Lani memainkan ujung
pulpennya diatas meja. Ia memandang sekilas ke seberang jalan. Terik matahari
membuat aspal terlihat bergoyang, menguap. Seorang anak kecil dengan lesu menyusuri
pinggiran jalan yang menguap itu, tanpa alas kaki. Matanya memandang kebawah,
seperti mencari-cari sesuatu.
“Bu, pesanan atas nama
ibu Maria sudah jadi. Mau ditelepon sekarang orangnya?”
Seorang pegawai
membuyarkan lamunannya.
“Ya sudah. Jangan lupa
bonusnya dipacking sekalian.” Lani
meraih telepon, dan mulai menghubungi nomor di buku pemesanan.
Dua pengemen cilik
berdiri di depan pintu. Dengan bermodalkan tutup botol minuman soda yang
dipipihkan dan dipaku menjadi satu dalam sebalok kayu, mereka bernyanyi.
Seorang lainnya menenteng bungkus permen kumal, berisi beberapa koin.
Lani menatap mereka
dari balik kaca. Sayup-sayup terdengar lirik lagu yang sering ia dengar di bus
kota.
Hidupku
dulunya seorang pengamen,
Pulang
malam selalu bawa uang recehan,
Mengejar
cita-cita paling mulia,
Membantu
keluarga di rumah..
Lagu terhenti karena
anak yang paling kecil batuk-batuk. Temannya yang khawatir memijit tengkuknya. Lani
membuka pintu, kedua anak itu mundur beberapa jengkal.
“Kenapa adikmu?” Lani
memberikan sebotol air mineral.
“Terimakasih, Bu. Dia
sedang sakit. Beberapa hari ini suka batuk-batuk, kadang sampai berdarah.”
Matanya berkaca-kaca.
“Kalian baru di daerah sini?
Saya tidak pernah melihat kalian.”
Anak itu mengangguk.
Lani masuk sebentar mengambil minyak angin dan beberapa bungkus kue.
“Terimakasih, Bu. Kami
pamit dulu.”
Kedua anak itu pergi.
Batuknya sesekali masih terdengar, kering dan berat. Lani menghela nafas
panjang. Beberapa saat ia kembali melamun, hari ini pikirannya sangat kacau.
Diambilnya kunci motor, lalu berpamitan kepada pegawainya. Ia ingin istirahat
di rumah.
Pras tadi telepon, ia
pulang cepat hari ini. Terasa canggung, karena sejak waktu itu mereka jadi
jarang mengobrol. Bahkan Lani merasa, mereka hanyalah “teman” satu rumah yang
terikat dalam kalimat akad di bulan Januari, tiga tahun yang lalu. Kamar yang
dulu hangat, kini seakan membeku karena hanya ia yang menempati. Pras terlalu
sering untuk berpura-pura, ketiduran di depan tv.
Sebelum ke rumah, Lani
mampir ke pasar. Ia berniat masak untuk Pras hari ini. Sayur lodeh dan ikan
tongkol adalah kesukaannya. Dulu saat awal-awal pernikahan, hampir setiap hari
Lani masak sayur tersebut, hingga suatu hari Pras mengalami magh akut dan
dokter menyarankan untuk mengurangi konsumsi santan.
Seperti yang ia duga,
Pras tertidur di depan tv. HPnya tergeletak di meja, sekilas Lani melihat ada
panggilan masuk namun nadanya tak terlalu keras. Ia berniat membangunkannya,
namun urung. Canggung.
Diteruskannya langkah
menuju dapur. Kondisinya masih sama seperti tadi pagi, Pras belum membuat mie
instan seperti biasanya jika Lani belum masak. Wanita itu buru-buru menyalakan
kompor dan merebus air, sambil mengupas terong. Hanya butuh waktu satu jam,
sayur lodeh dan balado tongkol tersaji. Baru saja ia melangkah ke depan untuk
membangunkan Pras, laki-laki itu muncul diambang pintu.
“Hmm, sayur lodeh ya?”
Ia menghampiri meja makan, namun Lani mencegah.
“Cuci muka dulu.”
Pras tersenyum. Entah
kenapa Lani berdebar melihatnya, seperti ketika pertama kali mereka berkenalan
di parkiran sebuah café, empat tahun yang lalu. Senyum yang sama, namun tak
pernah terlihat lagi sejak ia dirawat di rumah sakit.
“Kamu sudah makan?”
Pras membuyarkan lamunannya.
“Hmm, belum. Kamu makan
dulu sa..”
Pras menarik lembut
tangannya yang masih memegang lap. Menuntunnya ke meja makan. “Ayo, makan
sama-sama.”
Lani seperti terlempar
ke beberapa tahun yang lalu. Pras yang romantis, pengantin baru yang harmonis.
Meja makan yang selalu mereka isi berdua, dengan aneka masakan yang baru
matang. Ia hampir saja menangis, jika Pras tak menyuapkan sayur yang masih
hangat ke bibirnya.
“Aduh..”
“Eh, masih panas ya?”
Pras buru-buru meniup suapannya.
“Jangan ditiup, katanya
nggak bagus.” Lani mencegah.
“Masa sih? Aku baru
tahu. Dulu ibu kalau menyuapi aku ditiup dulu, bahkan kadang dimasukkan ke
mulutnya untuk memastikan masih panas atau nggak.”
Lani tertawa. Dulu ibunya juga melakukan hal yang sama. Dan
baru-baru ini, ia membaca info disebuah majalah kesehatan, bahwa cara tersebut
tidak baik karena bisa menularkan penyakit dari orang tua ke anak-anak melalui
udara ataupun liur.
Pras makan dengan
lahap. Lani merasa beku yang menyelimuti rumahnya perlahan mencair. Seiring
sayur lodeh pedas yang menghangatkan perutnya. Ia merasa ini hal yang bagus
untuk memulai kembali segalanya dari awal, sebuah keluarga yang hangat.
“Lan..” Pras memegang
tangan Lani yang akan membawa piring kotor ke belakang.
“Ya?”
“Ada yang ingin aku
bicarakan.”
Lani terhenyak, menaruh
kembali piring kotor ke meja. “Katakan..”
Pras menarik nafas dan
diam untuk beberapa saat. Lani hanya sesekali memandang matanya.
“Kemarin aku tidak
sengaja bertemu dokter yang merawatku dulu. Ia masih mengenaliku, dan kamu
tahu, ia bilang apa?”
Lani menggeleng dengan
perasaan tidak enak.
“Ia menawariku terapi,
agar kita bisa punya anak.” Pras terdiam sebentar, menatap Lani. “Kenapa kamu
tidak pernah memeberitahuku, bahwa sejak kecelakaan itu aku mandul?”
Lani tertunduk. Air
mata yang tergenang mulai mengalir hangat di pipinya.
“Maaf, Pras. Aku nggak
mau kamu terbebani..”
“Dan kamu menanggung
beban ini sendirian?”
Lani tak menjawab.
Tenggorokannya tersumbat oleh berbagai perasaan. Pras memeluknya.
“Maafkan aku, karena
selama ini aku tak berusaha mencari tahu dan hanya menyalahkanmu.”
Bebrapa saat hanya
waktu yang bergulir perlahan dalam hening. Sesekali isakan Lani masih
terdengar.
“Jadi, kamu mau ikut
terapi?” Tanya Lani setelah tenang.
Pras hanya menghela
nafas dalam-dalam. Tak ada yang ia katakan setelahnya. Mungkin itu jawaban dari
pilihan Lani beberapa bulan kemudian. Pilihan untuk melepaskan diri dari ikatan
suci yang telah berjalan tiga tahun. Ada duri yang berkamuflase dalam seikat
lily yang baru mekar. Orang ketiga tak terduga.
*