Aku
ingin membaur bersama angin. Menceritakan semua rahasia, tanpa ada yang
mengerti karena derunya menyamarkan kalimatku.
Tapi
bolehkah aku berharap, satu hembusan menerjemahkan rinduku, menyampaikannya
kepada dia yang indah? Sebuah putik kecil pemberi harapan, pelipur lara.
Bukan
salah mawar, ia memiliki duri yang melukai. Bukan salahnya, ketika ia tak bisa
ku genggam.
Tapi
hati ini yang salah, menyematkan butiran kasih pada jiwanya yang tulus.
“Halo, Sam. Kamu sudah
bangun?”
Ibu menelepon jam 4
pagi. Sam membuka matanya dengan enggan, meraih handphone yang berdering tiga
kali sebelum akhirnya ia angkat.
“Iya, bu. Ada apa?”
“Kamu baik-baik saja
kan? Perasaan ibu nggak enak.”
Sam terdiam sejenak.
Menghela nafas panjang. “Tentu. Bagaimana dengan kalian?”
“Eja bulan depan mulai
sekolah. Dia sudah lancar membaca lho.”
“Syukurlah..”
“Hmm, sebenarnya ada
yang ingin ibu sampaikan.”
“Ya?”
“Kemarin Sekar meminta nomormu. Apa dia sudah menghubungi?”
Tak ada jawaban.
Sambungan telepon terjeda dengan panggilan masuk. Nomor baru.
“Ya, halo?”
“Ha..lo, Sam. Ini..Sekar.”
Entah kenapa, jarinya
tiba-tiba menekan simbol merah di layar 7 inchnya.
Beberapa menit tak ada panggilan lagi. Ia merasa lega sekaligus tak enak.
Terakhir kali yang ia
ingat, Sekar berdiri di ujung dermaga. Rambutnya yang hitam lurus dibiarkan
tergerai, dipermainkan angin laut. Tompelnya makin memudar, atau mata Sam yang salah
lihat. Kapal itu mulai bergerak, diiringi lambaian tangan sanak saudara yang
ikut mengantar perjalanan mereka menuju ibu kota. Sekilas, sebelum orang-orang
itu mengecil dan hilang dari pandangan, Sam melihat Sekar mengeluarkan selembar
kertas dari kantongnya. Diangkatnya tinggi-tinggi kertas bertuliskan spidol
hitam itu. “Bodohnya. Dia pikir mataku
setajam elang, bisa melihat dari jarak sejauh ini.” Tapi Sam membalas juga
dengan lambaian, dan ia merasa Sekar tersenyum saat itu.
Beberapa saat ia termangu.
James masih terlelap dibalik selimut. Sesekali dengkurannya terdengar seperti
nafas kucing. Diluar, angin terasa berdamai dengan ombak. Sam meraih kembali
ponselnya, dan membuka facebook.
Entah kenapa ia mengetikkan nama ‘Sekar’ di pencarian. Ada banyak nama yang
muncul. Ia memilih salah satu akun dengan profil foto close up seorang gadis dengan
tanda lahir yang tak bisa disembunyikan. Jantungnya berdegup saat mengklik foto
tersebut. Ya, memang Sekar. Tidak banyak yang berubah dari 11 tahun lalu. Rambutnya
masih tetap panjang, bahkan terlihat lebih panjang, tompelnya masih melekat
dibawah mata kiri, tak berpindah. Hanya beberapa jerawat menghiasi pipi kanan,
namun membuatnya terlihat lebih dewasa. Tidak banyak foto yang diunggah,
beberapa foto dengan teman-teman sekelasnya saat perpisahan sekolah, dan satu
foto dirinya memegang kertas di pantai. Sam terkejut. Itu kertas yang
ditunjukkan dulu, saat di dermaga. Tulisannya mulai pudar, namun masih bisa
terbaca. “AKU YAKIN KAMU PASTI AKAN KEMBALI. SEKAR, UNTUK SAM.”
Sam menarik nafas dalam-dalam.
Mungkinkah Sekar menyukainya sejak kecil? Atau
sejak ayahnya membuat perjanjian dengan Abah Somad? Sam sangat menyesali
keputusan ayah, meminjam uang yang tidak sedikit kepada laki-laki licik itu,
sebelum tambak mereka di racuni orang. Yang mengherankan, Abah Somad tak
meminta uang itu dikembalikan. Sam yang curiga berusaha mencari tahu. Hingga
suatu malam ia mendengar ayah dan ibu membicarakan perjodohannya dengan Sekar.
Waktu merayap lambat.
Geliat rindu memenuhi rongga jiwa yang hampa. Sam mengetikkan sebuah nama lagi
di menu pencarian. R the Writer. Sam
harusnya tahu, nama itu tak mungkin ada, karena sejak hari itu ia telah
menghilang. Benar-benar menghilang, bahkan semua pertemanan dengan Sam di media
sosial telah di blokir. Dengan putus asa, ia memejamkan mata. Berusaha
mengingat bentuk senyumnya, namun yang muncul wajah wanita lain. Ah, apa kau juga menghapus ingatanku, putri?
*