Minggu, 23 April 2017

Rumah Diantara Kabut__bagian 3

Batu nisan berwarna gelap itu penuh kuntum kamboja dan beberapa tangkai bunga liar. Hembusan angin sore menebarkan aroma makam baru dari beberapa sisi pemakaman.

“Sudah cukup, Eja. Sekarang ayo berdoa buat Mama.”

Anak kecil itu meletakkan bunga terakhir lalu berlutut. Matanya terpejam, mendengarkan ayat-ayat suci yang belum dimengerti olehnya.

“Ssstt..Papa. Itu artinya apa? Apa mama ngerti artinya?”

“Besok kalau kamu sudah pandai mengaji, pasti tahu. Yang jelas, untuk kebaikan mama di dunianya.” Sam mengusap kepala Eja.

“Papa, yang itu kenapa bunganya beda? Kenapa kita nggak beli bunga seperti itu buat mama?”

“Karena mama nggak suka. Mama kamu orang yang kuat, sekuat bunga liar ini. Meskipun tak pernah dirawat, ia tetap tumbuh menjadi bunga yang cantik.” Sam menjelaskan meski Eja tak paham.

“Pulang yuk, sudah sore. Oh iya, papa mau beliin buku baru. Nanti belajar membaca lagi ya.”

Eja mengangguk senang. Diciumnya batu nisan yang kini harum kamboja, lalu menggandeng Sam.

“Aku pulang dulu, kak. Eja akan baik-baik saja bersama aku dan ibu. Tenanglah di sisi Tuhan.”

“Papa mau beliin buku apa?”

“Tinkerbell. Kamu pernah dengar?”
Eja menggeleng.

“Kisah peri kecil yang pemberani. Eja pasti suka. Nanti sekalian buku berhitung yang ada gambar hewan-hewannya. Eja kan sebentar lagi sekolah.”

Tapi anak kecil itu tidak menjawab karena terlelap oleh hembusan angin. Sam menepikan motornya sebentar untuk memindahkan Eja kedepan dan mengikatnya dengan jaket.

*

Dua wanita cantik dengan dua jenis minuman bebeda. Aroma green tea yang hangat terusik oleh dua botol minuman distilasi khas Korea. Beberapa kali wanita berambut pirang itu menyodorkan segelas kecil minuman bening yang sekilas seperti air putih biasa. Namun temannya itu lebih menghiraukan beef bulgogi harum yang masih mendidih diatas kompor.

“Apa sih, jangan bilang kamu sudah tobat ya!”

“Kenapa? Bukan urusan kamu kan, aku mau menjadi seperti apa? Kita hanya teman, kamu itu mendung yang selalu membuatku lupa jalan pulang. Haha.”

“Haha. Cih..ngutip dari TPA mana kata-katamu itu? Oh iya, gimana Arumi?”

“Baik. Dia sudah mulai sekolah.” Anggi membungkus sepotong daging bulgogi dengan daun selada dan sedikit saus doinjang.

“Jadi, kapan kamu akan memberitahu yang sebenarnya? Aku rasa dia sudah cukup mengerti. Bagaimanapun, dia darah dagingku..”

“Tapi aku yang memungutnya dari selokan, dan dia hampir mati beberapa kali. Jangan pura-pura lupa deh!”

“Yah, habis waktu itu aku bingung banget. Kalau sejak awal kamu nggak melarang aku minum pil itu, kita nggak repot begini.”

Muka Anggi merah padam meski bibirnya sama sekali tidak menyentuh soju. Ia menenggak habis green teanya.

“Farah, dengar. Aku sama sekali nggak keberatan membesarkan Arumi. Dia anakku, meski lahir dari rahimmu. Jadi, jangan sekali-kali mencoba mengambilnya dari tanganku!”

Farah kaget dengan reaksi tak terduga Anggi. Ditenggaknya dua gelas soju terakhir.

“Kamu kenapa berubah begitu sih? Jangan-jangan..ya ampun. Kamu jatuh cinta?”

“Aku cuma bosan hidup begini. Aku pulang dulu.”

“Apa? Arrghh..tunggu. Ini buat Arumi.”


Anggi meraih bingkisan itu, lalu pergi meninggalkan Farah yang masih belum mengerti. Wanita itu tertegun untuk sesaat. Hanya sesaat, karena tak lama ia memesan dua botol soju lagi dan menelfon kliennya.
*

Tidak ada komentar :

Posting Komentar