Sabtu, 11 Februari 2017

Rumah Diantara Kabut_bagian 2

-----------------------------------------------------------------------------------------
Anggi menyodorkan segelas es krim sundae kepada gadis berkepang dua di depannya. Ia sendiri memesan cola dan ham burger satu porsi.

“Arumi benar nggak mau makan?”

“Nggak, tante. Arumi mau makan tahu bayam yang di restoran kemarin itu.”

“Haha..ya ampun. Arumi suka ya? Ok nanti kita kesana.”

Burger tanpa sayuran itu perlahan beradu dengan gigi. Arumi menatapnya dengan penasaran.

“Tante, itu didalam rotinya daging apa?”

“Ini daging babi. Arumi mau coba?” Gadis itu langsung menutup mulut dan menghentikan suapan es krimnya. “Kenapa, sayang?”

“Kata bu guru, nggak boleh makan babi. Hmm, itu..apa ya, Arumi lupa.”

Anggi tertawa. Arumi masuk sekolah umum, mungkin gurunya lupa bahwa ia non muslim.

“Ya sudah, kalau Arumi nggak mau. Yuk, ke resto yang kemarin.”

Anggi tahu harus duduk di meja sebelah mana. Tempat yang paling cocok untuk meredakan penat, dengan memandang langit tanpa terhalang bangunan apapun, namun tak ada celah untuk panas matahari masuk. Bahkan Arumi pun menikmati tempat itu, selain tahu lembut dan nasi hainam hangat, yang sesaat membuatnya lupa dengan burger babi. Anggi memanggil seorang pelayan wanita yang tadi mencatat pesanannya.

“Mbak, boleh minta tolong berikan ini ke koki yang memasak pesanan saya?”

“Baik, Ibu. Tapi maaf, apa ada masalah dengan pesanannya?”

“Oh tidak. Masakannya enak.”

Sebelum pulang, Anggi masih sempat menanyakan nama koki itu kepada pelayan wanita tadi.

“Namanya Kirana, Bu. Masih muda. Oh iya, ibu mendapat ucapan terimakasih dari beliau.”

*

Pernahkah kau memuji hujan, yang mengguyurmu saat bersama seorang dewi. Hujan, membuat ia semakin memikat karena maskara dan eye liner penghias mata indahnya luntur. Ia nampak cantik dengan butir-butir air,  melapisi pipinya yang licin. Sungguh, saat itu ada pendar biru memancar dari tubuhnya, saat ia tersenyum dan membetulkan hoodie jaketku..

“Mau pulang bareng, Sam? Sekalian mampir cafĂ© dulu. Jarang-jarang kita satu shift begini, kan?”

“Yah, sekali ini saja. Karena motorku sedang diservis juga. Beruntung banget kamu, karena hari ini mood ku sedang bagus.”

“Haha. Gara-gara kita disangka gay, kamu menjauhiku kan? Sudahlah, Sam. Singkirkan pikiran kekanak-kanakanmu itu. Lagi pula, waktu itu juga salahmu. Kamu yang menabrakku waktu dikamar mandi dan ketahuan Firman.”

Sam menggerutu. Awan memang temannya sejak sekolah. Ia mulai menempel dengan Sam, saat sekumpulan kakak kelas membullynya. Sebenarnya Sam tidak melakukan apapun. Hanya tiba-tiba muncul di toilet dan memandang mereka. Belakangan Awan tahu kalau Sam disegani karena jago karate, meski dari wajah dan badannya tidak memungkinkan. Tapi setidaknya, ia telah menolong mengusir kakak kelas yang mencoret-coret mukanya dengan make up. Dan akhirnya, simbiosis mutualisme pun terjadi. Sam yang tidak jago dalam belajar bisa lulus berkat Awan.

Kedua laki-laki berlainan warna kulit itu memilih meja yang tidak banyak asap rokok. Awan langsung memanggil waitress paling tinggi, namun terlihat norak menurut Sam.

“Kamu itu bartender tapi nggak pernah bosan sama latte.

“Kau tahu, apa alasan aku begitu mencintai latte?”

“Nggak mau tahu.”

Sam menepiskan asap rokok yang menampar pipinya. Sekumpulan wanita meliriknya sambil cekikikan. Awan merapihkan rambutnya untuk menarik perhatian. Sam sangat kesal sekaligus takjub. Bagaimana bisa, anak yang dulu sukanya berkeliaran di perpustakaan, berkacamata, dan berkulit putih yang membuat iri wanita-wanita genit__namun tak ada yang mau mendekati karena ia terlalu formal dan selalu gugup saat menjawab sapaan mereka. Sekarang, Sam baru menyadari pesona ketampanannya terpendam oleh kacamata minus bulat tebal. Lalu belakangan, berkat bantuan temannya yang bekerja disebuah optik, kacamata tahun 30an itu diganti dengan yang lebih elegan.

Dengan gaya menawan, Awan mengaduk lattenya. Sam membuang muka sambil meneguk minumannya. Sesaat kehangatan mengalir begitu saja, bersama kelembutan yang perlahan mengikat sebentuk kehampaan. Sedikit rasa pahit memberikan warna pada kehampaan yang mulai memudar, yang kemudian benar-benar pudar saat rasa manis menawarkan kenyamanan. Sam tak menyadari keberadaannya, sampai seseorang memanggil bersama aroma kopi diujung hidungnya.

“Hey, Samir. Kamu baru pertama kali minum latte ya?”

“Apa? Jadi, tadi itu latte.” Sam menepiskan wajah Awan dan melirik cangkirnya yang kosong.

“Ya ampun. Kamu kerja di restoran berapa tahun sih.”

Laki-laki jangkung itu tertawa. Jadi ini alasan Awan begitu mencintai dunia bartender, padahal sebelumnya ia pikir anak itu bermimpi menjadi ilmuan.

Aroma parfum memabukkan tercium saat seorang wanita melewati mereka. Seorang laki-laki berkemeja hitam menyambut dengan gelas bir terangkat dan memeluk pinggangnya yang ramping. Sesaat wanita itu sempat melirik mereka dan tersenyum manis. Awan tak berkedip, namun Sam sudah lama membuang muka dan pura-pura tidak melihat sejak wanita itu tersandung di pintu masuk hingga harus membungkuk, membuat suatu pemandangan memuakkan, khas wanita penggoda.

*
Harum masakan menyerbak dari dapur sempit dengan tatanan ala restoran. Ayam goreng saus tomat dan brokoli bawang putih. Kue cokelat yang sedikit gosong ( karena saat pembuatan ia sambi menyetrika), sudah terhidang di meja dengan sedikit polesan whipped cream dan potongan stroberi diatasnya.

Satu pekerjaan lagi, dan ia benar-benar harus istirahat karena tulang belakangnya sudah merintih sejak pulang kerja tadi sore. Beberapa baju kotor ia kumpulkan dan memeriksa setiap kantong. Ada sebuah amplop kecil di saku baju kerjanya.

“Ran..aku pulang.”

“Lho mas, nggak jadi lembur?"

“Iya, acaranya dicancel karena ada pihak keluarga yang nggak cocok sama lokasinya. Kamu sedang apa?”

“Mau mencuci. Tapi mas sudah pulang, jadi kita makan dulu saja.”

“Kamu jangan terlalu capek. Tulang kamu bisa kambuh. Nanti biar aku saja yang mencuci.”
Ran mengangguk.
*
Beberapa botol bir telah kosong. Laki-laki itu memesan beberapa lagi. Wanita di pelukannya mulai mengigau. Bibirnya dengan lipstick matte merah hati yang sedikit menempel di kemejanya, ia kecup. 

Aroma alcohol membuatnya semakin bernafsu. Namun wanita itu masih setengah sadar dan segera menepiskan wajah laki-laki berjambang itu. Ada getaran dari ponsel didalam tasnya.

Hai, saya Kirana. Anda memberikan kontak anda tadi siang, lewat seorang waitress. Terimakasih sudah datang di restoran kami..Salam kenal.

“Siapa, sayang?”

“Bukan siapa-siapa. Aku mau pulang.”

“Aku antar ya?”

“Nggak usah. Aku naik taxi saja. Kamu mabuk berat begitu mau buat aku mati?”

“Tapi kita belum…”

“Masih ada temanku. Dia bahkan lebih bagus. Nah, itu dia. Farah…”

Wanita itu pergi setelah menerima beberapa lembar uang dari laki-laki yang kini asyik bercumbu dengan wanita lain. Dengan sempoyongan, ia masuk ke dalam taxi.

“Kemana mbak?”

“Jalan saja. Nanti saya tunjukkan arahnya.”

Sopir taxi itu tak segera menjalankan taxinya. Ia malah sibuk mencari-cari sesuatu.

“Kenapa?”

“M..maaf. Tapi tolong pakai ini. Pakaian mbak mengumbar aurat, tidak baik. Ini sarung bersih, baru saya pakai shalat hari ini.”

Sejenak ia tertegun, namun diraihnya juga pemberian sopir itu.

“Baiklah, saya jalan sekarang. Kalau mbak mau muntah, di samping tisu itu ada kantong plastik.”

Apa ini? Sepanjang ia menjalani hidup, baru kali ini ada orang yang memperlakukannya dengan sangat sopan.

Sekilas diliriknya identitas sopir tersebut, sebelum ia benar-benar membutuhkan kantong plastik saat kepalanya mulai berputar. Sya-rif I-bra-him…

*