelengkeng dan sebungkus nasi padang. Wajah dan rambutnya terlihat lebih segar.

Doni mengernyit, prihatin. Digenggamnya tangan Ran.

“Makan dulu saja. Biar aku yang menjaga Ran.” Diulurkannya bungkusan nasi padang yang membuat perut tiba-tiba menjadi tak terkendali. Tapi Doni tampak  enggan.

“Makan dulu saja, mas. Aku nggak mau kamu ikut sakit.” Ran mengangguk. “Thanks, Lan.”

“Bagaimana keadaanmu?”

Ran mengangkat bahu sambil mengerang karena perutnya tiba-tiba perih. Lapar dan mual. Lani memijit kakinya.

“Tidak apa-apa. Itu efek obat biusnya. Yang penting perbanyak minum air putih.” Ran memejamkan matanya.

“Ah, kak Ira belum datang ya?”

“Mungkin sebentar lagi. Mau aku hubungi?” Lani mengeluarkan ponselnya. Ran menyebutkan 12 digit angka.

Belum sempat nada panggilan terhubung, pintu terbuka. Kak Ira muncul, masih dengan ransel di punggung. Wanita itu langsung memeluk Ran.

“Bagaimana kondisimu?”

“Tak lebih baik dari robek tersangkut semak.” Ran tersenyum. Kak Ira melepaskan pelukannya, mengangguk kearah Lani yang sempat terabaikan.

“Ah iya, mas Iwan tidak bisa ikut. Belum bisa cuti.”

Ran mengangguk. Bahkan ia sampai lupa wajah kakak iparnya. Pertama dan terakhir bertemu hanya saat pernikahan mereka.

Kak Ira menurunkan ranselnya. Ran baru menyadari sesuatu.
“Kakak hamil?”

Kak Ira tersenyum, meski agak kaget. “Sebenarnya ini kejutan. Dua bulan lagi kakak mau pulang, tujuh bulanan di  rumah ibu. Tapi sepertinya kamu tak pernah terkejut dengan hal mengejutkan apapun.”

Ran mengakui itu. Ia bukan keturunan cenayang, tapi tebakannya sering benar. Selalu ada perasaan tertentu sebelum terjadi sesuatu.

***