Minggu, 14 Mei 2017

Rumah Diantara Kabut_bagian 3

Taxi berwarna biru laut itu menembus malam yang hampir berakhir. Diatas jalan layang menikung, sang sopir membunyikan klakson tiga kali bersamaan dengan bibirnya yang membaca ayat suci.

“Memangnya harus ya?”

“Oh, buat jaga-jaga saja mbak. Meski beda dimensi, secara kasat mata kita berdampingan dan tak ada salahnya saling menghormati.”

Wanita itu memandang keluar. Jalanan sepi, namun sopir taxi menyetir dengan hati-hati.

“Ngomong-ngomong..saya tahu, mbak sudah tidak bekerja di club itu. Tapi kenapa menunggu taxi disana?”

Wanita berjaket tebal dan berkacamata gelap itu terkejut. Setelah tiga kali pertemuan, kini ia yang salah tingkah, hanya dengan pertanyaan basa-basi.

“Eh, darimana kamu tahu? Ah, itu..kebetulan hari ini ada lembur mengecek barang sekalian promosi di cafĂ© dekat tempat kerja lama. Jadi yah, sekalian..”

“Saya kira mbak sengaja menunggu saya. Haha. Habis, tiap hari saya bawa penumpang lewat sana dan lihat mbak menunggu ditempat yang sama.”

“Eh, iya. Maksudku..bukan. Haha.”

Wanita itu menjadi sangat gugup. Terakhir perasaan itu muncul saat ia masih delapan tahun dan ditunjuk untuk memimpin pujian di gereja.

“Sudah sampai, mbak. Masih mau melamun?”

“Oh, ya ampun. Maaf.”

Sopir muda itu tertawa. Dan seperti pertama kali mengantarnya yang dalam keadaan setengah sadar. Ia tak pernah memandang secara langsung meski sedang berhenti seperti sekarang.

“Maaf. Ini..sarung yang waktu itu. Terimakasih.”

“Syukurlah sekarang mbak tidak perlu memakainya lagi. Haha..”

“Anggi.”

Wanita itu mengulurkan tangan, namun segera menariknya saat sang sopir hanya menyatukan kedua tangannya di depan dada.

“M..maaf.”

“Saya, Ibrahim. Syarif Ibrahim. Kalau boleh saya sarankan, mbak tidak perlu menunggu taxi disana. Apalagi tidak semua sopir yang mangkal disekitar tempat itu baik-baik. Saya permisi dulu.”

Anggi masih berdiri sampai lampu mobil tak terlihat lagi. Ia memasukkan tangannya ke kantong jaket yang hampir menutupi lutut. Entah bagaimana, tapi ia yang tidak pernah memakai celana panjang sebelumnya menjadi sangat nyaman.

Dari pintu gerbang, ia melihat salah satu lampu ruangan menyala. Seseorang menunggu di kamarnya.

*

“Sejak kapan kamu disini?”
Anggi melemparkan tasnya dan meraih air putih di sudut kamar.

“Tadi malam jam delapan. Tapi kata mbak, Arumi udah tidur.”

“Baguslah.” Gumam Anggi yang bersiap-siap mau mandi.

“Klien kamu banyak yang nyariin tuh. Om Ferdi sampai maksa aku minta nomor kamu..”

“Terus kamu kasih??”

“Haha. Nggak lah.”
Farah menyalakan sebatang rokok, sambil mendengarkan suara percikan air. Suara speaker dari masjid mulai terdengar sayup-sayup. Ia pun mengambil  headset.

“Lapar nih. Kamu nggak punya sesuatu yang bisa dimakan? Kulkas kamu juga nggak ada bir sama sekali.”

“Ada sayuran sama roti. Nanti aku masak sekalian buat sarapan dan bekal Arumi.”

“Hahh! Sejak kapan kamu bisa bikin masakan layak makan? Seingatku, terakhir kamu mau buat omelette malah jadi telur orak arik.”

Anggi tak menjawab, sibuk dengan hairdryer yang berdengung. Farah meraih HP Anggi, menelepon restoran cepat saji.

*

Rumah mungil berwarna-warni namun bukan terbuat dari kue dan gula-gula yang menarik perhatian anak kecil untuk mencomot sebongkah, tanpa sadar ada penyihir jahat yang bersembunyi untuk menangkapnya. Tapi didalamnya memang banyak kue-kue menarik, dan beberapa permen warna-warni. Disudut ruangan, sebuah etalase berisi beberapa tart asli dan replika di rak sebelahnya. Seorang pengunjung masuk, ibu muda dan anak laki-lakinya yang berumur lima tahunan. Mengambil pesanan tart ulang tahun, dan beberapa kotak cupcake. Pemilik toko memberi bonus permen boneka jahe kepada anak laki-laki bermata sipit itu.

Ran mengambil sebungkus mini pizza, lalu duduk di meja dekat pintu masuk. Pemilik toko membawakan segelas jus jeruk.

“Kamu semalam tidur di toko?”

“Hmm, ya.”

“Pras..dia tadi malam telepon. Kamu buat khawatir saja..”

Lani tersenyum kecut. Ran menggigit mini pizza dengan beberapa irisan smoke beef  dan paprika. “Saus tomatnya kurang. Jadi terlalu garing.”

“Itu pegawai baru yang buat. Katanya takut aku marah kalau terlalu banyak mengoles sausnya. Padahal aku sendiri yang mengajarinya dari awal. Huhh..”

“Hari ini, kamu mau menginap disini lagi?”

Wanita dengan celemek bergambar semangka itu membuang pandangannya ke jalan raya. Ibu muda dan anak kecilnya tadi sedang menikmati permen, sambil menunggu taxi.

“Nggak. Nanti malam aku pulang.”

“Ah, baiklah. Aku ke rumah ibu malam ini. Beritahu aku kalau ada apa-apa.”

“Kamu yakin, mau membawa itu? Yah, meskipun katamu makanan kesukaannya..”

“Tapi bukan aku yang membuatnya kan? Lagi pula, ada mas Doni. Mungkin, tidak apa-apa..”

Ran menjinjing sekotak brownies ketan hitam. Bagian atas kotak bergambar koki wanita gemuk dan sebuah rumah mungil. Lani’s Ginger House.

*