Kamis, 12 April 2018

Rumah Diantara Kabut_bagian 6

Lani memainkan ujung pulpennya diatas meja. Ia memandang sekilas ke seberang jalan. Terik matahari membuat aspal terlihat bergoyang, menguap. Seorang anak kecil dengan lesu menyusuri pinggiran jalan yang menguap itu, tanpa alas kaki. Matanya memandang kebawah, seperti mencari-cari sesuatu.

“Bu, pesanan atas nama ibu Maria sudah jadi. Mau ditelepon sekarang orangnya?”

Seorang pegawai membuyarkan lamunannya.

“Ya sudah. Jangan lupa bonusnya dipacking sekalian.” Lani meraih telepon, dan mulai menghubungi nomor di buku pemesanan.

Dua pengemen cilik berdiri di depan pintu. Dengan bermodalkan tutup botol minuman soda yang dipipihkan dan dipaku menjadi satu dalam sebalok kayu, mereka bernyanyi. Seorang lainnya menenteng bungkus permen kumal, berisi beberapa koin.

Lani menatap mereka dari balik kaca. Sayup-sayup terdengar lirik lagu yang sering ia dengar di bus kota.

Hidupku dulunya seorang pengamen,
Pulang malam selalu bawa uang recehan,
Mengejar cita-cita paling mulia,
Membantu keluarga di rumah..

Lagu terhenti karena anak yang paling kecil batuk-batuk. Temannya yang khawatir memijit tengkuknya. Lani membuka pintu, kedua anak itu mundur beberapa jengkal.

“Kenapa adikmu?” Lani memberikan sebotol air mineral.

“Terimakasih, Bu. Dia sedang sakit. Beberapa hari ini suka batuk-batuk, kadang sampai berdarah.” Matanya berkaca-kaca.

“Kalian baru di daerah sini? Saya tidak pernah melihat kalian.”

Anak itu mengangguk. Lani masuk sebentar mengambil minyak angin dan beberapa bungkus kue.

“Terimakasih, Bu. Kami pamit dulu.”

Kedua anak itu pergi. Batuknya sesekali masih terdengar, kering dan berat. Lani menghela nafas panjang. Beberapa saat ia kembali melamun, hari ini pikirannya sangat kacau. Diambilnya kunci motor, lalu berpamitan kepada pegawainya. Ia ingin istirahat di rumah.

Pras tadi telepon, ia pulang cepat hari ini. Terasa canggung, karena sejak waktu itu mereka jadi jarang mengobrol. Bahkan Lani merasa, mereka hanyalah “teman” satu rumah yang terikat dalam kalimat akad di bulan Januari, tiga tahun yang lalu. Kamar yang dulu hangat, kini seakan membeku karena hanya ia yang menempati. Pras terlalu sering untuk berpura-pura, ketiduran di depan tv.

Sebelum ke rumah, Lani mampir ke pasar. Ia berniat masak untuk Pras hari ini. Sayur lodeh dan ikan tongkol adalah kesukaannya. Dulu saat awal-awal pernikahan, hampir setiap hari Lani masak sayur tersebut, hingga suatu hari Pras mengalami magh akut dan dokter menyarankan untuk mengurangi konsumsi santan.

Seperti yang ia duga, Pras tertidur di depan tv. HPnya tergeletak di meja, sekilas Lani melihat ada panggilan masuk namun nadanya tak terlalu keras. Ia berniat membangunkannya, namun urung. Canggung.

Diteruskannya langkah menuju dapur. Kondisinya masih sama seperti tadi pagi, Pras belum membuat mie instan seperti biasanya jika Lani belum masak. Wanita itu buru-buru menyalakan kompor dan merebus air, sambil mengupas terong. Hanya butuh waktu satu jam, sayur lodeh dan balado tongkol tersaji. Baru saja ia melangkah ke depan untuk membangunkan Pras, laki-laki itu muncul diambang pintu.

“Hmm, sayur lodeh ya?” Ia menghampiri meja makan, namun Lani mencegah.

“Cuci muka dulu.”

Pras tersenyum. Entah kenapa Lani berdebar melihatnya, seperti ketika pertama kali mereka berkenalan di parkiran sebuah café, empat tahun yang lalu. Senyum yang sama, namun tak pernah terlihat lagi sejak ia dirawat di rumah sakit.

“Kamu sudah makan?” Pras membuyarkan lamunannya.

“Hmm, belum. Kamu makan dulu sa..”

Pras menarik lembut tangannya yang masih memegang lap. Menuntunnya ke meja makan. “Ayo, makan sama-sama.”

Lani seperti terlempar ke beberapa tahun yang lalu. Pras yang romantis, pengantin baru yang harmonis. Meja makan yang selalu mereka isi berdua, dengan aneka masakan yang baru matang. Ia hampir saja menangis, jika Pras tak menyuapkan sayur yang masih hangat ke bibirnya.

“Aduh..”

“Eh, masih panas ya?” Pras buru-buru meniup suapannya.

“Jangan ditiup, katanya nggak bagus.” Lani  mencegah.

“Masa sih? Aku baru tahu. Dulu ibu kalau menyuapi aku ditiup dulu, bahkan kadang dimasukkan ke mulutnya untuk memastikan masih panas atau nggak.”

Lani tertawa.  Dulu ibunya juga melakukan hal yang sama. Dan baru-baru ini, ia membaca info disebuah majalah kesehatan, bahwa cara tersebut tidak baik karena bisa menularkan penyakit dari orang tua ke anak-anak melalui udara ataupun liur.

Pras makan dengan lahap. Lani merasa beku yang menyelimuti rumahnya perlahan mencair. Seiring sayur lodeh pedas yang menghangatkan perutnya. Ia merasa ini hal yang bagus untuk memulai kembali segalanya dari awal, sebuah keluarga yang hangat.

“Lan..” Pras memegang tangan Lani yang akan membawa piring kotor ke belakang.

“Ya?”

“Ada yang ingin aku bicarakan.”

Lani terhenyak, menaruh kembali piring kotor ke meja. “Katakan..”

Pras menarik nafas dan diam untuk beberapa saat. Lani hanya sesekali memandang matanya.

“Kemarin aku tidak sengaja bertemu dokter yang merawatku dulu. Ia masih mengenaliku, dan kamu tahu, ia bilang apa?”

Lani menggeleng dengan perasaan tidak enak.

“Ia menawariku terapi, agar kita bisa punya anak.” Pras terdiam sebentar, menatap Lani. “Kenapa kamu tidak pernah memeberitahuku, bahwa sejak kecelakaan itu aku mandul?”

Lani tertunduk. Air mata yang tergenang mulai mengalir hangat di pipinya.

“Maaf, Pras. Aku nggak mau kamu terbebani..”

“Dan kamu menanggung beban ini sendirian?”

Lani tak menjawab. Tenggorokannya tersumbat oleh berbagai perasaan. Pras memeluknya.

“Maafkan aku, karena selama ini aku tak berusaha mencari tahu dan hanya menyalahkanmu.”

Bebrapa saat hanya waktu yang bergulir perlahan dalam hening. Sesekali isakan Lani masih terdengar.

“Jadi, kamu mau ikut terapi?” Tanya Lani setelah tenang.

Pras hanya menghela nafas dalam-dalam. Tak ada yang ia katakan setelahnya. Mungkin itu jawaban dari pilihan Lani beberapa bulan kemudian. Pilihan untuk melepaskan diri dari ikatan suci yang telah berjalan tiga tahun. Ada duri yang berkamuflase dalam seikat lily yang baru mekar. Orang ketiga tak terduga.
*

Tidak ada komentar :

Posting Komentar