“Jangan terlalu
memaksakan diri, Ran.”
Doni muncul dengan
segelas coklat hangat. Beberapa kali ia memperhatikan jari Ran yang menekan
tombol backspace. Ran menarik nafas
lebih dalam. Tulisan di layar 14 inch itu terlihat mengambang.
“Minumlah dulu. Kamu
sudah lelah dengan pekerjaan restoran. Kenapa masih memaksakan diri?” Tangan
kekarnya memijit bahu Ran yang tipis. Ran sedikit menyeringai saat jari Doni
menyentuh bagian yang pegal.
“Hanya untuk mengisi
waktu luang saja kok.” Coklat hangat mengalir perlahan, membasahi tenggorokan
yang dingin. Sesaat rasa hangat menggeleser dan terdiam di lambung.
“Ah ya, besok jadwalmu
kerumah sakit bukan?” Doni menatap Ran. Wanita itu mengangguk.
“Tidak apa-apa, besok
aku diantar Lani.” Ran tersenyum, memahami gurat penyesalan di wajah suaminya
yang tidak bisa mengantar. Doni mencium keningnya yang selalu terlihat manis.
“Maaf, Ran..”
Ran menghabiskan sisa
coklat dalam cangkir, lalu mematikan laptop. “Besok harus sudah dikirim, jadi
aku usahakan selesai hari ini. Tapi ternyata punggungku sudah bosan..”
“Ran..bagaimana kalau
kamu berhenti saja dari restoran?” Doni menggenggam tangan mungilnya. Ran
terdiam, padahal sejak petang ia memang lebih banyak diam.
“Akan aku pikirkan
lagi, mas.”
“Aku tidak memaksa,
tapi jika berhenti membuatmu lebih baik, tolong lakukanlah.” Ran mengangguk.
Diantara beberapa ruangan,
kamar mereka memang paling luas. Ran sengaja menggabungkan dua kamar, untuk meletakkan
rak-rak buku. Perpustakaan mini.
Seri dari novel Supernova Ran koleksi. Beberapa buku
karya DEE itu juga memenuhi rak paling atas. Disusunan paling ujung, buku
dengan sampul hijau kumal terselip. Halamannya berubah coklat dan terdapat jejak
air yang sudah mengering. Ran selalu menyimpannya disana, meski buku itu telah
terbit dalam 8 cetakan. Ia lebih menyukai buku cetakan tahun 2009 tersebut,
walaupun telah terbit seri keduanya. Disisi lain, karena ia telah mengetahui
isi cerita seri kedua yang di filmkan juga, dan ia unggah di laptop. Ran tidak
pernah ke bioskop. Tidak pernah suka. Baginya menonton sendiri atau membaca
kisahnya diam-diam di sebatang pohon, lebih menyenangkan. Mungkin karena ia tak
ingin terlihat menangis saat ada adegan yang mengiris sisi kolam air matanya.
Pernah suatu kali saat
ke toko buku, Doni ingin membelikan buku yang sama, karena ia merasa buku kumal
itu terlihat aneh jika ingin dijadikan koleksi. Namun dengan tegas Ran menolak.
Disusunan rak tengah,
buku-buku karya Enid Blyton berdesakan. Mulai dari 21 seri Lima Sekawan versi
asli sampai terjemahannya, lalu 15 seri Pasukan Mau Tahu yang semuanya kisah
fantasi dan petualangan anak-anak. Di rak paling bawah, buku-buku dongeng dan
kisah klasik berlimpah. Semuanya tersusun rapi, karena sebulan sekali Ran
menyusun ulang dan tak membiarkan debu maupun kutu buku singgah.
Doni merapikan
kertas-kertas yang berserakan. Semuanya cerita anak-anak buatan Ran yang
dikirim mingguan dan bulanan di beberapa majalah. Sebulan sekali, Ran mengirim
uang honornya dan beberapa majalah anak-anak yang menerima tulisannya, ke salah
satu panti asuhan.
Bagi Doni, Ran jelmaan malaikat
serba bisa. Wanita hebat yang penuh kasih sayang. Ia yang melawan malaikat
mautnya, saat berada di jembatan layang, sekaligus menyingkirkan iblis yang
selalu menggodanya untuk mendatangkan malaikat maut secara paksa. Ia yang selalu
mengganti bunga lily putih setiap pagi di bibir jendela, saat terbaring di
rumah sakit, padahal lily kemarin masih segar. Ia juga yang menikamnya dengan
kalimat-kalimat lembut, selembut marshmellow
yang saat digigit membuat ngilu gigi. Ran selalu membawa manisan itu saat
mengunjunginya.
Semua kisah telah ia
urai, Ran selalu mendengarkan tanpa pernah memotong. Bahkan ekspresinya selalu
tenang meski itu kisah yang menyedihkan. Tapi Doni tahu, ia mendengarkan dengan
penuh perhatian. Wajahnya seperti air sungai yang tak bisa ditebak, dan
perlahan Doni melabuhkan cinta disalah satu tepinya, setelah berhasil
melepaskan tambatan yang bukan miliknya.
*
Suara ibu masih
terdengar jelas, meski terhalang pintu yang tak tertutup sepenuhnya. Ran enggan
membuka mata, karena sekeliling terlihat berputar dan membuat mual. Ia merasa
ada selang infus di tangan kiri. Seragam kerjanya pun sudah berganti menjadi pakaian
berwarna biru dengan kancing dibelakang. Seingatnya, ia berencana ke rumah
sakit saat jam istirahat. Namun saat di toilet, kepalanya terasa pusing serta
mual, dan tiba-tiba terjadi pendarahan. Lebih hebat dari sebelum-sebelumnya.
Keadaan semakin parah, pandangannya berputar-putar dalam gelap. Seperti ada
titik-titik jingga diantara pekat yang memabukkan. Iapun pingsan.
”Jadi, ibu tidak akan
pernah mendapatkan cucu dari dia?”
Suara ibu terdengar lebih
keras dari petir. Sedikit bergetar dalam gendang telinga. Gejolak kecemasan dan
kecewa yang tertahan. Ran menggerakkan sedikit kepala. Perut bagian bawahnya
masih terasa sakit dan tertekan.
“Ibu, tolong jangan
bahas masalah ini dulu.” Doni berusaha menenangkan ibu. Ran yakin, laki-laki
itu pun belum cukup tegar.
“Doni juga tidak ingin
kehilangan untuk yang kedua kalinya..”
Ran sedikit membuka
mata. Sekilas bayangan Doni menatapnya dalam ketakutan. Lebih takut dari saat
pertama kali dokter mendiagnosis bahwa Ran akan kesulitan hamil, karena ada
miom yang berkembang di endometriumnya.
Wajah ibu diliputi goresan
kekecewaan. Ran ingat, raut itu juga ia rasakan saat pertama kali Doni mengajak
ke rumah, bahkan saat masakan Ran tak pernah sesuai dengan seleranya.
Ran sangat mual. Ia
butuh kantong plastik. Seseorang mendekat. Derap kakinya tak berirama, seperti
kuda bertapal sebelah.
“Lan..”
“Jangan banyak bicara
dulu, Ran. Istirahatlah. Besok pagi, kamu akan dioperasi.”
Suara Lani terdengar
lebih lembut. Tangannya menggenggam jari-jari Ran yang dingin dan pucat.
“Jangan khawatir, kamu
pasti masih bisa hamil. Rahimmu tidak akan diangkat.” Lani berbisik, seolah
tahu apa yang ingin Ran katakan.
Doni masuk tanpa ibu.
Lani mundur dan memberi ruang untuk mereka.
“Sayang, kamu sudah
sadar?” Ran hanya mengangguk. Ia menyembunyikan genangan air mata dengan mata
terpejam. Tapi sepertinya tidak berhasil.
“Tolong, berjanjilah
untuk sembuh..” Doni mencium air mata yang tak bisa disembunyikan itu.
Lagi-lagi Ran hanya menggerakkan kepalanya.
“Istirahatlah. Aku masih
harus pergi mencari darah untukmu. Besok siang kak Ira baru bisa datang, jadi
tidak sempat mendonorkan darah untukmu.” Doni menggenggam tangan Ran. Lani
memalingkan wajah ke jendela yang mengarah ke taman belakang rumah sakit.
Sepasang burung gereja berlarian di hamparan rumput gajah. Salah satunya
terlihat sedikit pincang, lalu terbang keatap bangunan seberang.
Ran tadi mendengar
pembicaraan suster, bahwa persediaan darah O di rumah sakit sedang kosong, jadi
harus mencari sendiri ke PMI. Ran tahu, salah satu kakak kembarnya itu pernah
mendonorkan darah untuknya saat masih kecil. Ia tidak begitu ingat seberapa
banyak darah yang keluar. Yang ia tahu, ada bekas jahitan di kaki kanannya
setelah seminggu dibungkus kain kasa.
Suster datang, dan
memberitahu bahwa dari jam 12 malam ia
tidak boleh makan dan minum, karena operasi akan dilakukan jam 7 pagi. Lani tak
pernah beranjak dari sisi ranjang, jika tak diingatkan untuk mengganti seragam
kerjanya oleh Ran.
“Lan, ibu dimana?”
Lani keluar sebentar
dan kembali dengan mengangkat bahu. “Sepertinya ikut Doni ke PMI.”
“Aku mau menelepon
ibuku.”
Lani mengangguk dan
memberikan handphonenya.
“Ibu, ini aku..”
Tak ada jawaban, hanya
isakan kecil yang terdengar. “Ran..” Kak Ara yang menjawab. Katanya ibu sangat
sedih, karena tidak bisa datang. Ibu memang sudah terlalu tua untuk perjalanan
jauh sampai Jakarta. Kak Ara pun tidak bisa datang karena menjaga ibu.
“Jaga diri baik-baik,
Ran. Kami disini mendoakanmu. Kak Ira berangkat nanti sore dari rumah suaminya.
Mungkin besok siang baru sampai.”
Ran menutup telepon. Ia
tahu betul sifat ibu kalau anak-anaknya sakit. Ran tidak pernah menangis
dihadapan ibu, bahkan saat kakinya robek tersangkut semak yang baru dipangkas.
“Aku akan baik-baik
saja, Bu. Semoga baik-baik saja..”
Ruangan bernuansa biru
langit, damai namun mencekam. Sesekali aroma terapi yang dipasang oleh Lani (katanya
untuk menyamarkan bau dari cairan infus dan obat-obatan) menguap dari atas meja
kecil. Ran menghirupnya dalam-dalam, tapi urung karena perutnya terasa ngilu
saat menghirup terlalu banyak udara. Doni belum kembali sejak sore tadi, iapun
memutuskan untuk tidur.
Sebuah kehangatan
menelusuri wajah, mengusik mimpi tentang dua anak kembar yang dicengkeram
ombak. Ran membuka mata. Doni mengulurkan sebotol air mineral. Jarinya memijit
lengan kiri Ran.
“Kamu harus banyak
minum, sayang. Sebentar lagi jam 12.”
“Mas, sejak kapan
disini?”
“Sepuluh menit sejak
kamu mengigau. Tadi mengantar ibu dulu, tidak apa-apa kan?”
Ran tersenyum. “Aku pun
lebih tenang kalau ibu di rumah saja. Ahh, maksudku..aku nggak mau ibu juga
sakit karena kurang istirahat disini.”
Doni mencium kening
Ran. Hangat nafasnya sejenak melupakan bayangan meja operasi yang dingin.
“Tidurlah, aku akan
menjagamu.”
“Lani dimana?”
“Aku memaksanya istirahat
di rumah, mukanya sudah seperti benang berpaut. Kusut.” Doni tersenyum.
“Syukurlah. Dia sangat
keras kepala.” Gumam Ran.
Benar saja, saat azan
subuh ia telah muncul membawa roti hangat dan teh manis untuk Doni. Tapi
sepertinya wanita berambut ikal itu lupa sesuatu yang membuat ruangan bertukar
aroma. Ia tidak mandi dari kemarin.
**