Minggu, 19 Maret 2017

Rumah Diantara Kabut_bagian 2

Dari sekian jenis minuman yang pasti menjadi pilihan ditengah cuaca panas, Ran memilih green tea hangat dengan madu. Seorang waitress muda mengantarkannya ke meja out door dibawah pohon belimbing.

“Silahkan, Bu. Ini meja nomor 23 yang sudah dipesan atas nama ibu Anggi.”

“Terimakasih.”

Kehangatan teh mengalir bersama lembutnya matahari dari balik bayang-bayang daun belimbing. Angin membuka celah masa lalu saat seseorang tidak bisa membedakan aroma teh dengan parfum yang ia kenakan.

“Anda..Kirana?”

“Oh..ya. Dan anda pasti, emm..ibu Anggi.”

“Haha..panggil Anggi saja, dan ini keponakan saya, Arumi. Maaf. sudah lama menunggu ya, Kirana?”

“Belum kok. Silahkan duduk, eh..mbak.”

Ran sibuk menerka-nerka umur Anggi saat ia sibuk memilihkan pesanan untuk Arumi. Di mata Ran, ia bagaikan tart susu bertopping stroberi dengan sedikit sprinkle pelangi diatasnya. Sangat anggun dengan dress merah terang yang membalut kulit putihnya. Arumi, gadis manis berkepang dua itu__ah, mata dan hidungnya mirip seseorang…

“Ngomong-ngomong, enak ya, jadi koki. Bisa buat masakan enak, pekerjaan jelas, bisa buka usaha buat masa depan juga..” Anggi memulai pembicaraan.

“Sama saja kok mbak. Semua orang juga pasti bisa masak. Hanya mungkin enak atau tidak..haha.”

“Tante juga bisa masak nasi goreng buat bekal Arumi.” Gadis kecil itu menyela. Anggi tertawa.

“Yah, cuma nasi goreng yang aku bisa. Itupun dengan bumbu instan.”

Ran tertawa. Ternyata wanita cantik itu juga pandai bercanda dan periang.

“Nggak masalah, mbak. Kalau mau belajar masak, main saja ke rumah. Arumi juga boleh ikut. Dirumah saya nggak ada anak kecil. Jadi, pasti menyenangkan ada Arumi.”

“Oh ya..tentu saja. Arumi diam-diam penggemar tahu bayam buatanmu lho..” Lagi-lagi Anggi tertawa. Arumi terlihat malu-malu.

“Wah..benarkah, Arumi? Eh, maaf sebelumnya. Tapi saya harus kembali kerja. Jam istirahatnya hampir habis.”

“Aku yang minta maaf, Kirana. Sudah mengambil waktu istirahatmu. Kapan-kapan kita masih bisa bertemu lagi kan?”

“Haha..tentu saja, mbak. Tante pergi dulu, Arumi..”

Arumi menatap Ran yang menunggu taxi di seberang cafĂ©. “Tante itu kecil banget ya, tapi cantik..”

Masa sih. Tapi pasti lebih cantik tante kan?”

Arumi tertawa lalu menghabiskan es krimnya. “Tante tau nggak, Tinkerbell? Peri kecil yang bajunya hijau? Tante tadi..mirip Tinkerbell. Haha..imut.”

“Ya ampun, Arumi. Jangan keras-keras. Nanti dia dengar lho..”

Arumi menutup mulutnya dengan pancake pisang. Anggi memandang Ran yang sudah mendapatkan taxinya. Diperjalanan pulang, diam-diam ia mencari gambar tentang peri kecil yang dikatakan Arumi. Tinkerbell?
*
Aku bukan ratu dengan puluhan dayang-dayang. Jika kau perhatikan, jari ini tidak ada yang luput dari luka. Sayatan di telunjuk belum juga layu, kini kelingking tergores mata pisau. Cincin bermata satu ini tak bisa ku geser karena sengatan uap panas membuat jari manis melepuh.
Jadi, aku bukan istanamu meski kau seorang raja.
Suatu ketika, saat badai menghantam jalan pulang, kau kehilangan payung dan tak berani berteduh di bawah pohon. Rumah ibu mu masih sangat jauh. Saat kilat menyambar pohon kelapa, terlihatlah sebuah rumah. Cukup dekat jika mampu memperhitungkan kilat yang menyambar lima menit sekali. Lalu kau berlari, berharap sampai di rumah itu sebelum menit kelima. Tapi terlambat. Kau tiba di menit ketujuh. Tak ada kilat yang menyayat kulit, karena kakimu telah memasuki gerbang rumah. Pada akhirnya, kau berlindung di rumah itu sampai orang tuamu datang menjemput sambil membawa uang untuk membeli rumah yang telah menyelamatkan putranya dari badai. Sekarang kau memiliki sandaran saat lelah merobohkan langkah. Tapi beberapa waktu, kau hanya singgah. Karena ada surga yang kau jaga, dan rumah itu tak bisa menyalahkan surga yang telah memberimu tempat aman sebelum badai.

Ran menyandarkan tubuhnya ke sofa. Terasa beberapa tulang berderak, saling memposisikan diri. Hari ini Doni menginap di rumah ibunya. Tentu dengan debat singkat, yang berakhir “Ibu nggak akan pernah mau tinggal dengan kita, Ran.” Dan Ran harus mengalah, meski jengah.

Wajah ibu mudah sekali ditebak saat pertama kali datang ke rumah mereka. “Sangat kecil, ibu nggak betah. Kamu nggak pasang AC? Bagaimana kalau biang keringat ibu kambuh kalau gerah? Lalu kamar mandi sekecil itu, mana tahan ibu mandi dengan bak kecil dan pasti lima menit di dalamnya, sangat pengap. Pokoknya kamu yang harus di rumah ibu atau ibu nggak akan pernah mau tinggal di rumah mewah mu..”

Setiap sudut rumah, Ran selalu terbayang keringat yang harus ia keluarkan untuk membangun rumah itu. Beberapa tahun bekerja, dan inilah hasilnya. Hasil kerja payahnya sendiri, sedang uang Doni untuk membiayai pernikahan mereka. Tidak ada satu barang pun dari ibu mertua. Tapi beberapa peralatan dapur itu hadiah dari mama dan kakak-kakaknya. Ran tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Tapi ibu akhir-akhir ini selalu ribut, karena anak lelaki satu-satunya jarang berkunjung. Doni sudah lelah membujuk ibunya dan tak kuasa mengajak Ran untuk tinggal bersama ibunya lagi, setelah rumah yang ia impikan terwujud dan kebetulan dekat dengan tempat kerjanya.

Malam itu, Anggi datang tanpa Arumi. Tangannya penuh dengan belanjaan bahan makanan.

“Mbak Anggi mau masak apa? Banyak banget belanjanya. Haha..”

“Kemarin aku lihat di internet, ada risolles dari roti tawar. Kamu bisa ajari aku cara membuatnya kan? Semua bahannya sudah aku beli.”

Ran tertawa. “Ayo ke dapur.”

Beberapa saat, ke dua wanita itu sibuk di dapur. Ran sempat mengirimkan pesan singkat ke Doni sebelumnya. “Temanku, Mbak Anggi datang, mau belajar masak. Mungkin aku akan sibuk beberapa saat. Tidak ada laki-laki.”

“Suami kamu belum pulang, Kirana?”

“Oh, menginap di rumah ibunya, mbak..”

“Kalian saling percaya, ya?”

“Bukankah memang begitu seharusnya?” Ran tersenyum. Anggi berhenti memotong kentang saat handphonenya bunyi. Terdengar suara seorang wanita setengah berteriak diantara keramaian.

“Kamu dimana? Nggak kerja?”

“Aku sedang belajar memasak. Jangan ganggu dulu.” Suara Anggi terdengar ketus.

“Apa? Kamu gangguan jiwa ya? Klien kamu banyak yang menunggu. Cepat berangkat!”

Nggak mau. Buat kamu saja..”

“Hahh..hei tunggu..!”

Anggi mematikan handphonenya. “Maaf, Kirana. Teman kerjaku, bawel banget. Haha.”

“Mbak bolos kerja?”

“Yah, karena lagi pengen belajar masak. Bukan masalah kok. Ayo, kita lanjutkan..”

Satu jam kemudian, risolles dari roti tawar pun terhidang dengan cantik. Berkali-kali Anggi memotret hasil masakannya.

Ran tersenyum saat beberapa kali wanita anggun itu berkomentar enak sambil menirukan gaya Farah Quinn diacara televisi dan mengunyah tanpa malu-malu. Sesaat ia teringat, ketika dihari kesepuluh pernikahannya, tanpa sengaja mendengar ibu bilang ke tetangga sebelah bahwa masakannya sangat payah. “Bagaimana bisa wanita seperti itu jadi koki? Padahal masakannya sangat payah. Aku selalu mulas tiap kali makan masakannya. Kalau bukan karena anakku, mungkin aku rela mati kelaparan daripada makan masakannya.”

Lalu tetangga yang memang bermulut pedas itu berkomentar. ”Hati-hati lho, Bu. Sekarang banyak berita menantu meracuni mertuanya..”

Beberapa hari kemudian, Ran melihat semua masakannya yang masih hangat dibuang ke tempat sampah. Saat ia bertanya apa sebabnya, ibu hanya menjawab, “Sudah basi, masa mau dimakan.” Tapi Ran tidak pernah menceritakan hal itu kepada Doni, setidaknya sampai saat ini.
*

Selasa, 14 Maret 2017

Semak Mawar Berduri

Ibu langsung memangkas habis rumpun mawar yang nyaris mekar bunganya dua tangkai. Aku diam-diam menanamnya di belakang rumah, untuk ku hadiahkan kepadanya saat sudah berbunga. Tak kusangka, bukan tawa ibu yang kudengar. Tapi dencingan parang menebas habis rumpun itu hingga tak tersisa. Wajah ibu merah, lebih merah dari mawar yang kini tergeletak pasrah diantara duri-durinya. Anehnya, tak sepucuk duripun melukai tangan ibu. Bahkan kini aku yang merasa dicabik-cabik ribuan pucuk duri.
Melihat rumpun itu telah roboh, ibu tampak sangat puas. Lalu dipandangnya aku dengan masam. Aku bergidik ngeri, membayangkan tangan ibu yang halus mampu menumpas habis rumpun berduri itu bagaikan membabat segerombolan laki-laki yang mencoba menggodanya. Aku ingat, suatu hari ketika kami pulang dari pasar, tiga orang laki-laki berwajah jelek menghadang dan bersiul menggoda ibu. Saat itu aku sangat ketakutan dan bersembunyi di balik kain jaritnya. Tanpa disangka-sangka, ibu melempari ketiga laki-laki itu dengan telur dan sayuran. Bahkan diayun-ayunkannya sepotong kayu untuk menghalau mereka. Aku tidak bisa membayangkan ketika tangan ibu merogoh pisau yang baru dibelinya. Untunglah mereka segera pergi setelah mengumpat-umpat dan memelototi bagian dada ibu yang tak sempat terjamah.
Sejak saat itu, ibu tidak pernah meninggalkanku sendirian di rumah, maupun bepergian sendiri. Aku merasa ibu menjadi lebih was-was.
Ibu selalu melarangku mendekati laki-laki, siapapun itu. Lalu ketika aku bertanya siapa ayahku, ia hanya mengatakan bahwa aku terlahir begitu saja dari rahimnya tanpa seorang ayah. Ia tidak mengatakan dirinya Maryam. Tapi saat aku telah belajar mengaji, aku tahu hanya Maryam yang dianugerahi seorang anak tanpa suami.
Selama itu aku mempercayai ibu, karena hanya dialah yang aku punya. Pernah suatu ketika ibu mengajakku ke sebuah makam. Katanya itu makam nenek. Tapi ketika aku bertanya tentang kakek, wajah ibu langsung merah. Persis seperti ketika ia membabat habis rumpun mawar yang kutanam untuknya. Setelah itu, ia melarangku untuk menanyakannya lagi kalau tidak ingin ibu mati. Aku sangat takut, lalu mengunci pertanyaan itu serapat mungkin. Hingga suatu hari kunci itu terlepas dengan sendirinya.
Terdengar ibu menjerit, dari arah sumur. Ia jatuh terpeleset saat mengangkat cucian. Kepalanya terantuk bibir sumur. Terlihat darah merembes disela-sela sanggulnya yang terurai. Aku terisak tanpa suara. Ibu menjamah tanganku lalu bergumam lirih.
"Aku memang bodoh, membiarkanmu hidup sengsara bersamaku. Tapi kurasa itu lebih baik, daripada kau bernasib sama sepertiku. Jika aku meninggal, carilah ayahmu. Dia pasti mengenalimu." Ibu menghela nafas dengan sangat payah. Bukan karena luka di kepalanya. Tapi beban yang selama ini tertimbun dalam-dalam harus dikeluarkan. Harus. Matanya yang kering kerontang menatapku. Sangat kering. Lalu ibu bercerita.

**
Saat itu Minggu sore. Aku masih ingat. Aku memakai baju motif bunga mawar dan rok dari kain yang mirip kantong terigu kaku yang kadang membuat gatal, jahitan ibu. Bersama Utik dan tiga anak lagi, kami bermain petak umpet. Aku mendapat tempat persembunyian yang baik, di dalam semak mawar berduri yang gelap dan melindungi namun diam-diam menikam perlahan.
Aku merasa duri-duri mawar melindungiku untuk beberapa saat, sebelum ketakutan mengurung diriku beberapa waktu. Aku melihat seorang laki-laki menyekap Utik yang sedang berhitung dibalik pohon lalu menggendongnya ke arah gubuk yang tampak jelas dari dalam semak. Bukan. Bukan ayah Utik. Ayahnya sudah meninggal saat ia masih bayi. Utik meronta-ronta lalu diam tak bergeming. Aku gemetar ketakutan. Air mataku menggelincir bercampur dengan darah goresan duri mawar.
Ibu menemukanku di dalam semak. Tubuhku habis dimakan duri. Ibu menggendongku pulang, sementara orang-orang masih berkerumun dan sibuk menanyai tiga temanku yang tentu tak tahu apa-apa karena mereka bersembunyi di rumah masing-masing. Dan hanya aku yang tahu kenapa Utik pingsan bertelanjang bulat dengan sedikit darah di ujung bajunya.

*
Ibu menggigil kedinginan. Aku memeluknya. Ia melanjutkan ceritanya meski aku melarangnya. Lukanya terlalu parah, tapi aku juga ingin tahu apa alasan ia membenci rumpun mawar.
"Suatu hari, ketika ibu ke pasar, seseorang menyergapku. Kau tahu, dia ayah. Kakekmu. Ia menganggapku wanita dewasa yang bisa melayaninya. Aku tidak yakin itu ayah. Tapi siapa lagi yang memiliki luka bakar di lengan, bulat dan hitam. Aku yang menyebabkan luka itu. Ibu pernah menceritakan hal itu, sebelum ayah terjebak di dunia setan. Aku sendiri yakin, ayah sudah menjadi setan saat itu. Matanya merah menerkam, rambutnya lebih buruk dari ijuk. Dan kuku-kukunya yang hitam mencengkeram kerah baju baru yang sedang kucoba. Aku melanggar janji untuk memakai baju itu saat lebaran.
Sayup-sayup masih terdengar suara ayah yang mengancam akan membunuh ibu jika aku bercerita. Aku menangis. Lalu tubuhku terhempas ke dalam semak mawar berduri yang gelap, dengan bayangan hitam laki-laki di atas tubuh Utik di dalam gubuk. Lengan laki-laki itu terdapat luka bakar hitam bulat yang kian membesar dan menjadi sebuah lubang hitam gelap. Lubang neraka.
Selama itu aku diam. Ibu benar-benar percaya bahwa aku nyaris diterkam harimau. Hingga suatu petang, ketika ibu masih mengenakan mukena panjangnya sehabis shalat maghrib, ayah pulang dengan terhuyung-huyung. Matanya tidak seperti manusia, harimau pun bukan. Ditujunya tudung saji yang ada di atas meja. Namun yang ditemukan hanyalah kendi warisan nenek berisi air putih, yang baru saja diisi airnya. Ayah sangat murka. Dilemparkan kendi itu ke ibu tepat di kepalanya. Kendi pecah, begitupun kepala ibu. Sungguh, aku tidak tahu kekuatan apa yang ada dalam kendi tersebut. Atau kepala ibu yang terlalu rapuh sehingga kendipun mampu menghancurkannya. Aku terisak disamping ibu, persis seperti kau saat ini."
Ibu tersenyum. Sangat getir. Aku bisa merasakan pahit yang sangat mencekik. "Aku tidak ingin kau sepertiku. Tapi kau punya ayah. Mungkin dia lebih baik dari ayahku. Tapi aku tidak begitu yakin. Kurasa semua laki-laki sudah tidak waras. Atau mungkin dunia akan berakhir besok pagi."
Aku merasa terjerembab ke dalam semak mawar yang ibu ceritakan. Gelap dan mengerikan. Seluruh tubuhku basah oleh darah. Aku tidak ingin melanjutkan keturunanku. Aku ingin mati bersama ibu.
***


Jakarta, 11 Oktober 2015
Tentang Paedofil mengerikan..
Hanya fiktif, namun hati-hati..

Sabtu, 04 Maret 2017

Sang Penyelamat

Sekelebat angin menyibakkan geraian rambut yang masai. Pandangannya terganggu sejenak. Lalu sang angin datang lagi, membelai. Kini tatapannya terbentur pemandangan di ujung titian bambu reyot. Di seberang sana, laki-laki itu ditemani setitik cahaya kemerahan. Kadang terselip dan menghilang di ujung mulutnya. Segumpal asap menari sebentar di depan wajahnya, lalu lenyap tanpa ragu.
Nur mendesah, menyayangkan mata minusnya yang makin bertambah. Laki-laki di ujung titian itu nampak samar. Ada hawa dingin menggeleser, lalu Nur merasa ditarik suatu ikatan yang ganjil. Tubuhnya melesat melewati titian dengan selamat. Dan ia berada di balik punggung laki-laki itu.
"Mas.."
Nur tertegun. Tidak tahu kata apa lagi yang akan di sambungkan menjadi kalimat keterkejutan, kemarahan yang aneh, atau setidaknya sapaan wajar. Tatapannya fokus pada sebatang rokok yang terselip di jari laki-laki itu.
"Eh, Nur. Sejak kapan kau disini?"
"Baru." Nur tetap menatap rokok itu yang lebih dari seorang perempuan simpanan. Darahnya mendesir cepat, singgah di otak sejenak lalu berhenti di tangan kanan yang membuatnya terasa ringan melayang, dan akhirnya menyambar batang rokok yang masih terselip di jari si laki-laki.
Aldo tertawa hambar. Nur sangat gusar. Apa yang membuat laki-laki itu tergelitik untuk menertawakannya? Rokok itu. Racun yang Nur percaya menggerogoti setiap jengkal daging dan meniruskan jiwa. Memaksa jiwa lain untuk menyerap racun yang sama namun lebih mematikan.
"Mas, aku kira kau mengerti.."
"Tentu saja. Kau hanya takut mati, Nur. Kau takut semua orang mati konyol, bukan. Tapi kau tidak bisa melakukan apapun untuk melindungi semua manusia dari kematian yang kau anggap konyol itu. Kau hanya terlalu fanatik dan sedikit cerewet."
Aldo merogoh kantongnya, mengeluarkan sekotak rokok bergambar tengkorak. Menyelipkan sebatang ke mulut dan menghisapnya dalam-dalam. Nur terpekik. Tanah yang dipijak seakan mengandung aliran listrik, menyengat dan menyayat kebaya putih pemberian ibu.
*
"Nur..bangun. Kau mimpi ayahmu lagi, nak?"
Nur menggeleng dan terisak. Keringat dingin menggelincir dan terbenam di celah selimut. Ibu memeluk Nur dan menenangkannya. Perempuan itu gelisah setiap kali Nur terbangun dengan isakan. Nur bukan anak-anak lagi. Tapi mimpi yang sering dialaminya lebih buruk dari anak-anak pengkhayal dongeng si Janggut Biru. Terlebih setelah ayah meninggal. Sebelum lepas 40 hari, dalam mimipinya setiap malam, Nur di datangi ayah. Tapi wajah ayah bukan seperti malaikat yang putih bersinar dan bersayap. Tubuhnya bungkuk dan ada lubang di pangkal leher sebelah atas dadanya. Ia menghisap rokok berasap hijau, dan setiap hisapan merontokkan dagingnya yang kisut. Ayah merintih-rintih minta air, tapi rokok dan asaplah yang datang menyumpal tenggorokannya.
Setahun yang lalu menjelang lebaran, ayah menghembuskan nafas penghabisannya dengan susah payah. Ibu nampak lega ketika itu. Mungkin itu yang terbaik, atau ibu yang sudah lelah dan penat tiap hari bolak-balik mengurus ayah yang berkeras ingin berobat alternatif di dukun yang jauhnya 30 km. Ayah tidak meninggalkan apapun, kecuali memar di pipi ibu. Nur melihat memar itu masih segar, dan mungkin tak akan hilang sebagai harta peninggalan ayah untuk ibu yang selalu berusaha mati-matian menjaganya agar tidak lekas mati.
Beberapa hari setelah ayah meninggal, ibu membuat bolu untuk menopang sisa hidup yang harus dijalani. Sesekali Nur mencicipi sepotong sebagi upah mengkocokkan telur yang membutuhkan waktu lama agar menjadi bolu yang lembut. Ibu selalu menasihati Nur agar membuatkan bolu terlembut untuk suaminya kelak, agar tidak menghisap rokok yang tak mengeyangkan. Menurut Nur, kemungkinan berhasilnya sangat sulit tapi ibu tak pernah lupa mengucapkan kalimat itu disela-sela kesibukannya memisahkan kuning dan putih telur. Keduanya seakan dua hal yang berbeda namun akan menjadi sesuatu yang luar biasa jika diproses terpisah dan akhirnya disatukan kembali. Kelembutan yang meluluhkan keinginan untuk bunuh diri secara perlahan.
Nur menimbang-nimbang, dibelahan bumi manakah ia bisa berjumpa laki-laki yang seperti itu. Tak kan serisau itu jika ia tak mengingat nasib ibu sekarang dan memar yang menghiasi pipi. Hati ibu seperti bolunya yang lembut, namun akan mengeras jika dibiarkan tak dimakan dan hanya menjadi bulan-bulanan udara yang bergerak. Suatu ketika, ibu membakar semua pipa dan tembakau beserta ganja kering yang tersembunyi di lipatan peci ke dalam tungku. Hati ayah ikut berkobar melihat mainannya terbakar. Ibu dipukul bertubi-tubi, namun ibu tidak terlihat bersalah dan menyesal. Bahkan air mata tak mengambang setetespun. Nur kagum dengan ketabahan ibu, tapi ia takut ibu benar-benar tak berhati bolu lagi.
*
Ibu mengeluarkan sehelai kebaya putih yang masih terlihat bersih meski sudah usang. Sebuah kancingnya nyaris terlepas. Ia menatap dengan pandangan masa lalu, dimana senyumnya terkembang tipis mengulum manis. Duduk di kursi tua yang kulitnya robek dicabik-cabik tikus, namun didandani dan ditutup sedemikian rupa dengan berbagai macam kain hingga nampak anggun. Di sisinya, laki-laki pilihannya sendiri duduk mendampingi. Kumisnya tipis, rapi berbaris menaungi sebersit bibir yang menyembunyikan deretan gigi putih bersih yang tak pernah tersentuh asap tembakau. Dengan bangga, membisiklah ia kepada angin yang sedari tadi diam mematung menyaksikan acara sakral yang menorehkan senyum kedua mempelai. Sehari dua hari berbahagialah mereka sebagai pengantin baru. Hingga suatu hari laki-laki pilihan ibu terjatuh di jurang yang selama ini dijauhinya. Ibu berusaha menolong, tapi ayah terperosok makin dalam dan ibupun menyerah.
"Pakailah saat kau menikah nanti, Nur. Carilah laki-laki terbaik pilihanmu."
Nur menerima kebaya itu dengan hati-hati. Ia berniat menceritakan tentang Aldo, laki-laki kota yang menunggu jawaban cintanya. Nur yakin ibu tak akan keberatan.
"Apakah dulu perasaan ibu berubah setelah ayah..tidak seperti yang ibu harapkan?"
"Begitulah. Mungkin bagi sebagian perempuan, sikapku sangat naif. Mereka pikir aku terlalu takut kekurangan uang belanja karena sebagian telah menjadi abu yang sia-sia. Tidak. Aku tetap memasak nasi bukan batu. Aku tetap memberimu susu bukan air tajin."
"Lalu apa yang ibu khawatirkan? Cinta ayah yang hilang? Ibu cemburu dengan pipa yang setiap saat ayah hisap hingga melupakan kening ibu yang seharusnya lebih diperhatikan?"
"Itu hal kedua yang jarang ku bayangkan." Ibu mengeluh. "Kematian."
Nur terhenyak. "Ah, semua orang kan juga akan mati."
"Tentu saja. Tapi aku tidak suka orang yang mati sia-sia, konyol. Sama saja dengan bunuh diri, sekaligus membunuh orang lain."
Nur masih tidak mengerti. Ibu tersenyum, dan menunjukkan sebuah buku kecil usang yang diambil dari lemari bagian bawah. Sampulnya merah, namun tidak jelas gambar yang pernah menghiasinya. Dibukanya buku itu langsung pada halaman 21. Tulisannya hampir kabur, dan disana-sini berlubang kecil-kecil bekas gigitan kutu.
"Dulu waktu masih kecil, kakekmu membelikan buku ini. Entah apa maksudnya. Tapi aku hanya diperbolehkan membaca setelah pandai mengaji. Ini..lihatlah." Ibu menunjuk potongan gambar manusia yang menghisap sesuatu. Disebelahnya gambar kerangka yang menyedihkan. Nur membaca sambil bergidik.
"Ternyata ini buku siksa neraka. Aku tidak tahu maksud pengarangnya untuk orang usia berapa. Tapi aku sangat ketakutan waktu itu. Kakekmu membantu menjelaskan maksud gambar-gambar tersebut. Dan terhenti pada gambar ini, karena setelah itu ia sakit dan meninggal."
"Bu.." Nur menelan ludah dengan hati-hati. "Ayah kan hanya perokok, bukan pemakai narkoba, minuman keras...apa salahnya? Bukankah kakek juga perokok?"
Ibu menyimpan buku itu lagi dengan sangat hati-hati, seolah akan hancur jika sedikit saja terguncang.
"Suatu malam, aku terkejut karena ayahmu menggigil seperti orang demam. Ia menggigit nadi di lengan dan menghisap darahnya. Aku ketakutan. Kukira ia kerasukan setan. Beberapa hari kemudian baru kutahu ia menggunakan narkoba entah apa jenisnya. Dan digulungan tembakaunya terselip potongan ganja kering yang membuatmu pusing jika menghirup sarinya. Ia juga tak pernah kulihat meminum air putih yang selalu kusediakan. Tapi kopi dan gula selalu habis."
Nur menggigit bibir. Teringat kembali dengan mimpi buruknya berjumpa ayah.
"Terakhir, beberapa hari sebelum sakit, aku mencium bau alkohol disekujur tubuhnya. Aku lantas merasa bahwa aku telah gagal menyelamatkannya, bukan pilihanku yang salah."
Ibu mengatupkan tangan ke muka rapat-rapat. Berusaha meluluhkan goncangan batin yang melanda. Nur terpaku. Mengurungkan niatnya untuk bercerita.
*
Aldo tertawa, selesai Nur bercerita tentang mimpinya.
"Kau sangat aneh. Kebanyakan perempuan yang aku kenal, tidak peduli apakah aku perokok atau bukan. Kenapa kau begitu ingin mempunyai suami yang benar-benar bersih, maksudku bukan perokok."
Nur mengeluh. Ia juga tidak tahu alasan apa yang masuk akal. Apakah seperti ibu dengan buku kecil yang telah menyihirnya menjadi seorang penyelamat yang gagal? Atau ia ingin meneruskan usaha ibunya menjadi penyelamat..entah penyelamat apa dan dari sebab apa.
"Nur..kau sakit?"
"Tidak."
"Kau benar-benar tidak menginginkan aku menjadi perokok seperti katamu?"
"Kurasa..itu lebih baik."
"Bagaimana kalau aku tidak seperti yang kau inginkan?"
Pertanyaan itu membuat Nur kembali memucat. "Tentu saja aku telah gagal sebagai penyelamat untuk pertama kalinya." Jawabnya dalam hati.
"Bagaimana?" Aldo mengulangi dengan tidak sabar.
"Aku tidak tahu." Nur menggigit ludah yang pahit.
"Aku ingin tahu.." Aldo bangkit dan membuka tasnya. Menunjukkan isinya kepada Nur.
Nur merasa ada guntur yang datang tiba-tiba di tengah teriknya matahari. Kepalanya tersambar dan terasa ngilu bergetar.
Aldo mengambil sebatang rokok tanpa merk dan menyalakannya. Nur merasa pusing mencium aromanya. Pandangannya berpendar, melukiskan sederetan bentuk dan warna benda-benda dalam tas Aldo. Nur pernah melihat benda itu di poster peringatan, oleh BNN.
**

Jakarta; October 24, 2015
Writen by Rachel_Rapunzel