Sekelebat angin
menyibakkan geraian rambut yang masai. Pandangannya terganggu sejenak. Lalu
sang angin datang lagi, membelai. Kini tatapannya terbentur pemandangan di
ujung titian bambu reyot. Di seberang sana, laki-laki itu ditemani setitik
cahaya kemerahan. Kadang terselip dan menghilang di ujung mulutnya. Segumpal
asap menari sebentar di depan wajahnya, lalu lenyap tanpa ragu.
Nur mendesah,
menyayangkan mata minusnya yang makin bertambah. Laki-laki di ujung titian itu
nampak samar. Ada hawa dingin menggeleser, lalu Nur merasa ditarik suatu ikatan
yang ganjil. Tubuhnya melesat melewati titian dengan selamat. Dan ia berada di
balik punggung laki-laki itu.
"Mas.."
Nur tertegun. Tidak
tahu kata apa lagi yang akan di sambungkan menjadi kalimat keterkejutan,
kemarahan yang aneh, atau setidaknya sapaan wajar. Tatapannya fokus pada
sebatang rokok yang terselip di jari laki-laki itu.
"Eh, Nur. Sejak
kapan kau disini?"
"Baru."
Nur tetap menatap rokok itu yang lebih dari seorang perempuan simpanan.
Darahnya mendesir cepat, singgah di otak sejenak lalu berhenti di tangan kanan
yang membuatnya terasa ringan melayang, dan akhirnya menyambar batang rokok
yang masih terselip di jari si laki-laki.
Aldo tertawa hambar.
Nur sangat gusar. Apa yang membuat laki-laki itu tergelitik untuk
menertawakannya? Rokok itu. Racun yang Nur percaya menggerogoti setiap jengkal
daging dan meniruskan jiwa. Memaksa jiwa lain untuk menyerap racun yang sama
namun lebih mematikan.
"Mas, aku kira
kau mengerti.."
"Tentu saja.
Kau hanya takut mati, Nur. Kau takut semua orang mati konyol, bukan. Tapi kau
tidak bisa melakukan apapun untuk melindungi semua manusia dari kematian yang
kau anggap konyol itu. Kau hanya terlalu fanatik dan sedikit cerewet."
Aldo merogoh
kantongnya, mengeluarkan sekotak rokok bergambar tengkorak. Menyelipkan
sebatang ke mulut dan menghisapnya dalam-dalam. Nur terpekik. Tanah yang
dipijak seakan mengandung aliran listrik, menyengat dan menyayat kebaya putih
pemberian ibu.
*
"Nur..bangun.
Kau mimpi ayahmu lagi, nak?"
Nur menggeleng dan
terisak. Keringat dingin menggelincir dan terbenam di celah selimut. Ibu
memeluk Nur dan menenangkannya. Perempuan itu gelisah setiap kali Nur terbangun
dengan isakan. Nur bukan anak-anak lagi. Tapi mimpi yang sering dialaminya
lebih buruk dari anak-anak pengkhayal dongeng si Janggut Biru. Terlebih setelah
ayah meninggal. Sebelum lepas 40 hari, dalam mimipinya setiap malam, Nur di
datangi ayah. Tapi wajah ayah bukan seperti malaikat yang putih bersinar dan
bersayap. Tubuhnya bungkuk dan ada lubang di pangkal leher sebelah atas
dadanya. Ia menghisap rokok berasap hijau, dan setiap hisapan merontokkan
dagingnya yang kisut. Ayah merintih-rintih minta air, tapi rokok dan asaplah
yang datang menyumpal tenggorokannya.
Setahun yang lalu
menjelang lebaran, ayah menghembuskan nafas penghabisannya dengan susah payah.
Ibu nampak lega ketika itu. Mungkin itu yang terbaik, atau ibu yang sudah lelah
dan penat tiap hari bolak-balik mengurus ayah yang berkeras ingin berobat
alternatif di dukun yang jauhnya 30 km. Ayah tidak meninggalkan apapun, kecuali
memar di pipi ibu. Nur melihat memar itu masih segar, dan mungkin tak akan
hilang sebagai harta peninggalan ayah untuk ibu yang selalu berusaha
mati-matian menjaganya agar tidak lekas mati.
Beberapa hari
setelah ayah meninggal, ibu membuat bolu untuk menopang sisa hidup yang harus
dijalani. Sesekali Nur mencicipi sepotong sebagi upah mengkocokkan telur yang
membutuhkan waktu lama agar menjadi bolu yang lembut. Ibu selalu menasihati Nur
agar membuatkan bolu terlembut untuk suaminya kelak, agar tidak menghisap rokok
yang tak mengeyangkan. Menurut Nur, kemungkinan berhasilnya sangat sulit tapi
ibu tak pernah lupa mengucapkan kalimat itu disela-sela kesibukannya memisahkan
kuning dan putih telur. Keduanya seakan dua hal yang berbeda namun akan menjadi
sesuatu yang luar biasa jika diproses terpisah dan akhirnya disatukan kembali.
Kelembutan yang meluluhkan keinginan untuk bunuh diri secara perlahan.
Nur
menimbang-nimbang, dibelahan bumi manakah ia bisa berjumpa laki-laki yang
seperti itu. Tak kan serisau itu jika ia tak mengingat nasib ibu sekarang dan
memar yang menghiasi pipi. Hati ibu seperti bolunya yang lembut, namun akan
mengeras jika dibiarkan tak dimakan dan hanya menjadi bulan-bulanan udara yang
bergerak. Suatu ketika, ibu membakar semua pipa dan tembakau beserta ganja
kering yang tersembunyi di lipatan peci ke dalam tungku. Hati ayah ikut
berkobar melihat mainannya terbakar. Ibu dipukul bertubi-tubi, namun ibu tidak
terlihat bersalah dan menyesal. Bahkan air mata tak mengambang setetespun. Nur
kagum dengan ketabahan ibu, tapi ia takut ibu benar-benar tak berhati bolu
lagi.
*
Ibu mengeluarkan
sehelai kebaya putih yang masih terlihat bersih meski sudah usang. Sebuah
kancingnya nyaris terlepas. Ia menatap dengan pandangan masa lalu, dimana
senyumnya terkembang tipis mengulum manis. Duduk di kursi tua yang kulitnya
robek dicabik-cabik tikus, namun didandani dan ditutup sedemikian rupa dengan
berbagai macam kain hingga nampak anggun. Di sisinya, laki-laki pilihannya
sendiri duduk mendampingi. Kumisnya tipis, rapi berbaris menaungi sebersit
bibir yang menyembunyikan deretan gigi putih bersih yang tak pernah tersentuh
asap tembakau. Dengan bangga, membisiklah ia kepada angin yang sedari tadi diam
mematung menyaksikan acara sakral yang menorehkan senyum kedua mempelai. Sehari
dua hari berbahagialah mereka sebagai pengantin baru. Hingga suatu hari
laki-laki pilihan ibu terjatuh di jurang yang selama ini dijauhinya. Ibu
berusaha menolong, tapi ayah terperosok makin dalam dan ibupun menyerah.
"Pakailah saat
kau menikah nanti, Nur. Carilah laki-laki terbaik pilihanmu."
Nur menerima kebaya
itu dengan hati-hati. Ia berniat menceritakan tentang Aldo, laki-laki kota yang
menunggu jawaban cintanya. Nur yakin ibu tak akan keberatan.
"Apakah dulu
perasaan ibu berubah setelah ayah..tidak seperti yang ibu harapkan?"
"Begitulah.
Mungkin bagi sebagian perempuan, sikapku sangat naif. Mereka pikir aku terlalu
takut kekurangan uang belanja karena sebagian telah menjadi abu yang sia-sia.
Tidak. Aku tetap memasak nasi bukan batu. Aku tetap memberimu susu bukan air
tajin."
"Lalu apa yang
ibu khawatirkan? Cinta ayah yang hilang? Ibu cemburu dengan pipa yang setiap
saat ayah hisap hingga melupakan kening ibu yang seharusnya lebih
diperhatikan?"
"Itu hal kedua
yang jarang ku bayangkan." Ibu mengeluh. "Kematian."
Nur terhenyak.
"Ah, semua orang kan juga akan mati."
"Tentu saja.
Tapi aku tidak suka orang yang mati sia-sia, konyol. Sama saja dengan bunuh
diri, sekaligus membunuh orang lain."
Nur masih tidak
mengerti. Ibu tersenyum, dan menunjukkan sebuah buku kecil usang yang diambil
dari lemari bagian bawah. Sampulnya merah, namun tidak jelas gambar yang pernah
menghiasinya. Dibukanya buku itu langsung pada halaman 21. Tulisannya hampir
kabur, dan disana-sini berlubang kecil-kecil bekas gigitan kutu.
"Dulu waktu
masih kecil, kakekmu membelikan buku ini. Entah apa maksudnya. Tapi aku hanya
diperbolehkan membaca setelah pandai mengaji. Ini..lihatlah." Ibu menunjuk
potongan gambar manusia yang menghisap sesuatu. Disebelahnya gambar kerangka
yang menyedihkan. Nur membaca sambil bergidik.
"Ternyata ini
buku siksa neraka. Aku tidak tahu maksud pengarangnya untuk orang usia berapa.
Tapi aku sangat ketakutan waktu itu. Kakekmu membantu menjelaskan maksud
gambar-gambar tersebut. Dan terhenti pada gambar ini, karena setelah itu ia
sakit dan meninggal."
"Bu.." Nur
menelan ludah dengan hati-hati. "Ayah kan hanya perokok, bukan pemakai
narkoba, minuman keras...apa salahnya? Bukankah kakek juga perokok?"
Ibu menyimpan buku
itu lagi dengan sangat hati-hati, seolah akan hancur jika sedikit saja
terguncang.
"Suatu malam,
aku terkejut karena ayahmu menggigil seperti orang demam. Ia menggigit nadi di
lengan dan menghisap darahnya. Aku ketakutan. Kukira ia kerasukan setan.
Beberapa hari kemudian baru kutahu ia menggunakan narkoba entah apa jenisnya.
Dan digulungan tembakaunya terselip potongan ganja kering yang membuatmu pusing
jika menghirup sarinya. Ia juga tak pernah kulihat meminum air putih yang
selalu kusediakan. Tapi kopi dan gula selalu habis."
Nur menggigit bibir.
Teringat kembali dengan mimpi buruknya berjumpa ayah.
"Terakhir,
beberapa hari sebelum sakit, aku mencium bau alkohol disekujur tubuhnya. Aku
lantas merasa bahwa aku telah gagal menyelamatkannya, bukan pilihanku yang
salah."
Ibu mengatupkan
tangan ke muka rapat-rapat. Berusaha meluluhkan goncangan batin yang melanda.
Nur terpaku. Mengurungkan niatnya untuk bercerita.
*
Aldo tertawa,
selesai Nur bercerita tentang mimpinya.
"Kau sangat
aneh. Kebanyakan perempuan yang aku kenal, tidak peduli apakah aku perokok atau
bukan. Kenapa kau begitu ingin mempunyai suami yang benar-benar bersih,
maksudku bukan perokok."
Nur mengeluh. Ia
juga tidak tahu alasan apa yang masuk akal. Apakah seperti ibu dengan buku
kecil yang telah menyihirnya menjadi seorang penyelamat yang gagal? Atau ia
ingin meneruskan usaha ibunya menjadi penyelamat..entah penyelamat apa dan dari
sebab apa.
"Nur..kau
sakit?"
"Tidak."
"Kau
benar-benar tidak menginginkan aku menjadi perokok seperti katamu?"
"Kurasa..itu
lebih baik."
"Bagaimana
kalau aku tidak seperti yang kau inginkan?"
Pertanyaan itu
membuat Nur kembali memucat. "Tentu saja aku telah gagal sebagai penyelamat
untuk pertama kalinya." Jawabnya dalam hati.
"Bagaimana?"
Aldo mengulangi dengan tidak sabar.
"Aku tidak
tahu." Nur menggigit ludah yang pahit.
"Aku ingin
tahu.." Aldo bangkit dan membuka tasnya. Menunjukkan isinya kepada Nur.
Nur merasa ada guntur
yang datang tiba-tiba di tengah teriknya matahari. Kepalanya tersambar dan
terasa ngilu bergetar.
Aldo mengambil
sebatang rokok tanpa merk dan menyalakannya. Nur merasa pusing mencium
aromanya. Pandangannya berpendar, melukiskan sederetan bentuk dan warna
benda-benda dalam tas Aldo. Nur pernah melihat benda itu di poster peringatan,
oleh BNN.
**
Jakarta; October 24, 2015
Writen by Rachel_Rapunzel
Tidak ada komentar :
Posting Komentar