-----------------------------------------------------------------------------------------
Anggi
menyodorkan segelas es krim sundae kepada
gadis berkepang dua di depannya. Ia sendiri memesan cola dan ham burger satu
porsi.
“Arumi
benar nggak mau makan?”
“Nggak,
tante. Arumi mau makan tahu bayam yang di restoran kemarin itu.”
“Haha..ya
ampun. Arumi suka ya? Ok nanti kita kesana.”
Burger
tanpa sayuran itu perlahan beradu dengan gigi. Arumi menatapnya dengan
penasaran.
“Tante,
itu didalam rotinya daging apa?”
“Ini
daging babi. Arumi mau coba?” Gadis itu langsung menutup mulut dan menghentikan
suapan es krimnya. “Kenapa, sayang?”
“Kata
bu guru, nggak boleh makan babi. Hmm, itu..apa ya, Arumi lupa.”
Anggi
tertawa. Arumi masuk sekolah umum, mungkin gurunya lupa bahwa ia non muslim.
“Ya
sudah, kalau Arumi nggak mau. Yuk, ke resto yang kemarin.”
Anggi
tahu harus duduk di meja sebelah mana. Tempat yang paling cocok untuk meredakan
penat, dengan memandang langit tanpa terhalang bangunan apapun, namun tak ada
celah untuk panas matahari masuk. Bahkan Arumi pun menikmati tempat itu, selain
tahu lembut dan nasi hainam hangat,
yang sesaat membuatnya lupa dengan burger babi. Anggi memanggil seorang pelayan
wanita yang tadi mencatat pesanannya.
“Mbak,
boleh minta tolong berikan ini ke koki yang memasak pesanan saya?”
“Baik,
Ibu. Tapi maaf, apa ada masalah dengan pesanannya?”
“Oh
tidak. Masakannya enak.”
Sebelum
pulang, Anggi masih sempat menanyakan nama koki itu kepada pelayan wanita tadi.
“Namanya
Kirana, Bu. Masih muda. Oh iya, ibu mendapat ucapan terimakasih dari beliau.”
*
Pernahkah
kau memuji hujan, yang mengguyurmu saat bersama seorang dewi. Hujan, membuat ia
semakin memikat karena maskara dan eye liner penghias mata indahnya luntur.
Ia nampak cantik dengan butir-butir air,
melapisi pipinya yang licin. Sungguh, saat itu ada pendar biru memancar
dari tubuhnya, saat ia tersenyum dan membetulkan hoodie jaketku..
“Mau
pulang bareng, Sam? Sekalian mampir café dulu. Jarang-jarang kita satu shift
begini, kan?”
“Yah,
sekali ini saja. Karena motorku sedang diservis juga. Beruntung banget kamu, karena hari ini mood ku sedang bagus.”
“Haha.
Gara-gara kita disangka gay, kamu
menjauhiku kan? Sudahlah, Sam. Singkirkan pikiran kekanak-kanakanmu itu. Lagi pula,
waktu itu juga salahmu. Kamu yang menabrakku waktu dikamar mandi dan ketahuan Firman.”
Sam
menggerutu. Awan memang temannya sejak sekolah. Ia mulai menempel dengan Sam,
saat sekumpulan kakak kelas membullynya. Sebenarnya Sam tidak melakukan apapun.
Hanya tiba-tiba muncul di toilet dan memandang mereka. Belakangan Awan tahu
kalau Sam disegani karena jago karate, meski dari wajah dan badannya tidak
memungkinkan. Tapi setidaknya, ia telah menolong mengusir kakak kelas yang mencoret-coret mukanya dengan make up. Dan akhirnya, simbiosis
mutualisme pun terjadi. Sam yang tidak jago dalam belajar bisa lulus berkat Awan.
Kedua
laki-laki berlainan warna kulit itu memilih meja yang tidak banyak asap rokok.
Awan langsung memanggil waitress paling tinggi, namun terlihat norak menurut
Sam.
“Kamu
itu bartender tapi nggak pernah bosan sama latte.”
“Kau
tahu, apa alasan aku begitu mencintai latte?”
“Nggak
mau tahu.”
Sam
menepiskan asap rokok yang menampar pipinya. Sekumpulan wanita meliriknya
sambil cekikikan. Awan merapihkan rambutnya untuk menarik perhatian. Sam sangat
kesal sekaligus takjub. Bagaimana bisa, anak yang dulu sukanya berkeliaran di
perpustakaan, berkacamata, dan berkulit putih yang membuat iri wanita-wanita
genit__namun tak ada yang mau mendekati karena ia terlalu formal dan selalu gugup saat menjawab
sapaan mereka. Sekarang, Sam baru menyadari pesona ketampanannya terpendam oleh
kacamata minus bulat tebal. Lalu belakangan, berkat bantuan temannya yang
bekerja disebuah optik, kacamata tahun 30an itu diganti dengan yang lebih
elegan.
Dengan
gaya menawan, Awan mengaduk lattenya.
Sam membuang muka sambil meneguk minumannya. Sesaat kehangatan mengalir begitu
saja, bersama kelembutan yang perlahan mengikat sebentuk kehampaan. Sedikit
rasa pahit memberikan warna pada kehampaan yang mulai memudar, yang kemudian
benar-benar pudar saat rasa manis menawarkan kenyamanan. Sam tak menyadari
keberadaannya, sampai seseorang memanggil bersama aroma kopi diujung hidungnya.
“Hey,
Samir. Kamu baru pertama kali minum latte
ya?”
“Apa?
Jadi, tadi itu latte.” Sam menepiskan
wajah Awan dan melirik cangkirnya yang kosong.
“Ya
ampun. Kamu kerja di restoran berapa tahun sih.”
Laki-laki jangkung itu tertawa. Jadi ini alasan Awan begitu mencintai dunia bartender, padahal sebelumnya ia pikir anak itu bermimpi menjadi ilmuan.
Aroma
parfum memabukkan tercium saat seorang wanita melewati mereka. Seorang
laki-laki berkemeja hitam menyambut dengan gelas bir terangkat dan memeluk pinggangnya yang ramping.
Sesaat wanita itu sempat melirik mereka dan tersenyum manis. Awan tak berkedip,
namun Sam sudah lama membuang muka dan pura-pura tidak melihat sejak wanita itu
tersandung di pintu masuk hingga harus membungkuk, membuat suatu pemandangan
memuakkan, khas wanita penggoda.
*
Harum
masakan menyerbak dari dapur sempit dengan tatanan ala restoran. Ayam goreng saus tomat dan brokoli bawang putih.
Kue cokelat yang sedikit gosong ( karena saat pembuatan ia sambi menyetrika),
sudah terhidang di meja dengan sedikit polesan whipped cream dan potongan stroberi diatasnya.
Satu
pekerjaan lagi, dan ia benar-benar harus istirahat karena tulang belakangnya
sudah merintih sejak pulang kerja tadi sore. Beberapa baju kotor ia kumpulkan
dan memeriksa setiap kantong. Ada sebuah amplop kecil di saku baju kerjanya.
“Ran..aku
pulang.”
“Lho mas, nggak jadi lembur?"
“Iya,
acaranya dicancel karena ada pihak
keluarga yang nggak cocok sama lokasinya. Kamu sedang apa?”
“Mau
mencuci. Tapi mas sudah pulang, jadi kita makan dulu saja.”
“Kamu
jangan terlalu capek. Tulang kamu bisa kambuh. Nanti biar aku saja yang
mencuci.”
Ran
mengangguk.
*
Beberapa
botol bir telah kosong. Laki-laki itu memesan beberapa lagi. Wanita di pelukannya
mulai mengigau. Bibirnya dengan lipstick matte
merah hati yang sedikit menempel di kemejanya, ia kecup.
Aroma alcohol
membuatnya semakin bernafsu. Namun wanita itu masih setengah sadar dan segera
menepiskan wajah laki-laki berjambang itu. Ada getaran dari ponsel didalam tasnya.
Hai, saya Kirana.
Anda memberikan kontak anda tadi siang, lewat seorang waitress. Terimakasih sudah datang di restoran
kami..Salam kenal.
“Siapa,
sayang?”
“Bukan
siapa-siapa. Aku mau pulang.”
“Aku
antar ya?”
“Nggak
usah. Aku naik taxi saja. Kamu mabuk berat begitu mau buat aku mati?”
“Tapi
kita belum…”
“Masih
ada temanku. Dia bahkan lebih bagus. Nah, itu dia. Farah…”
Wanita itu pergi setelah menerima beberapa lembar uang dari laki-laki yang kini asyik bercumbu
dengan wanita lain. Dengan sempoyongan, ia masuk ke dalam taxi.
“Kemana
mbak?”
“Jalan
saja. Nanti saya tunjukkan arahnya.”
Sopir
taxi itu tak segera menjalankan taxinya. Ia malah sibuk mencari-cari sesuatu.
“Kenapa?”
“M..maaf.
Tapi tolong pakai ini. Pakaian mbak mengumbar aurat, tidak baik. Ini sarung
bersih, baru saya pakai shalat hari ini.”
Sejenak
ia tertegun, namun diraihnya juga pemberian sopir itu.
“Baiklah,
saya jalan sekarang. Kalau mbak mau muntah, di samping tisu itu ada kantong
plastik.”
Apa
ini? Sepanjang ia menjalani hidup, baru kali ini ada orang yang
memperlakukannya dengan sangat sopan.
Sekilas
diliriknya identitas sopir tersebut, sebelum ia benar-benar membutuhkan kantong
plastik saat kepalanya mulai berputar. Sya-rif I-bra-him…
*