Selasa, 06 Februari 2018

Rumah Diantara Kabut_bagian 6

Sam membersihkan rompinya di wastafel. Noda muntahan itu terlalu menyengat. Ia membuka rompi hitam tersebut dan mengguyurnya dengan air kran. Sudah lumayan menghilang, namun sekarang tidak bisa dikenakan lagi. Basah.

“Go away, and change your vest!”

James muncul dari balik punggungnya. Laki-laki berkulit legam itu mengibas-ngibaskan tangannya.

“How about my jobs? I have five tables that have to be served.”

“I can do it for you.”

Sam menepuk pundak teman baiknya itu, lalu bergegas ke kabin untuk mengganti seragam. Ia tak bisa berlama-lama, karena bar sedang ramai.

Wanita itu masih meracau. Teman lelaki disampingnya terus menenggak beberapa botol bir, sambil sesekali mencium lehernya. James sibuk melayani beberapa meja, sambil matanya mengawasi si wanita yang belum lama menabrak dan memberi muntahan kepada Sam.

Langit malam sangat cerah, laut pun nyaris tak ada gelombang. Jajaran bintang seperti mutiara lepas dari untaian. Angin lembut beraroma asin mempermainkan rambut-rambut yang tergerai, menyingkap leher-leher jenjang, membuat para lelaki menatap nanar.

Wanita bergaun hitam itu berjalan sempoyongan. Lagi-lagi menabrak Sam yang sedang membawa botol kosong. Salah satu botol terjatuh, untung tidak pecah. Teman lelakinya hanya menengok sebentar dan tidak melakukan apapun.

“Uh, sory..toilet?”

Sam menunjukkan arahnya. Ia membantu wanita itu berdiri. Tentu dengan menjaga jarak, karena seragamnya tak ingin kotor lagi. James melintas sambil berbisik. “A dumb drunker!”. Sam tertawa. “Kamu ada masalah dengan dia?” Lelaki itu mengangkat bahu. “Tidak suka wanita seperti itu.”

Waktu bergulir diantara terang dan petang. Melesat bersama himpunan kerinduan yang terangkum dalam diam. Sam tak ingin memperpanjang kontraknya. Ia menyukai laut, tapi lebih cinta dengan pantai. Ia  rindu keramba-keramba yang penuh sesak dengan udang, hasil panen bulan itu. Bahu kekar ayahnya yang mengangkat jala, dan aroma amis berujung manis dalam setiap akhir hitungan timbangan. Dulu, lengan Sam masih kecil. Belum cukup kuat untuk menebar jala. Namun ayahnya tanpa bosan selalu menyemangati, mengiming-imingi sepeda gunung keluaran terbaru, dan tambahan uang jajan.

Dulu, sebelum semuanya tergerus roda waktu. Sebelum udang-udang itu ditemukan mati bergelimpangan, karena keracunan. Selalu ada iri, dalam setiap kesuksesan. Bahkan dari hati keluarga sendiri.

Dengan tenang, ayah Sam merelakan. Ia sewakan lahan itu, dan membawa keluarganya ke Jakarta. Tak ada sepeda baru, namun Sam cukup paham. Ia harus terbiasa dengan perubahan, bahkan dengan perubahan kulit ayahnya setelah berada di Ibu Kota dan membuka usaha warung makan.

Kini, tambak-tambak itu seolah terhampar kembali dipelupuk mata, setelah ayahnya berniat mengajak pulang. Namun satu hal perjanjian fatal selalu membuatnya enggan. Perjanjian yang membuatnya menjadi lelaki pecundang, menyakiti seseorang yang dengan payah ia temukan diantara kerlipan bintang. Senja itu, dengan bodohnya ia percaya, bahwa “dia” benar akan baik-baik saja lalu membiarkan langkahnya menderap tanpa jejak.

James menyenggol bahu Sam, menunjukkan jam tangan hitam yang terlihat seperti bermimikri di pergelangan tangannya. Sudah waktunya pergantian shift. Beberapa staf pengganti terlihat segar dengan aroma sabun mandi yang masih terselip diantara parfum dan pomade.

“Kamu seperti sedang memikirkan sesuatu. Tell me about your problem.”

Sam tersenyum. Setelah mandi, pikirannya sedikit tenang. Tapi ternyata James bisa membaca sisa gejolak kegelisahannya.

“Kamu tahu kan, saya tidak akan memperpanjang kontrak?”

“Ya. Apa yang akan kamu lakukan?”

“Pulang.”

James tersenyum, namun segera mengernyitkan kening saat muka datar Sam menatapnya.

Yeah, of course. You will go home, see your family and everything is ok, right?

I wish right.”

Sam menutup matanya setelah mengucapkan selamat tidur. Lima menit kemudian terasa pegal, karena matanya tak ingin lelap. Ia merasa James belum tidur, dan sedang memandangi dirinya dari seberang tempat tidur. Namun suara dengkuran yang khas membuatnya tak yakin James melakukan hal itu.

Hawa dingin menjalari tubuh, saat Sam membuka sedikit matanya. Laki-laki setengah baya berjambang lebat itu berdiri di sudut menatapnya, sebelum kemudian menghilang dalam remang-remang bulan purnama yang menembus celah jendela.

*


Tidak ada komentar :

Posting Komentar