Sekumpulan anak-anak SD
berkerumun di pematang sawah. Riuh suaranya mengusir pipit yang akan mencomot
sebutir padi di pematang sebelah. Seorang anak memperhatikan dari jauh. Lengan
seragam putih itu tergulung, kulit lengannya mengkilap tertimpa terik matahari
pertengahan bulan September. Ia mulai jengah saat kerumunan itu bertambah dua
orang. Diayunkannya langkah mendekati anak-anak itu.
“Kalian tak pernah
bosan mengganggu anak perempuan, ya.”
Seorang anak yang
paling kecil menoleh. Raut wajahnya langsung berubah kecut. Ia mundur perlahan
dan berlari meninggalkan teman-temannya.
Anak itu kembali
mengulangi kata-katanya dengan nada tinggi. Serentak bocah-bocah bertangan
dekil itu menoleh. Seorang yang paling besar maju sambil mengayunkan genggaman
berisi lumpur sawah berbau amis.
Sekali berkelit, ia
menjatuhkan anak laki-laki yang berbadan lebih besar darinya. Anak-anak yang
lain langsung lari setelah ada yang berbisik bahwa ia sang jago karate.
“Awas kamu, Sam!”
Anak itu tertatih
menyusul kawan-kawannya yang tunggang langgang. Mukanya yang hitam tercoreng
lumpur yang ia genggam sendiri. Sam tertawa melihatnya.
Gadis itu terduduk
dibawah pohon pisang. Wajahnya tercoreng lumpur yang mulai mengering, menutupi
tompel dibawah mata kirinya. Beberapa kali ia menarik-narik saku bajunya dan menangis.
Sam mengulurkan sapu tangannya.
“Kan sudah ku bilang,
adukan saja sama ayahmu. Kamu juga jangan diam saja kalau mereka mengganggu.”
Sam menggerutu.
Tangisan gadis itu
makin keras, saat ada sesuatu yang menggeliat dari sakunya. Seekor cacing besar
berusaha keluar karena merasa kepanasan. Sam mengambilnya.
“Aih, hanya seekor
cacing. Kenapa harus menangis sih.”
Sam memeriksa tas
selempang merah yang juga kotor. Seekor belut menggeliat diantara buku-buku
pelajaran.
“Nih, mau kamu bawa
pulang buat lauk?”
Gadis itu menggeleng
cepat. Ia pun takut dengan belut.
“Ya sudah. Aku bawa
pulang. Lain kali minta ayahmu untuk menampar bokong mereka.” Sam berlalu
meninggalkan gadis itu. Dari jauh seorang laki-laki berkumis berlari-lari
sambil mengepalkan tinju. Sam mempercepat langkahnya, enggan berurusan dengan
si kumis juragan kapal nelayan di kampungnya.
Tapi ternyata ia harus
menghadapi laki-laki itu sore harinya. Bersama anak gadisnya, ia datang ke
rumah membawa durian dan kebutuhan dapur. Ayah dan ibu menyambut dengan sangat
ramah, namun Sam membuang muka. Ia sudah menduga kedatangannya bersama
oleh-oleh itu ada maksud dan tujuan yang tidak ia sukai.
Benar saja, setelah
berbasa basi mereka pulang. Ayah memanggil Sam yang menyibukkan diri
memperbaiki jala.
“Sam..kamu tahu anaknya
Abah Somad kan?”
Sam hanya berdehem.
Jari-jarinya semakin cepat menyulam lubang jala yang tersangkut karang,
kemarin.
“Beliau meminta kamu
untuk menemani anaknya si…ah ya Sekar, setiap berangkat dan pulang sekolah.
Kalian hanya beda setingkat kan?”
“Kenapa harus aku? Dia
kan ada dua abang.”
Ayah tersenyum. Jarinya
yang kekar mengusap rambut Sam yang ikal.
“Karena kamu jago
karate.”
“Kalau aku tidak mau?”
“Kalau kamu mau, Abah
Somad akan menyewakan kapalnya dengan harga murah. Ayah juga akan diberi
pinjaman untuk memperbaiki tambak. Nanti kalau sudah panen, ayah belikan kamu
dan ayuk sepeda.”
Sam tidak menjawab.
Tapi keesokan harinya, ia berangkat ke sekolah bersama gadis itu, yang menunggu
di persimpangan jalan, dibawah pohon durian. Setiap hari, kecuali hari minggu.
Suatu ketika, Sam melihat tempat gadis itu berpijak tak berumput. Ia tak pernah
berpindah dari titik itu, sampai suatu pagi berangin, sebuah durian setengah
umur jatuh dan menimpa punggungnya. Sejak saat itu ia berpindah tempat, di
pinggir parit tak jauh dari pohon durian.
Hari-hari selanjutnya,
Sekar memang tak diganggu anak-anak lagi. Diam-diam, terkadang ia tersenyum
dibalik punggung Sam yang berjalan setengah berlari. Dengan berlari kecil, ia
mengikuti. Terik matahari menambah butir-butir keringat yang menetes dari
selah-selah ketiak dan pelipis. Ia tak peduli, tak sempat menyekanya dengan
sapu tangan bunga-bunga di kantong roknya. Karena ia bahagia, tak ada lagi
belut di dalam tas, bau lumpur yang mengering di muka, atau panggilan si tompel.
Sam berjalan tanpa
pernah menoleh kearahnya. Sesekali ia memperlambat langkahnya, karena Sekar
masih jauh dibelakang. Atau menunggunya sambil memetik beberapa buah jambu
monyet di sisi jalan.
Sekar tak pernah
mengajaknya bicara. Sam pun selalu berharap ia tak melakukan itu. Suatu pagi,
ia tak ada dipinggir parit. Sam menunggunya beberapa menit, namun ayahnya yang
muncul membawa surat ijin. Sekar sakit. Hari itu, Sam seperti kerbau tanpa
pedati. Bebas tanpa beban. Hanya hari itu, karena malamnya Abah Somad datang
membawa sepeda baru, lengkap dengan boncengan. Tentu untuk Sam dan anak
gadisnya, Sekar.
*
Tidak ada komentar :
Posting Komentar