--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pukul 00:45…
Dia bukan Puteri
yang tergesa-gesa karena dentang jam. Kulitnya yang seputih susu, hampir nampak
keseluruhan karena selembar kain mini hitam hanya membalut sebagian kecil tubuh
rampingnya. Dia berdansa dengan__ah ya, bisa dibilang “pangeran”__berduit__bertubuh
gempal__dan muka merah merona dengan aroma alcohol yang kuat. Sepatunya bukan
dari kaca, melainkan high heels dari kulit ular phyton. Sang “pangeran”
menuntunnya ke sofa. Bibirnya mendesiskkan bisikan liar. Dan jual beli pun
berlangsung.
Dia bukan
Cinderella…
*
Tinggal
di perumahan biasa, tanpa pernah mengenal tetangga sekitar. Pun sebaliknya
dengan tetangga khususnya ibu-ibu yang tidak pernah tahu pasti, berapa penghuni
rumah itu. Rumah yang selalu menjadi bahan gosipan disaat tukang sayur mangkal
di rumah sebelahnya. Meski hampir 6 tahun sejak rumah kosong paling ujung itu
berpenghuni, tidak ada habisnya gosip-gosip baru maupun yang telah berbulu
bermunculan.
Dan
pagi ini, terjadi sesuatu dengan rumah itu. Tercium aroma masakan, seperti nasi
goreng. Bukan hal biasa, karena selama ini yang mereka tahu penghuni rumah itu
selalu delivery makanan cepat saji.
Pintu
rumah bercat hijau itu terbuka. Seorang gadis kecil dengan penuh semangat
menghirup udara pagi, seperti anak angsa yang baru berjuang dari cangkang yang
keras.
“Nah,
Arumi. Hari ini hari pertama kamu sekolah. Ingat pesan tante, pulang sekolah
jangan kemana-mana. Mbak akan menjagamu.”
“Baik,
tante. Arumi senang sekali.”
“Belajarlah
yang rajin, jangan nakal.” Sebuah kecupan mendarat di pipi mungil gadis itu.
“Mbak, tolong jaga baik-baik Arumi. Saya sudah pesankan taxi yang selalu antar
jemput setiap harinya. Dan tolong, jaga rahasia Arumi.”
“Baik,
Bu. Kalau begitu saya berangkat dulu. Ayo, Arumi.”
“Hati-hati,
sayang. Jangan jajan sembarangan.”
Sejenak
ibu-ibu yang sedang belanja terpesona. Wanita pemilik rumah itu tersenyum
sebelum menutup pintu.
“Ya
Ampun, kalian lihat kan? Dia memang cantik banget. Sepertinya keturunan
Tionghoa. Tapi, anak kecil tadi siapa ya? Masa sih anaknya?”
“Aku
rasa bukan. Nggak mirip sama sekali dengan dia.”
“Iya,
tapi sepertinya yang tadi itu pembantunya..”
“Mungkin
memang anaknya, cuma mirip ayahnya.”
“Sudahlah.
Kalian ini mau belanja nggak sih?” Tukang sayur yang sudah kepanasan
menggerutu.
Beberapa
menit kemudian kerumunan itu pun bubar. Yang rumahnya paling jauh masih sempat
menyambung obrolan sebelum berpisah.
“Kapan-kapan
aku mau datang ke rumahnya. Dia sepertinya orang baik.”
“Memangnya
kamu yakin dia mau membukakan pintu?”
“Ah,
coba sajalah. Apa salahnya kan? Toh, kalian juga pasti ingin tahu.”
Dan
rapat terbaru hari itu pun selesai.
*
"Apa yang akan kau lakukan dengan anak-anak kita nanti, saat mereka tak mau mendengar nasihatmu?"
"Aku..akan membacakan dongeng."
"Kamu yakin, mereka mau mendengarnya?"
"Tak ada anak-anak yang tidak mau mendengar cerita, kecuali ia telah bisa membuat ceritanya sendiri, dan sadar bahwa dongeng hanyalah nasihat yang unik."
"Kau tahu, apa yang dikatakan jantungku?"
"Tentu saja, Sam.."
Dalam ikatan waktu yang telah lalu, aku meminta. Ajari aku
bercerita. Karena aku menjadi bisu saat bulan menatap dengan sayu. Bagaimanakah
cara menjinakkan rasa? Kau tahu, aku terjerat amukan cinta. Bagiku kau
menghilang begitu saja, padahal aku tahu alasannya. Waktu menang atas
segalanya..
Disisi tebing keputusasaan, harapanku menjuntai. Tapi ada seorang wanita dengan
keriputnya yang selalu bersinar, menggenggamku dengan racikan tehnya yang sejenak melepaskan jerat hasrat mengerikan. Namun pada tegukan terakhir,
aku tenggelam dalam larutan kenangan dan waktu. Aku teracuni. Jantungkku tak
kuat lagi. Kamulah yang disebut putik kecil (oleh seekor capung) di taman liar, tolong beri sedikit serbuk sari
pengobat rindu. Aku membutuhkannya.
“Tehnya
terlalu pahit ya Sam?”
“Oh,
haha..nggak, Bu. Memangnya aku terlihat seperti menelan jamu?”
“Kau
terlihat seperti menelan racun. Ada apa?”
Ah, Ibu memang
selalu tahu. Memperhatikan setiap detail kerutan di wajahku. Dan pada akhirnya,
selalu meniupkan kata-kata lembut, diantara kesibukan jemarinya yang menggenggam
tasbih galih asam. "Aku merindukan aroma teh melati yang ku teguk saat daun pohon petai cina berguguran. Aroma yang sama dengan tubuhnya yg mungil namun sekuat akar beringin. Mistik yang mengikat pesona rindu.."
“Bagaimana
dengan rencanamu di kapal pesiar itu? Bukankah kau sudah nyaman dengan
pekerjaanmu sekarang?”
“Manager
perusahaan itu tadi pagi mengirimkan
email. Katanya akhir tahun ini aku bisa tanda tangan kontrak kerja.”
“Syukurlah,
kalau itu pilihan terbaikmu. Kau tak perlu khawatir soal Eja. Ibu pasti
menjaganya.”
Desiran
angin membawa aroma bunga melati, membaur dengan serpihan cahaya senja.
Menerbangkan serbuk-serbuk sari benalu. Calon tumbuhan yang tanpa malu
menghisap nadi kehidupan, perlahan dan mematikan tanpa racun. Namun,
benalu perasa dengan canggung mengakui bahwa garis takdir yang kokoh itu tidak
bisa dipatahkan. Dengan ratapan apapun.
*