Selasa, 27 Februari 2018

Rumah Diantara Kabut_bagian 6

Sekumpulan anak-anak SD berkerumun di pematang sawah. Riuh suaranya mengusir pipit yang akan mencomot sebutir padi di pematang sebelah. Seorang anak memperhatikan dari jauh. Lengan seragam putih itu tergulung, kulit lengannya mengkilap tertimpa terik matahari pertengahan bulan September. Ia mulai jengah saat kerumunan itu bertambah dua orang. Diayunkannya langkah mendekati anak-anak itu.

“Kalian tak pernah bosan mengganggu anak perempuan, ya.”

Seorang anak yang paling kecil menoleh. Raut wajahnya langsung berubah kecut. Ia mundur perlahan dan berlari meninggalkan teman-temannya.

Anak itu kembali mengulangi kata-katanya dengan nada tinggi. Serentak bocah-bocah bertangan dekil itu menoleh. Seorang yang paling besar maju sambil mengayunkan genggaman berisi lumpur sawah berbau amis.

Sekali berkelit, ia menjatuhkan anak laki-laki yang berbadan lebih besar darinya. Anak-anak yang lain langsung lari setelah ada yang berbisik bahwa ia sang jago karate.

“Awas kamu, Sam!”

Anak itu tertatih menyusul kawan-kawannya yang tunggang langgang. Mukanya yang hitam tercoreng lumpur yang ia genggam sendiri. Sam tertawa melihatnya.

Gadis itu terduduk dibawah pohon pisang. Wajahnya tercoreng lumpur yang mulai mengering, menutupi tompel dibawah mata kirinya. Beberapa kali ia menarik-narik saku bajunya dan menangis. Sam mengulurkan sapu tangannya.

“Kan sudah ku bilang, adukan saja sama ayahmu. Kamu juga jangan diam saja kalau mereka mengganggu.” Sam menggerutu.

Tangisan gadis itu makin keras, saat ada sesuatu yang menggeliat dari sakunya. Seekor cacing besar berusaha keluar karena merasa kepanasan. Sam mengambilnya.

“Aih, hanya seekor cacing. Kenapa harus menangis sih.”

Sam memeriksa tas selempang merah yang juga kotor. Seekor belut menggeliat diantara buku-buku pelajaran.

“Nih, mau kamu bawa pulang buat lauk?”

Gadis itu menggeleng cepat. Ia pun takut dengan belut.

“Ya sudah. Aku bawa pulang. Lain kali minta ayahmu untuk menampar bokong mereka.” Sam berlalu meninggalkan gadis itu. Dari jauh seorang laki-laki berkumis berlari-lari sambil mengepalkan tinju. Sam mempercepat langkahnya, enggan berurusan dengan si kumis juragan kapal nelayan di kampungnya.

Tapi ternyata ia harus menghadapi laki-laki itu sore harinya. Bersama anak gadisnya, ia datang ke rumah membawa durian dan kebutuhan dapur. Ayah dan ibu menyambut dengan sangat ramah, namun Sam membuang muka. Ia sudah menduga kedatangannya bersama oleh-oleh itu ada maksud dan tujuan yang tidak ia sukai.

Benar saja, setelah berbasa basi mereka pulang. Ayah memanggil Sam yang menyibukkan diri memperbaiki jala.

“Sam..kamu tahu anaknya Abah Somad kan?”

Sam hanya berdehem. Jari-jarinya semakin cepat menyulam lubang jala yang tersangkut karang, kemarin.

“Beliau meminta kamu untuk menemani anaknya si…ah ya Sekar, setiap berangkat dan pulang sekolah. Kalian hanya beda setingkat kan?”

“Kenapa harus aku? Dia kan ada dua abang.”

Ayah tersenyum. Jarinya yang kekar mengusap rambut Sam yang ikal.

“Karena kamu jago karate.”

“Kalau aku tidak mau?”

“Kalau kamu mau, Abah Somad akan menyewakan kapalnya dengan harga murah. Ayah juga akan diberi pinjaman untuk memperbaiki tambak. Nanti kalau sudah panen, ayah belikan kamu dan ayuk sepeda.”

Sam tidak menjawab. Tapi keesokan harinya, ia berangkat ke sekolah bersama gadis itu, yang menunggu di persimpangan jalan, dibawah pohon durian. Setiap hari, kecuali hari minggu. Suatu ketika, Sam melihat tempat gadis itu berpijak tak berumput. Ia tak pernah berpindah dari titik itu, sampai suatu pagi berangin, sebuah durian setengah umur jatuh dan menimpa punggungnya. Sejak saat itu ia berpindah tempat, di pinggir parit tak jauh dari pohon durian.

Hari-hari selanjutnya, Sekar memang tak diganggu anak-anak lagi. Diam-diam, terkadang ia tersenyum dibalik punggung Sam yang berjalan setengah berlari. Dengan berlari kecil, ia mengikuti. Terik matahari menambah butir-butir keringat yang menetes dari selah-selah ketiak dan pelipis. Ia tak peduli, tak sempat menyekanya dengan sapu tangan bunga-bunga di kantong roknya. Karena ia bahagia, tak ada lagi belut di dalam tas, bau lumpur yang mengering di  muka, atau panggilan si tompel.

Sam berjalan tanpa pernah menoleh kearahnya. Sesekali ia memperlambat langkahnya, karena Sekar masih jauh dibelakang. Atau menunggunya sambil memetik beberapa buah jambu monyet di sisi jalan.

Sekar tak pernah mengajaknya bicara. Sam pun selalu berharap ia tak melakukan itu. Suatu pagi, ia tak ada dipinggir parit. Sam menunggunya beberapa menit, namun ayahnya yang muncul membawa surat ijin. Sekar sakit. Hari itu, Sam seperti kerbau tanpa pedati. Bebas tanpa beban. Hanya hari itu, karena malamnya Abah Somad datang membawa sepeda baru, lengkap dengan boncengan. Tentu untuk Sam dan anak gadisnya, Sekar.

*

Selasa, 06 Februari 2018

Rumah Diantara Kabut_bagian 6

Sam membersihkan rompinya di wastafel. Noda muntahan itu terlalu menyengat. Ia membuka rompi hitam tersebut dan mengguyurnya dengan air kran. Sudah lumayan menghilang, namun sekarang tidak bisa dikenakan lagi. Basah.

“Go away, and change your vest!”

James muncul dari balik punggungnya. Laki-laki berkulit legam itu mengibas-ngibaskan tangannya.

“How about my jobs? I have five tables that have to be served.”

“I can do it for you.”

Sam menepuk pundak teman baiknya itu, lalu bergegas ke kabin untuk mengganti seragam. Ia tak bisa berlama-lama, karena bar sedang ramai.

Wanita itu masih meracau. Teman lelaki disampingnya terus menenggak beberapa botol bir, sambil sesekali mencium lehernya. James sibuk melayani beberapa meja, sambil matanya mengawasi si wanita yang belum lama menabrak dan memberi muntahan kepada Sam.

Langit malam sangat cerah, laut pun nyaris tak ada gelombang. Jajaran bintang seperti mutiara lepas dari untaian. Angin lembut beraroma asin mempermainkan rambut-rambut yang tergerai, menyingkap leher-leher jenjang, membuat para lelaki menatap nanar.

Wanita bergaun hitam itu berjalan sempoyongan. Lagi-lagi menabrak Sam yang sedang membawa botol kosong. Salah satu botol terjatuh, untung tidak pecah. Teman lelakinya hanya menengok sebentar dan tidak melakukan apapun.

“Uh, sory..toilet?”

Sam menunjukkan arahnya. Ia membantu wanita itu berdiri. Tentu dengan menjaga jarak, karena seragamnya tak ingin kotor lagi. James melintas sambil berbisik. “A dumb drunker!”. Sam tertawa. “Kamu ada masalah dengan dia?” Lelaki itu mengangkat bahu. “Tidak suka wanita seperti itu.”

Waktu bergulir diantara terang dan petang. Melesat bersama himpunan kerinduan yang terangkum dalam diam. Sam tak ingin memperpanjang kontraknya. Ia menyukai laut, tapi lebih cinta dengan pantai. Ia  rindu keramba-keramba yang penuh sesak dengan udang, hasil panen bulan itu. Bahu kekar ayahnya yang mengangkat jala, dan aroma amis berujung manis dalam setiap akhir hitungan timbangan. Dulu, lengan Sam masih kecil. Belum cukup kuat untuk menebar jala. Namun ayahnya tanpa bosan selalu menyemangati, mengiming-imingi sepeda gunung keluaran terbaru, dan tambahan uang jajan.

Dulu, sebelum semuanya tergerus roda waktu. Sebelum udang-udang itu ditemukan mati bergelimpangan, karena keracunan. Selalu ada iri, dalam setiap kesuksesan. Bahkan dari hati keluarga sendiri.

Dengan tenang, ayah Sam merelakan. Ia sewakan lahan itu, dan membawa keluarganya ke Jakarta. Tak ada sepeda baru, namun Sam cukup paham. Ia harus terbiasa dengan perubahan, bahkan dengan perubahan kulit ayahnya setelah berada di Ibu Kota dan membuka usaha warung makan.

Kini, tambak-tambak itu seolah terhampar kembali dipelupuk mata, setelah ayahnya berniat mengajak pulang. Namun satu hal perjanjian fatal selalu membuatnya enggan. Perjanjian yang membuatnya menjadi lelaki pecundang, menyakiti seseorang yang dengan payah ia temukan diantara kerlipan bintang. Senja itu, dengan bodohnya ia percaya, bahwa “dia” benar akan baik-baik saja lalu membiarkan langkahnya menderap tanpa jejak.

James menyenggol bahu Sam, menunjukkan jam tangan hitam yang terlihat seperti bermimikri di pergelangan tangannya. Sudah waktunya pergantian shift. Beberapa staf pengganti terlihat segar dengan aroma sabun mandi yang masih terselip diantara parfum dan pomade.

“Kamu seperti sedang memikirkan sesuatu. Tell me about your problem.”

Sam tersenyum. Setelah mandi, pikirannya sedikit tenang. Tapi ternyata James bisa membaca sisa gejolak kegelisahannya.

“Kamu tahu kan, saya tidak akan memperpanjang kontrak?”

“Ya. Apa yang akan kamu lakukan?”

“Pulang.”

James tersenyum, namun segera mengernyitkan kening saat muka datar Sam menatapnya.

Yeah, of course. You will go home, see your family and everything is ok, right?

I wish right.”

Sam menutup matanya setelah mengucapkan selamat tidur. Lima menit kemudian terasa pegal, karena matanya tak ingin lelap. Ia merasa James belum tidur, dan sedang memandangi dirinya dari seberang tempat tidur. Namun suara dengkuran yang khas membuatnya tak yakin James melakukan hal itu.

Hawa dingin menjalari tubuh, saat Sam membuka sedikit matanya. Laki-laki setengah baya berjambang lebat itu berdiri di sudut menatapnya, sebelum kemudian menghilang dalam remang-remang bulan purnama yang menembus celah jendela.

*