Sabtu, 30 Desember 2017

Rumah diantara Kabut_bagian 5

Hawa dingin menembus melalui sela-sela jendela, meski telah ditutup rapat-rapat. Embun menghiasi dinding-dinding kaca yang membeku. Di sebelah timur, matahari mulai menampakkan benang-benang emasnya diantara kabut. Beberapa rombongan wisatawan yang terlambat mulai bergegas, menuju arah bukit Sikunir. Menurut penduduk sekitar, setiap pagi bukit kecil itu tak pernah sepi oleh orang-orang yang ingin menyaksikan “telor ceplok raksasa”.

Anggi menghela nafasnya yang berasap. Jaket tebalnya ia rapatkan. Bus kecil itu mulai bergerak menuju desa Parikesit. Sepanjang jalan, terhampar perkebunan carica dan kentang. Beberapa petani memikul keranjang-keranjang kecil hasil panen mereka.

Disebuah tikungan, bus mengerem mendadak. Seorang ibu dengan karungnya melambaikan tangan. Kondektur mulai mengangkut karung berisi kentang-kentang segar. Ibu berkerudung selendang itu duduk disamping Anggi.

Bus kembali melaju dalam keheningan. Terkadang terdengar percakapan sopir dengan kondektur dalam bahasa daerah yang tak dimengerti Anggi. Si ibu menoleh kearahnya, dan tersenyum. Ia menawarkan permen jahe rumahan tanpa merk.

“Monggo, mbak. Permen jae damelane kula kiyambak..”

Anggi menggeleng. “Maaf, saya tidak paham.”

“Oh, orang Jakarta ya?” Si ibu tersenyum lebar, mencoba berbahasa Indonesia dengan logat jawanya.
Anggi tersenyum. Ia mengangguk sambil menggosok-gosokkan tangannya yang kaku.

“Ini lho, makan ini biar anget. Mbaknya mau kemana?”

“Desa Parikesit, Bu. Masih jauh ya?”

“Ohh, ndak kok. Kula..eh aku juga mau kesana, ketempat menantu sekalian kondangan.”

“Wah..kebetulan sekali ya.” Anggi tersenyum. Permen jahe buatan ibu itu memang enak. Hangat dan manis.

“Mbaknya mau kerumah siapa? Barangkali aku kenal.”

Bus kembali mengerem mendadak. Truk didepannya tiba-tiba berhenti.

“Ah, teman saya. Namanya Ibrahim. Syarif Ibrahim.”

Si ibu terlihat mengernyitkan keningnya, mencoba berpikir. Beberapa penumpang sekilas melihat kearah mereka yang bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia.

“Ibrahim, putranya Pak Bahar bukan? Yang di Wadas Putih?”

Anggi menggeleng. “Saya tidak tahu. Saya kesini pun belum tahu rumahnya.”

“Lho, apa ndak takut nyasar? Kok temanmu itu ndak jemput atau kasih alamat yang jelas.”

“Dia tidak tahu saya kesini kok. Ah, ibu namanya siapa?”

“Panggil saja Mbok Ranggi. Lha mbak siapa?”

Sambil tertawa, Anggi menggenggam tangan mbok Ranggi. “Saya Anggi, mbok.”

Wanita setengah baya itu terkejut, karena namanya hampir sama.

“Oalah, lha kok mirip ya. Eh, mbak Anggi kalau mau, ikut mbok dulu saja. Nanti biar mbok bantu cari teman kamu itu. Kebetulan kondangannya juga ndak jauh dari rumah menantu saya. Nanti selesai kondangan kita ke kelurahan.” Mbok Ranggi menawarkan bantuan. Entah kenapa, Anggi merasa percaya dengan wanita desa yang polos namun sopan dan berwibawa itu.

“Baiklah. Terimakasih sebelumnya, mbok.”

Tiga puluh menit kemudian bus berhenti. Mbok Ranggi mengajaknya turun.

”Dari sini, kita naik ojek mbak.”

Mbok Ranggi memesan dua ojek. Anggi memaksa untuk membayar tarifnya, setelah wanita itu beberapa kali menolak.

Jalanan mulai terjal. Beberapa kali sangat licin karena guyuran hujan semalam. Kepala Anggi sangat berat. Dua hari ia kurang tidur, meski telah mendapatkan tempat penginapan di sekitar Wonosobo. Ia hanya ingin memastikan, laki-laki itu baik-baik saja meski harus berkorban meninggalkan Arumi beberapa hari dan naik kereta ke Jawa Tengah.

Ojek memasuki wilayah perkampungan. Pemandangan hijau disekitar sedikit meringankan lelah. Mbok Ranggi yang berada di depan menunjukkan sebuah tempat. Sebuah hiasan janur kuning melengkung, masih sangat segar. Dibawahnya tergantung sebuah tulisan tangan yang indah. Ibrahim bin Bahar & Alisa binti Mahmud. Anggi merasa jantungnya berhenti sesaat. Ia tak melihat mempelai, karena acara belum dimulai. Merekapun berhenti disebuah rumah berpagar bambu. Rumah menantu Mbok Ranggi.

“Nah, sudah sampai mbak. Ini anakku.”

Mbok Ranggi memperkenalkan seorang wanita dua puluh tahunan yang menggendong bayi laki-laki. Wanita itu sempat bertanya sebentar kepada ibunya, sebelum kemudian tersenyum dan mempersilahkan masuk.

Sesaat setelah melepas lelah, Anggi membantu Ratih, anak Mbok Ranggi menyiapkan sarapan. Bayinya di gendong sang nenek di halaman.
“Maaf, mbak merepotkan..”

Ndak apa-apa mbak. Anggap saja kami keluarga.”

“Oh ya..kalau boleh tahu, yang menikah itu namanya  siapa? Ah, laki-lakinya maksud saya..”

Ratih merendam potongan kentang dengan air garam. “Itu teman sekolah aku dulu mbak. Namanya Ibrahim, anaknya Pak Bahar. Belum lama ini dia dibawa pulang karena kecelakaan. Terus setelah sembuh, sama bapaknya dijodohin..”

Muka Anggi pucat. Jantungnya seperti tersengat hawa dingin pegunungan Dieng. Ratih terkejut.

“Kenapa, mbak?”

“Dia..kerja dimana?”

“Emm..di Jakarta.”

Anggi merasa perutnya sangat mual. Bayang-bayang janur kuning menjerat kepalanya yang semakin berat. Ratih yang panik menuntunnya ke ruang depan. Ia tak sadarkan diri.

*

Arumi memperhatikan Ran yang sedang mengaduk bubur ayam. Aroma sedap menyebar di dapur kecil itu. Mbak pengasuh beberapa kali mengajak gadis kecil itu keluar dari dapur, namun Arumi selalu menolak.

“Arumi mau lihat Tante Ran masak.” Rengeknya.

Ran tertawa. Ia mengambil sesuap kecil bubur yang masih meletup-letup, mendiamkannya sebentar, lalu diberikan ke Arumi.

“Enak nggak, sayang?”

Arumi mengangguk sambil mendecapkan lidahnya. Ia pun mengambil mangkuk kecil.

“Arumi mau kasih ke Tante Anggi.”

“Sebentar ya, masih panas.”

Ran mematikan kompor saat Doni menelepon. Ia menanyakan jam berapa harus menjemputnya. Ran menatap jam di dinding ruang tengah. Masih 5 jam lagi sebelum film mulai.

“Dua jam lagi, mas. Ini baru selesai buat bubur.”

Anggi terbaring dengan selimut tebal. Wajahnya sangat pucat, namun panasnya sudah mulai turun setelah dikompres. Ran menggenggam tangannya yang dingin.

“Makan dulu, mbak. Ini Arumi mau suapin katanya.”

Anggi tersenyum. Ran sangat prihatin setelah tadi Arumi meneleponnya. Sudah tiga hari wanita itu demam. Mbak pengasuh sudah memanggil dokter, namun belum ada perubahan.

“Makasih ya, Kirana. Kamu apa kabar?”

Ran memijit lengannya yang terasa lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu. “Alhamdulillah, sudah baik mbak. Setelah operasi, saya sudah nggak kerja lagi.”

Arumi mengaduk dan meniup bubur yang masih mengepul agar cepat dingin. Anggi tersenyum melihat tingkahnya.

“Arumi, kenapa kamu malah menelepon Tante Ran?”

Gadis itu terlihat cemberut. Mbak pengasuh mengusap kepalanya.

“Tadi Arumi menelepon Tante Farah, tapi malah dimarahin. Suaranya juga berisik sekali.”

Anggi menatap mbak pengasuh. Wanita muda itu mengangguk. “Iya, Bu. Sepertinya Mbak Farah sedang mabuk.” Bisiknya.

Anggi baru ingat, temannya itu sedang berlibur dengan kapal pesiar. Mungkin ia tidak tahu kalau Arumi yang menelepon.

Selesai makan, Anggi menyuruh Arumi untuk mandi. Ran menatap mata Anggi yang terlihat gelisah.
“Kalau nggak keberatan, ceritakan saja apa masalah mbak. Siapa tahu saya bisa bantu..”

Anggi menunjukan beberapa gambar di HPnya. Ran mengamati daerah dalam foto tersebut.

“Ini..seperti di daerah Dieng.” Gumamnya.

“Iya. Beberapa hari yang lalu, aku kesana untuk mencari seseorang..”

Suara riang Arumi terdengar dari arah kamar mandi. Terkadang ia berteriak kecil saat sabun mengenai matanya.

Ran mengulurkan tisu, menyeka butiran air mata di pipi tirus Anggi yang sedang rapuh. Ia menggenggam kedua tangan berjari lentik itu.

“Ran, kamu bisa membantuku…menjadi, muallaf?” Suara Anggi lirih. Ada getar dalam kata terakhir.

Insya Allah, mbak. Tentu saja dengan senang hati.”

Ran sempat terkejut dengan pilihan wanita itu. Bagaimanapun, ini bukanlah pilihan mudah jika bukan dari keikhlasan hati.

Arumi telah selesai mandi. Mbak pengasuh pun mengetuk pintu kamar Anggi untuk meminta izin shalat ashar. Namun ia terkejut saat melihat wanita itu tengah bersimpuh dalam balutan mukena putih bersih, bersama Ran yang menuntunnya untuk membaca kalimat syahadat.

Suara iqomah terasa berbeda di senja penuh makna, mengiringi lafal indah yang mengawali kehidupan baru seorang wanita muallaf.


**

Senin, 11 Desember 2017

Rumah Diantara Kabut_bagian 5

Alkisah di sebuah kerajaan..

Hiduplah seorang pangeran yang sangat tampan, bernama Pangeran Arka. Suatu hari, pangeran tersebut berkuda bersama adiknya yang gagah berani dan ramah, yakni Pangeran Ghandy. Keduanya berkuda menyusuri tepian sungai. Mereka tampak berkilauan seperti matahari, sesuai dengan arti nama keduanya.

Saat mereka melepas lelah di bawah sebuah pohon, desiran angin membawa sebuah suara sayup-sayup seorang wanita. Pangeran Arkapun mencari arah suara merdu itu.

Ternyata suara itu berasal dari hilir sungai, dimana seorang putri cantik sedang menyulam diatas batu. Wajahnya bersinar-sinar bagai purnama. Dialah Putri Candra Ratri, dari Kerajaan Bulan.

Putri yang merasa diamati oleh pangeran terlihat malu, dan buru-buru pergi  dengan tak sengaja meninggalkan hasil sulamannya yang indah. Pangeran mengambil sulaman itu dan membawanya pulang ke istana.

Kedua pangeran pun pulang, tanpa mengetahui bahwa mereka sedang diamati oleh seseorang dari atas pohon.

Pangeran Arka yang merasa jatuh cinta dengan Putri Candra Ratri, bermaksud mengadakan sayembara. Putri yang berhasil menyulam wajah dirinya dengan benang matahari, akan dijadikan istri. Pangeran Arka yakin Putri Candra Ratri akan hadir dalam sayembara itu dan memenangkannya.

Tibalah hari sayembara. Ada tiga puluh putri yang mengikuti, termasuk Putri Candra Ratri. Pangeran Arka meminta adiknya untuk menjadi  juri dalam sayembara tersebut.
Pangeran Ghandy mulai memeriksa  hasil sulaman para putri.  Dia terkejut saat melihat hasil milik Putri Candra Ratri. Bukan, bukan wajah Pangeran Arka dalam sulaman tersebut, melainkan wajah dirinya.

Pangeran  Arka terlihat marah. Namun tiba-tiba seorang putri berselendang biru mengangkat hasil sulamannya. “Anda belum memeriksa sulaman saya, Pangeran.”

Pangeran Ghandy mendekat. “Ini…bagaimana bisa? Siapa namamu?”

“Putri Taraka, dari Kerajaan Bintang.”

Pangeran Arka terkejut dengan hasil yang dibuat oleh Putri Taraka. Sangat indah dan memang wajah dirinya yang ada dalam sulaman.

Akhirnya, dengan terpaksa Pangeran Arka menikahi Putri Taraka, yang kalah cantik dengan Putri Candra Ratri.

Hari-hari berlalu, Pangeran Arka tidak pernah menunjukkan kasih sayangnya terhadap Putri Taraka. Ia pun lebih sering marah-marah, namun Putri Taraka tak pernah mengeluh.

Suatu ketika, Pangeran Arka meminta istrinya membuka selendang biru yang selalu menutupi lehernya. Dengan halus Putri Taraka menolak, Pangeran Arka pun marah. Dengan kasar ia menarik selendang itu, dan betapa terkejutnya ia. Leher Putri Taraka terdapat sisik seperti ikan mas!

Sejak kejadian itu, Pangeran mengurung diri di kamar. Putri Taraka selalu berusaha membujuknya untuk makan, namun ia selalu dilempar cawan dan makian. Karena kondisi Pangeran yang seperti itu, istana menjadi lengah. Merekapun diserang musuh, Pangeran Ghandy tewas saat menyelamatkan keduanya ke dalam hutan.

Bukan main, hancurnya hati Pangeran Arka. Didalam hutan, ia pun jatuh sakit. Putri Taraka yang setia, mulai bekerja membangun tempat tinggal dan mencari makanan.

Suatu malam, Pangeran Arka terbangun dan tidak mendapati istrinya. Ia pun keluar, dan diatas pohon terlihat cahaya keperakan yang menyilaukan. Karena penasaran, dipanjatlah pohon tersebut, namun sebelum berhasil meraih cahaya itu ia terjatuh dan pingsan.

Esoknya, Putri Taraka membuatkan bubur dan menyuapinya. Pangeran terkejut karena istrinya terlihat berbeda dan terdapat pendar biru bercampur perak diseluruh tubuhnya.

“Kau..apa yang terjadi? Selendangmu? Sisikmu..menghilang?”

Putri tersenyum. “Sisikku akan hilang saat aku mengeluarkan keringat ketulusan. Kemarin aku bekerja keras untuk membangun kembali istana kita.” Ia pun mengeluarkan sebuah kantong berisi sisik-sisik yang berkilauan.

“Sebagian telah ku jual. Sebentar lagi kita akan memiliki istana baru. Semoga Pangeran menyukainya.”

Dan benarlah, sebuah istana kecil yang tak kalah indah dengan istana mereka yang lama telah berdiri di tepi sungai yang sangat jernih. Putri Taraka pun membawa sebagian prajurit dari Kerajaan Bintang.

“Satu lagi…” Putri Taraka menunjuk sebuah batu ditengah sungai. Putri Candra Ratri duduk diatasnya sambil menyulam. “Nikahilah dia, karena aku tahu Pangeran sangat mencintainya..”

Pangeran Arka tidak bisa berkata-kata. Putri Taraka yang ia benci, tampak bersinar . Sedangkan Putri Candra Ratri mulai memudar dari pandangannya. Ia memeluk istrinya dengan rasa penuh penyesalan.

“Maafkan aku, Putri Taraka istriku..”

Akhirnya, merekapun menjalani hidup baru dengan bahagia dan dikaruniai dua putri kembar. Putri Kejora dan Putri Sitara.

Mungkin cahaya bintang lebih redup, namun terkadang ia lebih berkilauan dan tak ada fase untuk berubah seperti halnya bulan.


Doni menitikkan air mata. Pandangannya masih tertuju di layar laptop milik istrinya itu. Tadi ia melihat ada notifikasi email masuk dari sebuah majalah online. Ternyata kiriman Ran diterima oleh media tersebut.

“Eh, ada apa?” Ran muncul sambil membawa sepiring ubi rebus. Ia terkejut melihat Doni menyeka air mata.

Doni menjawab dengan pelukan. Ran makin heran.

“Sampai kapanpun, kamulah istri terbaikku.” Gumamnya. “Kiriman kamu diterima tuh..”

Ran melihat email yang sudah terbuka. Ia pun tersenyum.

Alhamdulillah. Tapi sepertinya yang di majalah anak-anak belum ada jawaban.”

Doni memperhatikan jari mungil Ran yang memainkan mouse. Jari yang menurutnya sangat ajaib, karena mampu melakukan berbagai hal. Seperti tongkat sihir yang bisa menciptakan hal indah, tulisan hebat, masakan lezat, dan rumah mungil yang selalu  terawat.

“Kamu nggak ke Lani’s Ginger House kan?”

“Hari ini nggak ada pesanan. Nggak kok, kenapa?”

“Nanti malam nonton yuk.”

Ran mengernyitkan kening keheranan. “Boleh. Ada film bagus apa?”

Ayat-ayat Cinta 2 mau nggak?”

Ran tertawa. Ia sebenarnya tidak terlalu suka ke bioskop. Bahkan ini baru kedua kalinya ia menonton film layar lebar.

“Yah, baiklah.” Ran mengangguk. Sebenarnya ia sedang menunggu novelnya terbit. Ia lebih suka membaca langsung ceritanya, daripada menontonnya.

Handphone Ran berdering. Ada panggilan masuk.

“Ah, temanku yang waktu itu. Mbak Anggi..”

“Ya sudah, aku mandi dulu.”

Ran mengangkat panggilan, namun bukan suara Anggi yang terdengar.

*

Kamis, 07 Desember 2017

Rumah Diantara Kabut_bagian 5

Suara adzan mengiringi semburat matahari jingga. Beberapa anak perempuan berkerudung warna warni berjalan beriringan sambil menjinjing tas kain merk minimarket, berisi buku kecil dan hafalan iqra’. Anak laki-laki mengalungkan sarung kecilnya, mereka yang lebih besar melempar-lemparkan kopiah ke udara. Tawa riang yang menentramkan.

Surau bercat kusam itu lumayan penuh. Penuh anak kecil. Hanya seorang imam beserta lima orang kakek dan dua orang nenek yang mengisi shaf depan. Seorang ibu bermukena kusut berlari kecil memasuki pintu surau, menambah satu dari dua jamaah wanita dewasa. Shalat ashar berjalan khusyu meski hanya sampai rakaat kedua karena barisan anak perempuan di belakang ribut, salah satu anak mukenanya terinjak teman sebelahnya.

Anggi merapihkan kerudung hitam yang tersingkap angin. Tatapannya masih tertuju barisan shaf laki-laki yang terhalang pintu kaca. Pohon kersen rindang terlalu nyaman untuknya berdiri seperti itu selama 15 menit, mengumpulkan niat dan meyakinkan hati bahwa ini pilihan hidup terbaiknya. Menjadi mu’allaf.

“Menunggu siapa, neng?”

Ibu bermukena kusut tiba-tiba telah disampingnya. Membuyarkan lamunan akan alif, ba, ta, yang baru ia baca tadi malam. Ia kembali membetulkan kerudungnya yang tidak rapi.

“Eh, saya teman Syarif Ibrahim. Saya ada janji bertemu dia di surau ini.”

“Oh..mas Ibrahim guru ngaji anak-anak. Sepertinya hari ini dia nggak ada. Tapi coba tanyakan sama pak Teguh. Dia yang menggantikan mas Ibrahim kalau sedang ada halangan. Pak Teguh yang berkemeja batik itu.” Tunjuk si ibu sebelum pergi. Anggi mengangguk berterimakasih.

Anak-anak kecil mulai melafalkan al fatihah. Dengan ragu Anggi mengucapkan salam. Serentak merekapun menoleh dan menjawab salam.

“Ada yang bisa saya bantu, neng?” Pak Teguh mempersilahkan Anggi masuk.

“Ah, saya mencari Ibrahim. Saya temannya..”

“Oh, Ibrahim sedang pulang kampung. Beberapa hari yang lalu dia kecelakaan dan dibawa pulang oleh oranng tuanya. Apa dia nggak kasih kabar?”

Sesaat Anggi tercekat. Kecelakaan? Kenapa ia tidak tahu? Memang beberapa hari terakhir laki-laki itu susah dihubungi, karenanya ia memutuskan untuk menemuinya langsung.

“Kalau boleh tahu, separah apa pak? Dan kampungnya dimana?”

Pak Teguh tertegun. Ia pun tersenyum maklum.

“Kalau tidak keberatan, temui saya setelah mengajar anak-anak ya.”

Anggi mengangguk malu. Ia pun pamit dan kembali menunggu dibawah pohon kersen. Dalam hatinya berdesakkan beribu rasa.

Langit mulai meredup. Taxi yang membawanya tampak tenang melaju tanpa kemacetan. Anggi mengeluarkan ponselnya, mencari sebuah alamat dengan aplikasi maps. Wonosobo, Jawa Tengah.

*

Suara mixer berdesing tanpa henti. Dua orang wanita sibuk menimbang adonan. Beberapa menyiapkan kemasan untuk kue-kue yang sudah dingin.

Seorang wanita bagian pemanggangan menjerit. Lengannya tak sengaja menyenggol loyang panas.
“Hati-hati, Tin. Pakai handglovenya yang benar.”

Lani muncul dari ruang dekorasi tart. Tangannya masih menggenggam piping bag berisi butter cream warna merah. Tini mengusap lengannya yang memerah.

“Nih, oles dulu dengan salep luka bakar. Parah nggak?” Ran menyodorkan kotak salep luka bakar.

“Terimakasih, mbak. Nggak parah kok.”

“Oh iya, Ran. Kamu bisa bantu buat hiasan mawar nggak? Aku buat dari butter cream hasilnya kurang bagus.”

“Coba pakai fondant saja, Lan. Ayo, aku bantu.”

Kedua wanita itu pun kembali menghias kue tart wedding setinggi satu meter. Ran tampak lebih sehat setelah operasi. Ia pun memutuskan untuk resign, dan mengisi kesibukan dengan membantu Lani di Lani’s Ginger House. Kebetulan akhir-akhir ini rumah bakery itu sedang ramai pesanan.

“Fuhh..pegal tanganku.” Lani meletakkan hiasan daun terakhir dari fondant.

“Diminum dulu kopinya. Sudah nggak ada rasanya tuh.”

Ran menunjuk meja kecil disudut ruangan. Segelas green tea dan kopi hitam telah kehilangan aroma karena suhu ruangan yang dingin.

“Nanti sore setelah pesanan tart ini diambil, aku mau jogging. Kau mau ikut?”

Ran menggeleng. “Aku mau merevisi cerita anak edisi minggu lalu. Kemarin belum bisa terbit karena masih ada bagian kalimat yang terlalu susah dimengerti anak-anak.”

Lani menenggak kopinya sampai habis. Ia tak bisa bohong, bahwa kopi buatan Ran memang paling enak.

“Pras apa kabar?” Ran merebahkan punggungnya di kursi kayu dekat pintu.

Lani mendecapkan lidah, menikmati pahitnya kopi yang tersisa. “Biasa saja. Kami lebih seperti teman sekarang. Teman satu atap yang saling menahan kata keluar, jika sama sekali tak perlu.”

Tidak tergambar raut kesedihan di wajah bulat wanita itu. Atau mungkin ia yang terlalu lelah dan bosan  dengan rasa seperti itu, hingga membuangnya jauh-jauh dan lebih memilih menikmati hidup bersama kue-kue buatannya.

“Kau baik-baik saja?” Ran menggumam.

“Seperti yang kau lihat..” Lani tertawa. Melempar Ran dengan kepingan coklat berbentuk hati, sisa hiasan yang tak terpakai.

Aku tak berharap, suatu saat hatimu yang hangat benar-benar beku seperti kepingan coklat hanya karena suasana dingin dalam rumahmu. Kepingan coklat yang retak.


*

Rabu, 25 Oktober 2017

Rumah Diantara Kabut_bagian 5

I often close my eyes, and i can see you smile
You reach out my hand, and i’m woken from my dream
Although your herat is mine
It’s hollow inside
I never had your love, and i never will
And every night, I lie awake
Thinking maybe you love me like i’ve always loved you
But….

Lagu Kiss the Rain itu terhenti. Anggi mengeluh, ia lupa membawa power bank. Baterainya habis.
Seorang waitress membawakan segelas red punch. “Ada tambahan lain, Bu? Mungkin kentang goreng atau dimsumnya?”

“Ah, nanti saja. Saya sedang menunggu teman.” Waitress itu tersenyum, mengangguk, lalu kembali ke posisinya di dekat tiang. Stand bye dan mengawasi beberapa meja lainnya.

Wanita itu meraih tabloid wanita di dekat receptionist. Ia langsung menuju halaman tengah, dimana sebuah cerpen dua halaman dimuat. Kisah tentang seorang wanita yang sangat anti dengan rokok, minuman keras, dan narkoba, namun justru jatuh cinta untuk yang pertama kalinya dengan pecandu narkoba. Dahinya berkerut, saat melihat siapa pengarangnya. Little Bud.

“Sedang baca apa, sampai berkerut begitu?”

Seseorang tiba-tiba duduk didepannya. Anggi terkejut.

“Oh, Ibrahim. Sejak kapan  kamu sampai? Maaf, HPnya mati, jadi nggak kasih kabar lagi.”

“Baru kok.” Laki-laki manis itu tersenyum. Anggi mengalihkan pandangannya, menghindari senyum itu. Di luar terparkir taxi biru laut. Ia tahu Ibrahim tidak bisa berlama-lama.

“Mau pesan apa?” Anggi menyodorkan buku menu padanya. Tidak perlu waktu lama, ia pun memesan hot plate teriyaki, buncis bawang putih, dan segelas orange juice. Anggi memanggil waitress yang sama, dan langsung memesan.

Sesaat suasana sangat canggung. Anggi memainkan ponselnya yang mati.

“Ada yang mau dihubungi ya? Nih, pakai punya saya saja.”

“Nggak kok. Nggak ada.” Wanita itu lagi-lagi gugup. Ibrahim memang tidak pernah menatap matanya, namun ia merasa tatapan laki-laki itu sangat berbahaya untuk jantungnya.

“Ah, kamu punya power bank?”

“Mmm..sepertinya ada di taxi. Sebentar saya lihat dulu.”

Ibrahim keluar menuju taxinya. Anggi menghela nafas panjang. Sejak tadi jantungnya tak beraturan dan kini sedikit lega saat laki-laki itu pergi.

Pesanan datang bersamaan dengan kembalinya Ibrahim. Lumayan cepat, melihat kondisi restoran yang lumayan ramai.

“Pakai saja dulu. Kebetulan tadi malam baru saya charge.”

Anggi mengangguk. “Terimakasih.”

“Bagaimana pekerjaan..?” Mereka terdiam sesaat, lalu tertawa. Bagaimana bisa melontarkan pertanyaan yang sama. Anggi mengaduk red punchnya. “Masih sama, hanya lebih baik dari sebelumnya.”

Ibrahim tersenyum.

Mereka tidak banyak bicara. Ibrahim pun makan dengan sedikit tergesa. Anggi belum bisa menyalakan HPnya, jadi ia hanya memandang keluar dan sesekali menghela nafas pelan-pelan. Alunan musik restoran menutupi waktu yang bergulir tanpa kata.

“Mau pulang sekarang? Biar saya antar.” Anggi mengangguk.

Di dalam mobil pun mereka tak banyak bicara. Anggi mencoba menyalakan HPnya. Beberapa pesan masuk, beberapa dari Farah. Wanita itu mengirim sebuah foto tiket kapal pesiar terkenal, star cruise selama 3 hari, tiket pesawat ke Singapura, dan terakhir foto seorang laki-laki setengah baya bermata sipit. Ia bisa menduga, pacar baru Farah. Pengusaha Korea.

Suara adzan mengalun dari HP Ibrahim. Anggi sedikit terkejut, karena laki-laki itu meminggirkan taxinya.

“Ada apa?”

“Maaf, sedang adzan. Saya mau shalat dulu sebentar di pom bensin itu, nggak apa-apa kan?”

“Oh ya, tentu. Si-lahkan.” Anggi buru-buru mengangguk.

Ibrahim kembali dengan wajah yang lebih segar. Anggi memandangnya dari balik kaca sebelum laki-laki itu membuka pintu.

“Maaf ya mbak..”

“Panggil saja Anggi. Sepertinya terdengar lebih akrab..ah maksudku kamu terlalu formal.”

Ibrahim tertawa. “Baiklah, Anggi.”

“Mmm..Ibrahim..”

“Ya?”

“Aku…mau jadi..”

Anggi mengumpulkan energinya, menenangkan jantungnya. Semalaman ia telah memikirkan baik-baik keputusannya. Ibrahim tetap menyetir dengan wajah tenang.

“Mu-allaf..”

Anggi terlonjak, saat gerobak tukang sayur tiba-tiba menyebrang dan Ibrahim menginjak rem mendadak.

“Ah, maaf..”

“Bisakah..?” Anggi mengulang kata-katanya saat suasana kembali normal.

“Tentu, Alhamdulillah..” Ibrahim tersenyum sangat manis. Anggi menyesal telah melihat, karena jantungnya kini lebih tak terkondisikan.

“Datanglah ke masjid kecil diantara rumah susun dekat fly over. Setiap minggu sore saya mengajar anak-anak mengaji disana.”

Anggi mengangguk. Sentuhan angin sejuk melembutkan denyut nadinya. Ia seperti menemukan jalan baru yang lebih indah.

*