Selasa, 27 Maret 2018

Rumah Diantara Kabut_bagian 6

Aku ingin membaur bersama angin. Menceritakan semua rahasia, tanpa ada yang mengerti karena derunya menyamarkan kalimatku.
Tapi bolehkah aku berharap, satu hembusan menerjemahkan rinduku, menyampaikannya kepada dia yang indah? Sebuah putik kecil pemberi harapan, pelipur lara.
Bukan salah mawar, ia memiliki duri yang melukai. Bukan salahnya, ketika ia tak bisa ku genggam.
Tapi hati ini yang salah, menyematkan butiran kasih pada jiwanya yang tulus.

“Halo, Sam. Kamu sudah bangun?”

Ibu menelepon jam 4 pagi. Sam membuka matanya dengan enggan, meraih handphone yang berdering tiga kali sebelum akhirnya ia angkat.

“Iya, bu. Ada apa?”

“Kamu baik-baik saja kan? Perasaan ibu nggak enak.”

Sam terdiam sejenak. Menghela nafas panjang. “Tentu. Bagaimana dengan kalian?”

“Eja bulan depan mulai sekolah. Dia sudah lancar membaca lho.”

“Syukurlah..”

“Hmm, sebenarnya ada yang ingin ibu sampaikan.”

“Ya?”

“Kemarin Sekar meminta nomormu. Apa dia sudah menghubungi?”

Tak ada jawaban. Sambungan telepon terjeda dengan panggilan masuk. Nomor baru.

“Ya, halo?”

“Ha..lo, Sam. Ini..Sekar.”

Entah kenapa, jarinya tiba-tiba menekan simbol merah di layar 7 inchnya. Beberapa menit tak ada panggilan lagi. Ia merasa lega sekaligus tak enak.

Terakhir kali yang ia ingat, Sekar berdiri di ujung dermaga. Rambutnya yang hitam lurus dibiarkan tergerai, dipermainkan angin laut. Tompelnya makin memudar, atau mata Sam yang salah lihat. Kapal itu mulai bergerak, diiringi lambaian tangan sanak saudara yang ikut mengantar perjalanan mereka menuju ibu kota. Sekilas, sebelum orang-orang itu mengecil dan hilang dari pandangan, Sam melihat Sekar mengeluarkan selembar kertas dari kantongnya. Diangkatnya tinggi-tinggi kertas bertuliskan spidol hitam itu. “Bodohnya. Dia pikir mataku setajam elang, bisa melihat dari jarak sejauh ini.” Tapi Sam membalas juga dengan lambaian, dan ia merasa Sekar tersenyum saat itu.

Beberapa saat ia termangu. James masih terlelap dibalik selimut. Sesekali dengkurannya terdengar seperti nafas kucing. Diluar, angin terasa berdamai dengan ombak. Sam meraih kembali ponselnya, dan membuka facebook. Entah kenapa ia mengetikkan nama ‘Sekar’ di pencarian. Ada banyak nama yang muncul. Ia memilih salah satu akun dengan profil foto close up seorang  gadis dengan tanda lahir yang tak bisa disembunyikan. Jantungnya berdegup saat mengklik foto tersebut. Ya, memang Sekar. Tidak banyak yang berubah dari 11 tahun lalu. Rambutnya masih tetap panjang, bahkan terlihat lebih panjang, tompelnya masih melekat dibawah mata kiri, tak berpindah. Hanya beberapa jerawat menghiasi pipi kanan, namun membuatnya terlihat lebih dewasa. Tidak banyak foto yang diunggah, beberapa foto dengan teman-teman sekelasnya saat perpisahan sekolah, dan satu foto dirinya memegang kertas di pantai. Sam terkejut. Itu kertas yang ditunjukkan dulu, saat di dermaga. Tulisannya mulai pudar, namun masih bisa terbaca. “AKU YAKIN KAMU PASTI AKAN KEMBALI. SEKAR, UNTUK SAM.”

Sam menarik nafas dalam-dalam. Mungkinkah Sekar menyukainya sejak kecil? Atau  sejak ayahnya membuat perjanjian dengan Abah Somad? Sam sangat menyesali keputusan ayah, meminjam uang yang tidak sedikit kepada laki-laki licik itu, sebelum tambak mereka di racuni orang. Yang mengherankan, Abah Somad tak meminta uang itu dikembalikan. Sam yang curiga berusaha mencari tahu. Hingga suatu malam ia mendengar ayah dan ibu membicarakan perjodohannya dengan Sekar.
Waktu merayap lambat. Geliat rindu memenuhi rongga jiwa yang hampa. Sam mengetikkan sebuah nama lagi di menu pencarian. R the Writer. Sam harusnya tahu, nama itu tak mungkin ada, karena sejak hari itu ia telah menghilang. Benar-benar menghilang, bahkan semua pertemanan dengan Sam di media sosial telah di blokir. Dengan putus asa, ia memejamkan mata. Berusaha mengingat bentuk senyumnya, namun yang muncul wajah wanita lain. Ah, apa kau juga menghapus ingatanku, putri?

*