Hawa dingin menembus
melalui sela-sela jendela, meski telah ditutup rapat-rapat. Embun menghiasi
dinding-dinding kaca yang membeku. Di sebelah timur, matahari mulai menampakkan
benang-benang emasnya diantara kabut. Beberapa rombongan wisatawan yang
terlambat mulai bergegas, menuju arah bukit Sikunir.
Menurut penduduk sekitar, setiap pagi bukit kecil itu tak pernah sepi oleh
orang-orang yang ingin menyaksikan “telor
ceplok raksasa”.
Anggi menghela nafasnya
yang berasap. Jaket tebalnya ia rapatkan. Bus kecil itu mulai bergerak menuju
desa Parikesit. Sepanjang jalan, terhampar perkebunan carica dan kentang.
Beberapa petani memikul keranjang-keranjang kecil hasil panen mereka.
Disebuah tikungan, bus
mengerem mendadak. Seorang ibu dengan karungnya melambaikan tangan. Kondektur
mulai mengangkut karung berisi kentang-kentang segar. Ibu berkerudung selendang
itu duduk disamping Anggi.
Bus kembali melaju
dalam keheningan. Terkadang terdengar percakapan sopir dengan kondektur dalam bahasa daerah yang tak dimengerti Anggi. Si ibu menoleh kearahnya, dan
tersenyum. Ia menawarkan permen jahe rumahan tanpa merk.
“Monggo,
mbak. Permen jae damelane kula kiyambak..”
Anggi menggeleng.
“Maaf, saya tidak paham.”
“Oh, orang Jakarta ya?”
Si ibu tersenyum lebar, mencoba berbahasa Indonesia dengan logat jawanya.
Anggi tersenyum. Ia
mengangguk sambil menggosok-gosokkan tangannya yang kaku.
“Ini lho, makan ini
biar anget. Mbaknya mau kemana?”
“Desa Parikesit, Bu.
Masih jauh ya?”
“Ohh, ndak kok. Kula..eh aku juga mau kesana, ketempat menantu sekalian kondangan.”
“Wah..kebetulan sekali
ya.” Anggi tersenyum. Permen jahe buatan ibu itu memang enak. Hangat dan manis.
“Mbaknya mau kerumah
siapa? Barangkali aku kenal.”
Bus kembali mengerem
mendadak. Truk didepannya tiba-tiba berhenti.
“Ah, teman saya.
Namanya Ibrahim. Syarif Ibrahim.”
Si ibu terlihat
mengernyitkan keningnya, mencoba berpikir. Beberapa penumpang sekilas melihat
kearah mereka yang bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia.
“Ibrahim, putranya Pak
Bahar bukan? Yang di Wadas Putih?”
Anggi menggeleng. “Saya
tidak tahu. Saya kesini pun belum tahu rumahnya.”
“Lho, apa ndak takut nyasar? Kok temanmu itu ndak jemput atau kasih alamat yang
jelas.”
“Dia tidak tahu saya
kesini kok. Ah, ibu namanya siapa?”
“Panggil saja Mbok
Ranggi. Lha mbak siapa?”
Sambil tertawa, Anggi
menggenggam tangan mbok Ranggi. “Saya Anggi, mbok.”
Wanita setengah baya
itu terkejut, karena namanya hampir sama.
“Oalah, lha kok mirip
ya. Eh, mbak Anggi kalau mau, ikut mbok dulu saja. Nanti biar mbok bantu cari
teman kamu itu. Kebetulan kondangannya juga ndak
jauh dari rumah menantu saya. Nanti selesai kondangan kita ke kelurahan.” Mbok
Ranggi menawarkan bantuan. Entah kenapa, Anggi merasa percaya dengan wanita
desa yang polos namun sopan dan berwibawa itu.
“Baiklah. Terimakasih
sebelumnya, mbok.”
Tiga puluh menit
kemudian bus berhenti. Mbok Ranggi mengajaknya turun.
”Dari sini, kita naik
ojek mbak.”
Mbok Ranggi memesan dua
ojek. Anggi memaksa untuk membayar tarifnya, setelah wanita itu beberapa kali
menolak.
Jalanan mulai terjal.
Beberapa kali sangat licin karena guyuran hujan semalam. Kepala Anggi sangat
berat. Dua hari ia kurang tidur, meski telah mendapatkan tempat penginapan di
sekitar Wonosobo. Ia hanya ingin memastikan, laki-laki itu baik-baik saja meski
harus berkorban meninggalkan Arumi beberapa hari dan naik kereta ke Jawa
Tengah.
Ojek memasuki wilayah
perkampungan. Pemandangan hijau disekitar sedikit meringankan lelah. Mbok
Ranggi yang berada di depan menunjukkan sebuah tempat. Sebuah hiasan janur
kuning melengkung, masih sangat segar. Dibawahnya tergantung sebuah tulisan
tangan yang indah. Ibrahim bin Bahar
& Alisa binti Mahmud. Anggi merasa jantungnya berhenti sesaat. Ia tak
melihat mempelai, karena acara belum dimulai. Merekapun berhenti disebuah rumah
berpagar bambu. Rumah menantu Mbok Ranggi.
“Nah, sudah sampai
mbak. Ini anakku.”
Mbok Ranggi
memperkenalkan seorang wanita dua puluh tahunan yang menggendong bayi
laki-laki. Wanita itu sempat bertanya sebentar kepada ibunya, sebelum kemudian
tersenyum dan mempersilahkan masuk.
Sesaat setelah melepas
lelah, Anggi membantu Ratih, anak Mbok Ranggi menyiapkan sarapan. Bayinya di
gendong sang nenek di halaman.
“Maaf, mbak
merepotkan..”
“Ndak apa-apa mbak. Anggap saja kami keluarga.”
“Oh ya..kalau boleh
tahu, yang menikah itu namanya siapa?
Ah, laki-lakinya maksud saya..”
Ratih merendam potongan
kentang dengan air garam. “Itu teman sekolah aku dulu mbak. Namanya Ibrahim,
anaknya Pak Bahar. Belum lama ini dia dibawa pulang karena kecelakaan. Terus
setelah sembuh, sama bapaknya dijodohin..”
Muka Anggi pucat.
Jantungnya seperti tersengat hawa dingin pegunungan Dieng. Ratih terkejut.
“Kenapa, mbak?”
“Dia..kerja dimana?”
“Emm..di
Jakarta.”
Anggi
merasa perutnya sangat mual. Bayang-bayang janur kuning menjerat kepalanya yang
semakin berat. Ratih yang panik menuntunnya ke ruang depan. Ia tak sadarkan
diri.
*
Arumi
memperhatikan Ran yang sedang mengaduk bubur ayam. Aroma sedap menyebar di
dapur kecil itu. Mbak pengasuh beberapa kali mengajak gadis kecil itu keluar
dari dapur, namun Arumi selalu menolak.
“Arumi
mau lihat Tante Ran masak.” Rengeknya.
Ran
tertawa. Ia mengambil sesuap kecil bubur yang masih meletup-letup,
mendiamkannya sebentar, lalu diberikan ke Arumi.
“Enak
nggak, sayang?”
Arumi
mengangguk sambil mendecapkan lidahnya. Ia pun mengambil mangkuk kecil.
“Arumi
mau kasih ke Tante Anggi.”
“Sebentar
ya, masih panas.”
Ran
mematikan kompor saat Doni menelepon. Ia menanyakan jam berapa harus
menjemputnya. Ran menatap jam di dinding ruang tengah. Masih 5 jam lagi sebelum
film mulai.
“Dua
jam lagi, mas. Ini baru selesai buat bubur.”
Anggi
terbaring dengan selimut tebal. Wajahnya sangat pucat, namun panasnya sudah
mulai turun setelah dikompres. Ran menggenggam tangannya yang dingin.
“Makan
dulu, mbak. Ini Arumi mau suapin katanya.”
Anggi
tersenyum. Ran sangat prihatin setelah tadi Arumi meneleponnya. Sudah tiga hari
wanita itu demam. Mbak pengasuh sudah memanggil dokter, namun belum ada
perubahan.
“Makasih
ya, Kirana. Kamu apa kabar?”
Ran
memijit lengannya yang terasa lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu.
“Alhamdulillah, sudah baik mbak. Setelah operasi, saya sudah nggak kerja lagi.”
Arumi
mengaduk dan meniup bubur yang masih mengepul agar cepat dingin. Anggi
tersenyum melihat tingkahnya.
“Arumi,
kenapa kamu malah menelepon Tante Ran?”
Gadis
itu terlihat cemberut. Mbak pengasuh mengusap kepalanya.
“Tadi
Arumi menelepon Tante Farah, tapi malah dimarahin. Suaranya juga berisik
sekali.”
Anggi
menatap mbak pengasuh. Wanita muda itu mengangguk. “Iya, Bu. Sepertinya Mbak
Farah sedang mabuk.” Bisiknya.
Anggi
baru ingat, temannya itu sedang berlibur dengan kapal pesiar. Mungkin ia tidak
tahu kalau Arumi yang menelepon.
Selesai
makan, Anggi menyuruh Arumi untuk mandi. Ran menatap mata Anggi yang terlihat
gelisah.
“Kalau
nggak keberatan, ceritakan saja apa masalah mbak. Siapa tahu saya bisa bantu..”
Anggi
menunjukan beberapa gambar di HPnya. Ran mengamati daerah dalam foto tersebut.
“Ini..seperti
di daerah Dieng.” Gumamnya.
“Iya.
Beberapa hari yang lalu, aku kesana untuk mencari seseorang..”
Suara
riang Arumi terdengar dari arah kamar mandi. Terkadang ia berteriak kecil saat
sabun mengenai matanya.
Ran
mengulurkan tisu, menyeka butiran air mata di pipi tirus Anggi yang sedang
rapuh. Ia menggenggam kedua tangan berjari lentik itu.
“Ran,
kamu bisa membantuku…menjadi, muallaf?” Suara Anggi lirih. Ada getar dalam kata
terakhir.
“Insya Allah, mbak. Tentu saja dengan
senang hati.”
Ran
sempat terkejut dengan pilihan wanita itu. Bagaimanapun, ini bukanlah pilihan
mudah jika bukan dari keikhlasan hati.
Arumi
telah selesai mandi. Mbak pengasuh pun mengetuk pintu kamar Anggi untuk meminta
izin shalat ashar. Namun ia terkejut saat melihat wanita itu tengah bersimpuh
dalam balutan mukena putih bersih, bersama Ran yang menuntunnya untuk membaca
kalimat syahadat.
Suara
iqomah terasa berbeda di senja penuh
makna, mengiringi lafal indah yang mengawali kehidupan baru seorang wanita
muallaf.
**