Sam membersihkan
rompinya di wastafel. Noda muntahan itu terlalu menyengat. Ia membuka rompi
hitam tersebut dan mengguyurnya dengan air kran. Sudah lumayan menghilang,
namun sekarang tidak bisa dikenakan lagi. Basah.
“Go
away, and change your vest!”
James muncul dari balik
punggungnya. Laki-laki berkulit legam itu mengibas-ngibaskan tangannya.
“How
about my jobs? I have five tables that have to be served.”
“I
can do it for you.”
Sam menepuk pundak
teman baiknya itu, lalu bergegas ke kabin untuk mengganti seragam. Ia tak bisa
berlama-lama, karena bar sedang ramai.
Wanita itu masih
meracau. Teman lelaki disampingnya terus menenggak beberapa botol bir, sambil
sesekali mencium lehernya. James sibuk melayani beberapa meja, sambil matanya
mengawasi si wanita yang belum lama menabrak dan memberi muntahan kepada Sam.
Langit malam sangat
cerah, laut pun nyaris tak ada gelombang. Jajaran bintang seperti mutiara lepas
dari untaian. Angin lembut beraroma asin mempermainkan rambut-rambut yang
tergerai, menyingkap leher-leher jenjang, membuat para lelaki menatap nanar.
Wanita bergaun hitam
itu berjalan sempoyongan. Lagi-lagi menabrak Sam yang sedang membawa botol
kosong. Salah satu botol terjatuh, untung tidak pecah. Teman lelakinya hanya
menengok sebentar dan tidak melakukan apapun.
“Uh, sory..toilet?”
Sam menunjukkan
arahnya. Ia membantu wanita itu berdiri. Tentu dengan menjaga jarak, karena
seragamnya tak ingin kotor lagi. James melintas sambil berbisik. “A dumb drunker!”. Sam tertawa. “Kamu
ada masalah dengan dia?” Lelaki itu mengangkat bahu. “Tidak suka wanita seperti
itu.”
Waktu bergulir diantara
terang dan petang. Melesat bersama himpunan kerinduan yang terangkum dalam
diam. Sam tak ingin memperpanjang kontraknya. Ia menyukai laut, tapi lebih
cinta dengan pantai. Ia rindu
keramba-keramba yang penuh sesak dengan udang, hasil panen bulan itu. Bahu kekar
ayahnya yang mengangkat jala, dan aroma amis berujung manis dalam setiap akhir
hitungan timbangan. Dulu, lengan Sam masih kecil. Belum cukup kuat untuk
menebar jala. Namun ayahnya tanpa bosan selalu menyemangati, mengiming-imingi
sepeda gunung keluaran terbaru, dan tambahan uang jajan.
Dulu, sebelum semuanya
tergerus roda waktu. Sebelum udang-udang itu ditemukan mati bergelimpangan,
karena keracunan. Selalu ada iri, dalam setiap kesuksesan. Bahkan dari hati
keluarga sendiri.
Dengan tenang, ayah Sam
merelakan. Ia sewakan lahan itu, dan membawa keluarganya ke Jakarta. Tak ada
sepeda baru, namun Sam cukup paham. Ia harus terbiasa dengan perubahan, bahkan
dengan perubahan kulit ayahnya setelah berada di Ibu Kota dan membuka usaha
warung makan.
Kini, tambak-tambak itu
seolah terhampar kembali dipelupuk mata, setelah ayahnya berniat mengajak
pulang. Namun satu hal perjanjian fatal selalu membuatnya enggan. Perjanjian
yang membuatnya menjadi lelaki pecundang, menyakiti seseorang yang dengan payah
ia temukan diantara kerlipan bintang. Senja itu, dengan bodohnya ia percaya,
bahwa “dia” benar akan baik-baik saja lalu membiarkan langkahnya menderap tanpa
jejak.
James menyenggol bahu
Sam, menunjukkan jam tangan hitam yang terlihat seperti bermimikri di pergelangan tangannya. Sudah waktunya pergantian
shift. Beberapa staf pengganti terlihat segar dengan aroma sabun mandi yang
masih terselip diantara parfum dan pomade.
“Kamu seperti sedang
memikirkan sesuatu. Tell me about your
problem.”
Sam tersenyum. Setelah
mandi, pikirannya sedikit tenang. Tapi ternyata James bisa membaca sisa gejolak
kegelisahannya.
“Kamu tahu kan, saya
tidak akan memperpanjang kontrak?”
“Ya. Apa yang akan kamu
lakukan?”
“Pulang.”
James tersenyum, namun
segera mengernyitkan kening saat muka datar Sam menatapnya.
“Yeah, of course. You will go home, see your family and everything is ok,
right?”
“I wish right.”
Sam menutup matanya
setelah mengucapkan selamat tidur. Lima menit kemudian terasa pegal, karena
matanya tak ingin lelap. Ia merasa James belum tidur, dan sedang memandangi
dirinya dari seberang tempat tidur. Namun suara dengkuran yang khas membuatnya
tak yakin James melakukan hal itu.
Hawa dingin menjalari
tubuh, saat Sam membuka sedikit matanya. Laki-laki setengah baya berjambang
lebat itu berdiri di sudut menatapnya, sebelum kemudian menghilang dalam
remang-remang bulan purnama yang menembus celah jendela.
*
Tidak ada komentar :
Posting Komentar