Sabtu, 04 Maret 2017

Sang Penyelamat

Sekelebat angin menyibakkan geraian rambut yang masai. Pandangannya terganggu sejenak. Lalu sang angin datang lagi, membelai. Kini tatapannya terbentur pemandangan di ujung titian bambu reyot. Di seberang sana, laki-laki itu ditemani setitik cahaya kemerahan. Kadang terselip dan menghilang di ujung mulutnya. Segumpal asap menari sebentar di depan wajahnya, lalu lenyap tanpa ragu.
Nur mendesah, menyayangkan mata minusnya yang makin bertambah. Laki-laki di ujung titian itu nampak samar. Ada hawa dingin menggeleser, lalu Nur merasa ditarik suatu ikatan yang ganjil. Tubuhnya melesat melewati titian dengan selamat. Dan ia berada di balik punggung laki-laki itu.
"Mas.."
Nur tertegun. Tidak tahu kata apa lagi yang akan di sambungkan menjadi kalimat keterkejutan, kemarahan yang aneh, atau setidaknya sapaan wajar. Tatapannya fokus pada sebatang rokok yang terselip di jari laki-laki itu.
"Eh, Nur. Sejak kapan kau disini?"
"Baru." Nur tetap menatap rokok itu yang lebih dari seorang perempuan simpanan. Darahnya mendesir cepat, singgah di otak sejenak lalu berhenti di tangan kanan yang membuatnya terasa ringan melayang, dan akhirnya menyambar batang rokok yang masih terselip di jari si laki-laki.
Aldo tertawa hambar. Nur sangat gusar. Apa yang membuat laki-laki itu tergelitik untuk menertawakannya? Rokok itu. Racun yang Nur percaya menggerogoti setiap jengkal daging dan meniruskan jiwa. Memaksa jiwa lain untuk menyerap racun yang sama namun lebih mematikan.
"Mas, aku kira kau mengerti.."
"Tentu saja. Kau hanya takut mati, Nur. Kau takut semua orang mati konyol, bukan. Tapi kau tidak bisa melakukan apapun untuk melindungi semua manusia dari kematian yang kau anggap konyol itu. Kau hanya terlalu fanatik dan sedikit cerewet."
Aldo merogoh kantongnya, mengeluarkan sekotak rokok bergambar tengkorak. Menyelipkan sebatang ke mulut dan menghisapnya dalam-dalam. Nur terpekik. Tanah yang dipijak seakan mengandung aliran listrik, menyengat dan menyayat kebaya putih pemberian ibu.
*
"Nur..bangun. Kau mimpi ayahmu lagi, nak?"
Nur menggeleng dan terisak. Keringat dingin menggelincir dan terbenam di celah selimut. Ibu memeluk Nur dan menenangkannya. Perempuan itu gelisah setiap kali Nur terbangun dengan isakan. Nur bukan anak-anak lagi. Tapi mimpi yang sering dialaminya lebih buruk dari anak-anak pengkhayal dongeng si Janggut Biru. Terlebih setelah ayah meninggal. Sebelum lepas 40 hari, dalam mimipinya setiap malam, Nur di datangi ayah. Tapi wajah ayah bukan seperti malaikat yang putih bersinar dan bersayap. Tubuhnya bungkuk dan ada lubang di pangkal leher sebelah atas dadanya. Ia menghisap rokok berasap hijau, dan setiap hisapan merontokkan dagingnya yang kisut. Ayah merintih-rintih minta air, tapi rokok dan asaplah yang datang menyumpal tenggorokannya.
Setahun yang lalu menjelang lebaran, ayah menghembuskan nafas penghabisannya dengan susah payah. Ibu nampak lega ketika itu. Mungkin itu yang terbaik, atau ibu yang sudah lelah dan penat tiap hari bolak-balik mengurus ayah yang berkeras ingin berobat alternatif di dukun yang jauhnya 30 km. Ayah tidak meninggalkan apapun, kecuali memar di pipi ibu. Nur melihat memar itu masih segar, dan mungkin tak akan hilang sebagai harta peninggalan ayah untuk ibu yang selalu berusaha mati-matian menjaganya agar tidak lekas mati.
Beberapa hari setelah ayah meninggal, ibu membuat bolu untuk menopang sisa hidup yang harus dijalani. Sesekali Nur mencicipi sepotong sebagi upah mengkocokkan telur yang membutuhkan waktu lama agar menjadi bolu yang lembut. Ibu selalu menasihati Nur agar membuatkan bolu terlembut untuk suaminya kelak, agar tidak menghisap rokok yang tak mengeyangkan. Menurut Nur, kemungkinan berhasilnya sangat sulit tapi ibu tak pernah lupa mengucapkan kalimat itu disela-sela kesibukannya memisahkan kuning dan putih telur. Keduanya seakan dua hal yang berbeda namun akan menjadi sesuatu yang luar biasa jika diproses terpisah dan akhirnya disatukan kembali. Kelembutan yang meluluhkan keinginan untuk bunuh diri secara perlahan.
Nur menimbang-nimbang, dibelahan bumi manakah ia bisa berjumpa laki-laki yang seperti itu. Tak kan serisau itu jika ia tak mengingat nasib ibu sekarang dan memar yang menghiasi pipi. Hati ibu seperti bolunya yang lembut, namun akan mengeras jika dibiarkan tak dimakan dan hanya menjadi bulan-bulanan udara yang bergerak. Suatu ketika, ibu membakar semua pipa dan tembakau beserta ganja kering yang tersembunyi di lipatan peci ke dalam tungku. Hati ayah ikut berkobar melihat mainannya terbakar. Ibu dipukul bertubi-tubi, namun ibu tidak terlihat bersalah dan menyesal. Bahkan air mata tak mengambang setetespun. Nur kagum dengan ketabahan ibu, tapi ia takut ibu benar-benar tak berhati bolu lagi.
*
Ibu mengeluarkan sehelai kebaya putih yang masih terlihat bersih meski sudah usang. Sebuah kancingnya nyaris terlepas. Ia menatap dengan pandangan masa lalu, dimana senyumnya terkembang tipis mengulum manis. Duduk di kursi tua yang kulitnya robek dicabik-cabik tikus, namun didandani dan ditutup sedemikian rupa dengan berbagai macam kain hingga nampak anggun. Di sisinya, laki-laki pilihannya sendiri duduk mendampingi. Kumisnya tipis, rapi berbaris menaungi sebersit bibir yang menyembunyikan deretan gigi putih bersih yang tak pernah tersentuh asap tembakau. Dengan bangga, membisiklah ia kepada angin yang sedari tadi diam mematung menyaksikan acara sakral yang menorehkan senyum kedua mempelai. Sehari dua hari berbahagialah mereka sebagai pengantin baru. Hingga suatu hari laki-laki pilihan ibu terjatuh di jurang yang selama ini dijauhinya. Ibu berusaha menolong, tapi ayah terperosok makin dalam dan ibupun menyerah.
"Pakailah saat kau menikah nanti, Nur. Carilah laki-laki terbaik pilihanmu."
Nur menerima kebaya itu dengan hati-hati. Ia berniat menceritakan tentang Aldo, laki-laki kota yang menunggu jawaban cintanya. Nur yakin ibu tak akan keberatan.
"Apakah dulu perasaan ibu berubah setelah ayah..tidak seperti yang ibu harapkan?"
"Begitulah. Mungkin bagi sebagian perempuan, sikapku sangat naif. Mereka pikir aku terlalu takut kekurangan uang belanja karena sebagian telah menjadi abu yang sia-sia. Tidak. Aku tetap memasak nasi bukan batu. Aku tetap memberimu susu bukan air tajin."
"Lalu apa yang ibu khawatirkan? Cinta ayah yang hilang? Ibu cemburu dengan pipa yang setiap saat ayah hisap hingga melupakan kening ibu yang seharusnya lebih diperhatikan?"
"Itu hal kedua yang jarang ku bayangkan." Ibu mengeluh. "Kematian."
Nur terhenyak. "Ah, semua orang kan juga akan mati."
"Tentu saja. Tapi aku tidak suka orang yang mati sia-sia, konyol. Sama saja dengan bunuh diri, sekaligus membunuh orang lain."
Nur masih tidak mengerti. Ibu tersenyum, dan menunjukkan sebuah buku kecil usang yang diambil dari lemari bagian bawah. Sampulnya merah, namun tidak jelas gambar yang pernah menghiasinya. Dibukanya buku itu langsung pada halaman 21. Tulisannya hampir kabur, dan disana-sini berlubang kecil-kecil bekas gigitan kutu.
"Dulu waktu masih kecil, kakekmu membelikan buku ini. Entah apa maksudnya. Tapi aku hanya diperbolehkan membaca setelah pandai mengaji. Ini..lihatlah." Ibu menunjuk potongan gambar manusia yang menghisap sesuatu. Disebelahnya gambar kerangka yang menyedihkan. Nur membaca sambil bergidik.
"Ternyata ini buku siksa neraka. Aku tidak tahu maksud pengarangnya untuk orang usia berapa. Tapi aku sangat ketakutan waktu itu. Kakekmu membantu menjelaskan maksud gambar-gambar tersebut. Dan terhenti pada gambar ini, karena setelah itu ia sakit dan meninggal."
"Bu.." Nur menelan ludah dengan hati-hati. "Ayah kan hanya perokok, bukan pemakai narkoba, minuman keras...apa salahnya? Bukankah kakek juga perokok?"
Ibu menyimpan buku itu lagi dengan sangat hati-hati, seolah akan hancur jika sedikit saja terguncang.
"Suatu malam, aku terkejut karena ayahmu menggigil seperti orang demam. Ia menggigit nadi di lengan dan menghisap darahnya. Aku ketakutan. Kukira ia kerasukan setan. Beberapa hari kemudian baru kutahu ia menggunakan narkoba entah apa jenisnya. Dan digulungan tembakaunya terselip potongan ganja kering yang membuatmu pusing jika menghirup sarinya. Ia juga tak pernah kulihat meminum air putih yang selalu kusediakan. Tapi kopi dan gula selalu habis."
Nur menggigit bibir. Teringat kembali dengan mimpi buruknya berjumpa ayah.
"Terakhir, beberapa hari sebelum sakit, aku mencium bau alkohol disekujur tubuhnya. Aku lantas merasa bahwa aku telah gagal menyelamatkannya, bukan pilihanku yang salah."
Ibu mengatupkan tangan ke muka rapat-rapat. Berusaha meluluhkan goncangan batin yang melanda. Nur terpaku. Mengurungkan niatnya untuk bercerita.
*
Aldo tertawa, selesai Nur bercerita tentang mimpinya.
"Kau sangat aneh. Kebanyakan perempuan yang aku kenal, tidak peduli apakah aku perokok atau bukan. Kenapa kau begitu ingin mempunyai suami yang benar-benar bersih, maksudku bukan perokok."
Nur mengeluh. Ia juga tidak tahu alasan apa yang masuk akal. Apakah seperti ibu dengan buku kecil yang telah menyihirnya menjadi seorang penyelamat yang gagal? Atau ia ingin meneruskan usaha ibunya menjadi penyelamat..entah penyelamat apa dan dari sebab apa.
"Nur..kau sakit?"
"Tidak."
"Kau benar-benar tidak menginginkan aku menjadi perokok seperti katamu?"
"Kurasa..itu lebih baik."
"Bagaimana kalau aku tidak seperti yang kau inginkan?"
Pertanyaan itu membuat Nur kembali memucat. "Tentu saja aku telah gagal sebagai penyelamat untuk pertama kalinya." Jawabnya dalam hati.
"Bagaimana?" Aldo mengulangi dengan tidak sabar.
"Aku tidak tahu." Nur menggigit ludah yang pahit.
"Aku ingin tahu.." Aldo bangkit dan membuka tasnya. Menunjukkan isinya kepada Nur.
Nur merasa ada guntur yang datang tiba-tiba di tengah teriknya matahari. Kepalanya tersambar dan terasa ngilu bergetar.
Aldo mengambil sebatang rokok tanpa merk dan menyalakannya. Nur merasa pusing mencium aromanya. Pandangannya berpendar, melukiskan sederetan bentuk dan warna benda-benda dalam tas Aldo. Nur pernah melihat benda itu di poster peringatan, oleh BNN.
**

Jakarta; October 24, 2015
Writen by Rachel_Rapunzel

Tidak ada komentar :

Posting Komentar