Senin, 11 Desember 2017

Rumah Diantara Kabut_bagian 5

Alkisah di sebuah kerajaan..

Hiduplah seorang pangeran yang sangat tampan, bernama Pangeran Arka. Suatu hari, pangeran tersebut berkuda bersama adiknya yang gagah berani dan ramah, yakni Pangeran Ghandy. Keduanya berkuda menyusuri tepian sungai. Mereka tampak berkilauan seperti matahari, sesuai dengan arti nama keduanya.

Saat mereka melepas lelah di bawah sebuah pohon, desiran angin membawa sebuah suara sayup-sayup seorang wanita. Pangeran Arkapun mencari arah suara merdu itu.

Ternyata suara itu berasal dari hilir sungai, dimana seorang putri cantik sedang menyulam diatas batu. Wajahnya bersinar-sinar bagai purnama. Dialah Putri Candra Ratri, dari Kerajaan Bulan.

Putri yang merasa diamati oleh pangeran terlihat malu, dan buru-buru pergi  dengan tak sengaja meninggalkan hasil sulamannya yang indah. Pangeran mengambil sulaman itu dan membawanya pulang ke istana.

Kedua pangeran pun pulang, tanpa mengetahui bahwa mereka sedang diamati oleh seseorang dari atas pohon.

Pangeran Arka yang merasa jatuh cinta dengan Putri Candra Ratri, bermaksud mengadakan sayembara. Putri yang berhasil menyulam wajah dirinya dengan benang matahari, akan dijadikan istri. Pangeran Arka yakin Putri Candra Ratri akan hadir dalam sayembara itu dan memenangkannya.

Tibalah hari sayembara. Ada tiga puluh putri yang mengikuti, termasuk Putri Candra Ratri. Pangeran Arka meminta adiknya untuk menjadi  juri dalam sayembara tersebut.
Pangeran Ghandy mulai memeriksa  hasil sulaman para putri.  Dia terkejut saat melihat hasil milik Putri Candra Ratri. Bukan, bukan wajah Pangeran Arka dalam sulaman tersebut, melainkan wajah dirinya.

Pangeran  Arka terlihat marah. Namun tiba-tiba seorang putri berselendang biru mengangkat hasil sulamannya. “Anda belum memeriksa sulaman saya, Pangeran.”

Pangeran Ghandy mendekat. “Ini…bagaimana bisa? Siapa namamu?”

“Putri Taraka, dari Kerajaan Bintang.”

Pangeran Arka terkejut dengan hasil yang dibuat oleh Putri Taraka. Sangat indah dan memang wajah dirinya yang ada dalam sulaman.

Akhirnya, dengan terpaksa Pangeran Arka menikahi Putri Taraka, yang kalah cantik dengan Putri Candra Ratri.

Hari-hari berlalu, Pangeran Arka tidak pernah menunjukkan kasih sayangnya terhadap Putri Taraka. Ia pun lebih sering marah-marah, namun Putri Taraka tak pernah mengeluh.

Suatu ketika, Pangeran Arka meminta istrinya membuka selendang biru yang selalu menutupi lehernya. Dengan halus Putri Taraka menolak, Pangeran Arka pun marah. Dengan kasar ia menarik selendang itu, dan betapa terkejutnya ia. Leher Putri Taraka terdapat sisik seperti ikan mas!

Sejak kejadian itu, Pangeran mengurung diri di kamar. Putri Taraka selalu berusaha membujuknya untuk makan, namun ia selalu dilempar cawan dan makian. Karena kondisi Pangeran yang seperti itu, istana menjadi lengah. Merekapun diserang musuh, Pangeran Ghandy tewas saat menyelamatkan keduanya ke dalam hutan.

Bukan main, hancurnya hati Pangeran Arka. Didalam hutan, ia pun jatuh sakit. Putri Taraka yang setia, mulai bekerja membangun tempat tinggal dan mencari makanan.

Suatu malam, Pangeran Arka terbangun dan tidak mendapati istrinya. Ia pun keluar, dan diatas pohon terlihat cahaya keperakan yang menyilaukan. Karena penasaran, dipanjatlah pohon tersebut, namun sebelum berhasil meraih cahaya itu ia terjatuh dan pingsan.

Esoknya, Putri Taraka membuatkan bubur dan menyuapinya. Pangeran terkejut karena istrinya terlihat berbeda dan terdapat pendar biru bercampur perak diseluruh tubuhnya.

“Kau..apa yang terjadi? Selendangmu? Sisikmu..menghilang?”

Putri tersenyum. “Sisikku akan hilang saat aku mengeluarkan keringat ketulusan. Kemarin aku bekerja keras untuk membangun kembali istana kita.” Ia pun mengeluarkan sebuah kantong berisi sisik-sisik yang berkilauan.

“Sebagian telah ku jual. Sebentar lagi kita akan memiliki istana baru. Semoga Pangeran menyukainya.”

Dan benarlah, sebuah istana kecil yang tak kalah indah dengan istana mereka yang lama telah berdiri di tepi sungai yang sangat jernih. Putri Taraka pun membawa sebagian prajurit dari Kerajaan Bintang.

“Satu lagi…” Putri Taraka menunjuk sebuah batu ditengah sungai. Putri Candra Ratri duduk diatasnya sambil menyulam. “Nikahilah dia, karena aku tahu Pangeran sangat mencintainya..”

Pangeran Arka tidak bisa berkata-kata. Putri Taraka yang ia benci, tampak bersinar . Sedangkan Putri Candra Ratri mulai memudar dari pandangannya. Ia memeluk istrinya dengan rasa penuh penyesalan.

“Maafkan aku, Putri Taraka istriku..”

Akhirnya, merekapun menjalani hidup baru dengan bahagia dan dikaruniai dua putri kembar. Putri Kejora dan Putri Sitara.

Mungkin cahaya bintang lebih redup, namun terkadang ia lebih berkilauan dan tak ada fase untuk berubah seperti halnya bulan.


Doni menitikkan air mata. Pandangannya masih tertuju di layar laptop milik istrinya itu. Tadi ia melihat ada notifikasi email masuk dari sebuah majalah online. Ternyata kiriman Ran diterima oleh media tersebut.

“Eh, ada apa?” Ran muncul sambil membawa sepiring ubi rebus. Ia terkejut melihat Doni menyeka air mata.

Doni menjawab dengan pelukan. Ran makin heran.

“Sampai kapanpun, kamulah istri terbaikku.” Gumamnya. “Kiriman kamu diterima tuh..”

Ran melihat email yang sudah terbuka. Ia pun tersenyum.

Alhamdulillah. Tapi sepertinya yang di majalah anak-anak belum ada jawaban.”

Doni memperhatikan jari mungil Ran yang memainkan mouse. Jari yang menurutnya sangat ajaib, karena mampu melakukan berbagai hal. Seperti tongkat sihir yang bisa menciptakan hal indah, tulisan hebat, masakan lezat, dan rumah mungil yang selalu  terawat.

“Kamu nggak ke Lani’s Ginger House kan?”

“Hari ini nggak ada pesanan. Nggak kok, kenapa?”

“Nanti malam nonton yuk.”

Ran mengernyitkan kening keheranan. “Boleh. Ada film bagus apa?”

Ayat-ayat Cinta 2 mau nggak?”

Ran tertawa. Ia sebenarnya tidak terlalu suka ke bioskop. Bahkan ini baru kedua kalinya ia menonton film layar lebar.

“Yah, baiklah.” Ran mengangguk. Sebenarnya ia sedang menunggu novelnya terbit. Ia lebih suka membaca langsung ceritanya, daripada menontonnya.

Handphone Ran berdering. Ada panggilan masuk.

“Ah, temanku yang waktu itu. Mbak Anggi..”

“Ya sudah, aku mandi dulu.”

Ran mengangkat panggilan, namun bukan suara Anggi yang terdengar.

*

Tidak ada komentar :

Posting Komentar