Hujan mengguyur saat
Ran membuka pintu. Lani langsung pulang setelah mengantarnya, karena banyak
cucian yang belum diangkat dari jemuran. Ran yakin wanita itu telah kuyup
bersama motor matic merahnya.
Angin menampar-nampar
daun jendela yang kurang rapat, menyibakkan tirai merah jambu dan meninggalkan
titik-titik air di permukaaan kaca. Baru menjelang ashar, tapi langit tak
peduli waktu. Ran menyalakan lampu, tapi ternyata terjadi pemadaman listrik.
Doni mengirim pesan, ia
kemungkinan pulang telat karena hujan pun mengguyur lebih lebat di daerah
tempat kerjanya.
Kilat menyambar dua
kali, menerangi ruang tamu kecilnya. Seperti radio usang, guntur mengerang
lambat-lambat lalu makin keras. Sesekali sangat keras dan tiba-tiba tanpa
disertai kilat, mulut Ran hanya komat-kamit membaca ayat-ayat suci. Ia menyesal
kenapa Lani tadi tidak mampir saja dan membiarkan jemurannya disapu hujan. Toh,
iapun pasti sudah kehujanan.
Tenggorokannya sangat
kering, namun ia enggan ke dapur mengambil air minum. Kakinya malah melangkah
ke jendela, menyeka titik-titik air dengan jari, mengukir namanya sendiri.
Memorinya kembali terlepas, menghambur bersama butiran hujan yang sedingin es.
Ia pernah berdiri disana, diantara kawanan hujan yang
mempermainkan gejolak hatinya. Maskara yang luntur, lipstick merah bata yang
berganti abu-abu, lalu seseorang menyeka matanya. Memastikan ia tidak menangis.
Tidak. Ia berjanji tak akan menangis ditengah hujan. Tentu sangat gelagapan,
karena ia pernah melakukannya saat kecil. Ibu mengayunkan sapu lidi ke pantat,
karena ia selalu pulang sekolah terlambat. Dan alasannya sudah ibu ketahui,
mampir kesungai mencari anak udang atau ikan sepat pelarian dari empang saat
banjir datang. Sangat sulit menangis ditengah hujan, karena ingusmu akan
tercampur dengan air hujan yang bila terhirup membuat bersin berkepanjangan.
Beberapa tahun
kemudian, seseorang menulis kata-kata aku
ingin berjalan di derasnya hujan agar tak ada yang tahu bahwa aku sedang
menangis.. Ran menggeleng. Ia tidak akan melakukan hal aneh itu.
Hujan tinggal rinai.
Beberapa anak kecil terlihat membawa payung warna-warni. Pasti mereka akan
mengaji. Anak-anak. Ran mengusap perutnya. Perih.
Doni tiba saat adzan
maghrib. Untung listrik sudah menyala, Ran menyiapkan makan malam dan air
hangat untuk mandi. Ibu menelepon saat mereka selesai shalat. Kamar ibu
kebanjiran, ada atap yang bocor. Libur minggu ini Doni disuruh pulang, sekalian
menjemput ibu karena ia sudah janji akan datang ke rumah mereka.
Ran pura-pura melipat
mukena saat Doni menatap minta persetujuan. Tapi saat makan, ia berkata “Pulanglah,
aku tidak apa-apa..”
*
Seperti yang Ran duga,
sesampainya di rumah, Lani sudah kuyup. Tapi cuciannya sudah tidak ada. Itu
artinya Pras di rumah.
Memang benar, ada mobil
Nino terparkir di garasi. Ruang tengah nampak benderang, mereka bermain game.
Tidak ada yang aneh. Lani pun hanya sekedar lewat dan menanyakan kapan pulang,
lalu ke kamar mandi. Selesai mandi ia menyiapkan makan malam. Diatas kompor
tercecer bekas mie instan dan bungkusnya. Lantai pun licin karena sepertinya
ada air yang tumpah. Bahkan ketika ia menyadari, kamar mandi pun tadi begitu
berantakan. Dengan segenap kesabaran yang ia peroleh dari saran Ran, wanita itu
membereskan segalanya. Baju kotor yang berserakan ia kumpulkan. Sesekali air
mata bergulir, namun cepat-cepat lengannya
menyeka. “Ah, andai aku tidak
keguguran, aku pasti sedang menimang anakku. Mengurus rumah, menjadi ibu, dan
ada penyejuk jiwa saat lelah..”
Ia memaki lantai yang
licin. Tumpahan minyak yang memang wajar terjadi di dapur restoran. Gumpalan
darah yang keluar saat ia mandi malam sepulang kerja. Dan kenyataan bahwa
dirinya mendapatkan penghargaan sebagai wanita, sekaligus ketidakberdayaannya melawan
takdir. Nyeri di perut hanyalah seiris dari perih dan sesal yang menggumpal.
Meratap sepilu apapun, darah itu telah mati. Tidak akan kembali ke rahimnya
yang hangat dan bersemayam disana selama 9 bulan, lalu lahir menjadi bayi manis
yang dinanti-nanti. Atau Pras yang terbaring di rumah sakit itu, akan siap
menerima kenyataan lain, bahwa ia tidak akan bisa menjadi seorang ayah lagi,
bahkan dengan wanita lain sekalipun. Terlalu perih, seperti halnya tertusuk
karang lalu terpelanting ke lautan. Tidak tahu mana yang lebih sakit.
Dua butir air mata
kembali bergulir. Hangat di pipi yang beku. Ia baru sadar kalau jari-jarinya pun
kedinginan.
Saat makan malam telah
siap, ia hanya mengingatkan Pras untuk makan, sekalian temannya. Ia sendiri
terlalu lelah, bahkan hanya untuk sekedar menyendokkan sesuap nasi. Mencium
aroma masakannya sudah cukup untuk mengganjal perut. Namun merebahkan diri di
kasurnya yang dingin tak mengurangi rasa lelah yang merajam. Jaket yang siang
tadi dibeli masih tergeletak diatas meja. Ia sudah tidak peduli.
Tengah malam ia
terbangun, dan tak mendapati Pras disampingnya. Pasti ia tidur diruang tengah, bersama Nino. Hujan tadi petang
masih menyisakan dingin. Kepalanya pening, nafas terasa hangat. Kakinya melangkah
ke dapur untuk minum obat. Entah kenapa ia tidak ke ruang tengah yang gelap,
untuk sekedar memastikan Pras tidur dengan nyenyak tanpa kedinginan. Ia bahkan
tak khawatir, suaminya tidur dengan siapa, karena Nino teman laki-laki. “Bukan
apa-apa..” Gumamnya sesaat setelah obat demam meluncur di tenggorokan.
*