Batu nisan berwarna
gelap itu penuh kuntum kamboja dan beberapa tangkai bunga liar. Hembusan angin
sore menebarkan aroma makam baru dari beberapa sisi pemakaman.
“Sudah cukup, Eja.
Sekarang ayo berdoa buat Mama.”
Anak kecil itu
meletakkan bunga terakhir lalu berlutut. Matanya terpejam, mendengarkan
ayat-ayat suci yang belum dimengerti olehnya.
“Ssstt..Papa. Itu
artinya apa? Apa mama ngerti artinya?”
“Besok kalau kamu sudah
pandai mengaji, pasti tahu. Yang jelas, untuk kebaikan mama di dunianya.” Sam
mengusap kepala Eja.
“Papa, yang itu kenapa
bunganya beda? Kenapa kita nggak beli
bunga seperti itu buat mama?”
“Karena mama nggak suka. Mama kamu orang yang kuat,
sekuat bunga liar ini. Meskipun tak pernah dirawat, ia tetap tumbuh menjadi
bunga yang cantik.” Sam menjelaskan meski Eja tak paham.
“Pulang yuk, sudah
sore. Oh iya, papa mau beliin buku baru. Nanti belajar membaca lagi ya.”
Eja mengangguk senang.
Diciumnya batu nisan yang kini harum kamboja, lalu menggandeng Sam.
“Aku
pulang dulu, kak. Eja akan baik-baik saja bersama aku dan ibu. Tenanglah di
sisi Tuhan.”
“Papa mau beliin buku
apa?”
“Tinkerbell. Kamu
pernah dengar?”
Eja menggeleng.
“Kisah peri kecil yang
pemberani. Eja pasti suka. Nanti sekalian buku berhitung yang ada gambar
hewan-hewannya. Eja kan sebentar lagi sekolah.”
Tapi anak kecil itu
tidak menjawab karena terlelap oleh hembusan angin. Sam menepikan motornya
sebentar untuk memindahkan Eja kedepan dan mengikatnya dengan jaket.
*
Dua wanita cantik
dengan dua jenis minuman bebeda. Aroma green
tea yang hangat terusik oleh dua botol minuman distilasi khas Korea.
Beberapa kali wanita berambut pirang itu menyodorkan segelas kecil minuman
bening yang sekilas seperti air putih biasa. Namun temannya itu lebih
menghiraukan beef bulgogi harum yang
masih mendidih diatas kompor.
“Apa sih, jangan bilang
kamu sudah tobat ya!”
“Kenapa? Bukan urusan
kamu kan, aku mau menjadi seperti apa? Kita hanya teman, kamu itu mendung yang
selalu membuatku lupa jalan pulang. Haha.”
“Haha. Cih..ngutip dari
TPA mana kata-katamu itu? Oh iya, gimana Arumi?”
“Baik. Dia sudah mulai
sekolah.” Anggi membungkus sepotong daging bulgogi
dengan daun selada dan sedikit saus doinjang.
“Tapi aku yang
memungutnya dari selokan, dan dia hampir mati beberapa kali. Jangan pura-pura
lupa deh!”
“Yah, habis waktu itu
aku bingung banget. Kalau sejak awal
kamu nggak melarang aku minum pil
itu, kita nggak repot begini.”
Muka Anggi merah padam
meski bibirnya sama sekali tidak menyentuh soju.
Ia menenggak habis green teanya.
“Farah, dengar. Aku
sama sekali nggak keberatan
membesarkan Arumi. Dia anakku, meski lahir dari rahimmu. Jadi, jangan
sekali-kali mencoba mengambilnya dari tanganku!”
Farah kaget dengan
reaksi tak terduga Anggi. Ditenggaknya dua gelas soju terakhir.
“Kamu kenapa berubah
begitu sih? Jangan-jangan..ya ampun. Kamu jatuh cinta?”
“Aku cuma bosan hidup
begini. Aku pulang dulu.”
Anggi meraih bingkisan
itu, lalu pergi meninggalkan Farah yang masih belum mengerti. Wanita itu
tertegun untuk sesaat. Hanya sesaat, karena tak lama ia memesan dua botol soju lagi dan menelfon kliennya.
*