Dari sekian jenis
minuman yang pasti menjadi pilihan ditengah cuaca panas, Ran memilih green tea hangat dengan madu. Seorang waitress muda mengantarkannya ke meja out door dibawah pohon belimbing.
“Silahkan, Bu. Ini meja
nomor 23 yang sudah dipesan atas nama ibu Anggi.”
“Terimakasih.”
Kehangatan teh mengalir
bersama lembutnya matahari dari balik bayang-bayang daun belimbing. Angin
membuka celah masa lalu saat seseorang tidak bisa membedakan aroma teh dengan
parfum yang ia kenakan.
“Anda..Kirana?”
“Oh..ya. Dan anda
pasti, emm..ibu Anggi.”
“Haha..panggil Anggi
saja, dan ini keponakan saya, Arumi. Maaf. sudah lama menunggu ya, Kirana?”
“Belum kok. Silahkan
duduk, eh..mbak.”
Ran sibuk menerka-nerka
umur Anggi saat ia sibuk memilihkan pesanan untuk Arumi. Di mata Ran, ia
bagaikan tart susu bertopping
stroberi dengan sedikit sprinkle pelangi
diatasnya. Sangat anggun dengan dress merah
terang yang membalut kulit putihnya. Arumi, gadis manis berkepang dua itu__ah,
mata dan hidungnya mirip seseorang…
“Ngomong-ngomong, enak
ya, jadi koki. Bisa buat masakan enak, pekerjaan jelas, bisa buka usaha buat
masa depan juga..” Anggi memulai pembicaraan.
“Sama saja kok mbak.
Semua orang juga pasti bisa masak. Hanya mungkin enak atau tidak..haha.”
“Tante juga bisa masak
nasi goreng buat bekal Arumi.” Gadis kecil itu menyela. Anggi tertawa.
“Yah, cuma nasi goreng
yang aku bisa. Itupun dengan bumbu instan.”
Ran tertawa. Ternyata
wanita cantik itu juga pandai bercanda dan periang.
“Nggak masalah, mbak.
Kalau mau belajar masak, main saja ke rumah. Arumi juga boleh ikut. Dirumah
saya nggak ada anak kecil. Jadi, pasti menyenangkan ada Arumi.”
“Oh ya..tentu saja.
Arumi diam-diam penggemar tahu bayam buatanmu lho..” Lagi-lagi Anggi tertawa.
Arumi terlihat malu-malu.
“Wah..benarkah, Arumi?
Eh, maaf sebelumnya. Tapi saya harus kembali kerja. Jam istirahatnya hampir
habis.”
“Aku yang minta maaf,
Kirana. Sudah mengambil waktu istirahatmu. Kapan-kapan kita masih bisa bertemu
lagi kan?”
“Haha..tentu saja,
mbak. Tante pergi dulu, Arumi..”
Arumi menatap Ran yang
menunggu taxi di seberang cafĂ©. “Tante itu kecil banget ya, tapi cantik..”
“Masa sih. Tapi pasti lebih cantik tante kan?”
Arumi tertawa lalu
menghabiskan es krimnya. “Tante tau nggak, Tinkerbell? Peri kecil yang bajunya
hijau? Tante tadi..mirip Tinkerbell. Haha..imut.”
“Ya ampun, Arumi.
Jangan keras-keras. Nanti dia dengar lho..”
Arumi menutup mulutnya dengan pancake pisang. Anggi memandang Ran yang sudah mendapatkan taxinya. Diperjalanan pulang, diam-diam ia mencari gambar tentang peri kecil yang dikatakan Arumi. Tinkerbell?
*
Aku
bukan ratu dengan puluhan dayang-dayang. Jika kau perhatikan, jari ini tidak
ada yang luput dari luka. Sayatan di telunjuk belum juga layu, kini kelingking
tergores mata pisau. Cincin bermata satu ini tak bisa ku geser karena sengatan
uap panas membuat jari manis melepuh.
Jadi,
aku bukan istanamu meski kau seorang raja.
Suatu
ketika, saat badai menghantam jalan pulang, kau kehilangan payung dan tak
berani berteduh di bawah pohon. Rumah ibu mu masih sangat jauh. Saat kilat
menyambar pohon kelapa, terlihatlah sebuah rumah. Cukup dekat jika mampu
memperhitungkan kilat yang menyambar lima menit sekali. Lalu kau berlari,
berharap sampai di rumah itu sebelum menit kelima. Tapi terlambat. Kau tiba
di menit ketujuh. Tak ada kilat yang menyayat kulit, karena kakimu telah memasuki
gerbang rumah. Pada akhirnya, kau berlindung di rumah itu sampai orang
tuamu datang menjemput sambil membawa uang untuk membeli rumah yang telah
menyelamatkan putranya dari badai. Sekarang kau memiliki sandaran saat lelah
merobohkan langkah. Tapi beberapa waktu, kau hanya singgah. Karena ada surga
yang kau jaga, dan rumah itu tak bisa menyalahkan surga yang telah memberimu
tempat aman sebelum badai.
Ran menyandarkan
tubuhnya ke sofa. Terasa beberapa tulang berderak, saling memposisikan diri.
Hari ini Doni menginap di rumah ibunya. Tentu dengan debat singkat, yang
berakhir “Ibu nggak akan pernah mau tinggal dengan kita, Ran.” Dan Ran harus
mengalah, meski jengah.
Wajah ibu mudah sekali
ditebak saat pertama kali datang ke rumah mereka. “Sangat kecil, ibu nggak betah. Kamu nggak pasang AC? Bagaimana kalau
biang keringat ibu kambuh kalau gerah? Lalu kamar mandi sekecil itu, mana tahan
ibu mandi dengan bak kecil dan pasti lima menit di dalamnya, sangat pengap.
Pokoknya kamu yang harus di rumah ibu atau ibu nggak akan pernah mau tinggal di
rumah mewah mu..”
Setiap sudut rumah, Ran
selalu terbayang keringat yang harus ia keluarkan untuk membangun rumah itu.
Beberapa tahun bekerja, dan inilah hasilnya. Hasil kerja payahnya sendiri,
sedang uang Doni untuk membiayai pernikahan mereka. Tidak ada satu barang pun
dari ibu mertua. Tapi beberapa peralatan dapur itu hadiah dari mama dan
kakak-kakaknya. Ran tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Tapi ibu akhir-akhir ini selalu ribut, karena anak lelaki satu-satunya jarang berkunjung.
Doni sudah lelah membujuk ibunya dan tak kuasa mengajak Ran untuk tinggal
bersama ibunya lagi, setelah rumah yang ia impikan terwujud dan kebetulan dekat
dengan tempat kerjanya.
Malam itu, Anggi datang tanpa Arumi. Tangannya penuh dengan belanjaan bahan makanan.
“Mbak Anggi mau masak
apa? Banyak banget belanjanya.
Haha..”
“Kemarin aku lihat di internet,
ada risolles dari roti tawar. Kamu
bisa ajari aku cara membuatnya kan? Semua bahannya sudah aku beli.”
Ran tertawa. “Ayo ke
dapur.”
Beberapa saat, ke dua
wanita itu sibuk di dapur. Ran sempat mengirimkan pesan singkat ke Doni sebelumnya. “Temanku, Mbak Anggi datang, mau belajar
masak. Mungkin aku akan sibuk beberapa saat. Tidak ada laki-laki.”
“Suami kamu belum
pulang, Kirana?”
“Oh, menginap di rumah
ibunya, mbak..”
“Kalian saling percaya,
ya?”
“Bukankah memang begitu
seharusnya?” Ran tersenyum. Anggi berhenti memotong kentang saat handphonenya bunyi. Terdengar suara
seorang wanita setengah berteriak diantara keramaian.
“Kamu dimana? Nggak kerja?”
“Aku
sedang belajar memasak. Jangan ganggu dulu.” Suara Anggi terdengar ketus.
“Apa? Kamu gangguan jiwa ya? Klien
kamu banyak yang menunggu. Cepat berangkat!”
“Nggak mau. Buat kamu saja..”
“Hahh..hei tunggu..!”
Anggi
mematikan handphonenya. “Maaf,
Kirana. Teman kerjaku, bawel banget.
Haha.”
“Mbak
bolos kerja?”
“Yah,
karena lagi pengen belajar masak. Bukan masalah kok. Ayo, kita lanjutkan..”
Satu jam kemudian, risolles dari roti tawar pun terhidang dengan cantik. Berkali-kali Anggi memotret hasil masakannya.
Ran
tersenyum saat beberapa kali wanita anggun itu berkomentar enak sambil menirukan gaya Farah Quinn diacara televisi dan mengunyah tanpa
malu-malu. Sesaat ia teringat, ketika dihari kesepuluh pernikahannya, tanpa sengaja mendengar ibu bilang ke tetangga sebelah bahwa masakannya sangat payah. “Bagaimana bisa wanita seperti itu jadi koki? Padahal masakannya sangat
payah. Aku selalu mulas tiap kali makan masakannya. Kalau bukan karena anakku,
mungkin aku rela mati kelaparan daripada makan masakannya.”
Lalu
tetangga yang memang bermulut pedas itu berkomentar. ”Hati-hati lho, Bu. Sekarang banyak berita menantu meracuni
mertuanya..”
Beberapa
hari kemudian, Ran melihat semua masakannya yang masih hangat dibuang ke tempat
sampah. Saat ia bertanya apa sebabnya, ibu hanya menjawab, “Sudah basi, masa mau dimakan.” Tapi Ran
tidak pernah menceritakan hal itu kepada Doni, setidaknya sampai saat ini.
*