Selasa, 12 September 2017

Rumah Diantara Kabut_bagian 4

“Jangan terlalu memaksakan diri, Ran.”

Doni muncul dengan segelas coklat hangat. Beberapa kali ia memperhatikan jari Ran yang menekan tombol backspace. Ran menarik nafas lebih dalam. Tulisan di layar 14 inch itu terlihat mengambang.

“Minumlah dulu. Kamu sudah lelah dengan pekerjaan restoran. Kenapa masih memaksakan diri?” Tangan kekarnya memijit bahu Ran yang tipis. Ran sedikit menyeringai saat jari Doni menyentuh bagian yang pegal.

“Hanya untuk mengisi waktu luang saja kok.” Coklat hangat mengalir perlahan, membasahi tenggorokan yang dingin. Sesaat rasa hangat menggeleser dan terdiam di lambung.

“Ah ya, besok jadwalmu kerumah sakit bukan?” Doni menatap Ran. Wanita itu mengangguk.

“Tidak apa-apa, besok aku diantar Lani.” Ran tersenyum, memahami gurat penyesalan di wajah suaminya yang tidak bisa mengantar. Doni mencium keningnya yang selalu terlihat manis.

“Maaf, Ran..”

Ran menghabiskan sisa coklat dalam cangkir, lalu mematikan laptop. “Besok harus sudah dikirim, jadi aku usahakan selesai hari ini. Tapi ternyata punggungku sudah bosan..”

“Ran..bagaimana kalau kamu berhenti saja dari restoran?” Doni menggenggam tangan mungilnya. Ran terdiam, padahal sejak petang ia memang lebih banyak diam.

“Akan aku pikirkan lagi, mas.”

“Aku tidak memaksa, tapi jika berhenti membuatmu lebih baik, tolong lakukanlah.” Ran mengangguk.

Diantara beberapa ruangan, kamar mereka memang paling luas. Ran sengaja menggabungkan dua kamar, untuk meletakkan rak-rak buku. Perpustakaan mini.

Seri dari novel Supernova Ran koleksi. Beberapa buku karya DEE itu juga memenuhi rak paling atas. Disusunan paling ujung, buku dengan sampul hijau kumal terselip. Halamannya berubah coklat dan terdapat jejak air yang sudah mengering. Ran selalu menyimpannya disana, meski buku itu telah terbit dalam 8 cetakan. Ia lebih menyukai buku cetakan tahun 2009 tersebut, walaupun telah terbit seri keduanya. Disisi lain, karena ia telah mengetahui isi cerita seri kedua yang di filmkan juga, dan ia unggah di laptop. Ran tidak pernah ke bioskop. Tidak pernah suka. Baginya menonton sendiri atau membaca kisahnya diam-diam di sebatang pohon, lebih menyenangkan. Mungkin karena ia tak ingin terlihat menangis saat ada adegan yang mengiris sisi kolam air matanya.

Pernah suatu kali saat ke toko buku, Doni ingin membelikan buku yang sama, karena ia merasa buku kumal itu terlihat aneh jika ingin dijadikan koleksi. Namun dengan tegas Ran menolak.

Disusunan rak tengah, buku-buku karya Enid Blyton berdesakan. Mulai dari 21 seri Lima Sekawan versi asli sampai terjemahannya, lalu 15 seri Pasukan Mau Tahu yang semuanya kisah fantasi dan petualangan anak-anak. Di rak paling bawah, buku-buku dongeng dan kisah klasik berlimpah. Semuanya tersusun rapi, karena sebulan sekali Ran menyusun ulang dan tak membiarkan debu maupun kutu buku singgah.

Doni merapikan kertas-kertas yang berserakan. Semuanya cerita anak-anak buatan Ran yang dikirim mingguan dan bulanan di beberapa majalah. Sebulan sekali, Ran mengirim uang honornya dan beberapa majalah anak-anak yang menerima tulisannya, ke salah satu panti asuhan.

Bagi Doni, Ran jelmaan malaikat serba bisa. Wanita hebat yang penuh kasih sayang. Ia yang melawan malaikat mautnya, saat berada di jembatan layang, sekaligus menyingkirkan iblis yang selalu menggodanya untuk mendatangkan malaikat maut secara paksa. Ia yang selalu mengganti bunga lily putih setiap pagi di bibir jendela, saat terbaring di rumah sakit, padahal lily kemarin masih segar. Ia juga yang menikamnya dengan kalimat-kalimat lembut, selembut marshmellow yang saat digigit membuat ngilu gigi. Ran selalu membawa manisan itu saat mengunjunginya.

Semua kisah telah ia urai, Ran selalu mendengarkan tanpa pernah memotong. Bahkan ekspresinya selalu tenang meski itu kisah yang menyedihkan. Tapi Doni tahu, ia mendengarkan dengan penuh perhatian. Wajahnya seperti air sungai yang tak bisa ditebak, dan perlahan Doni melabuhkan cinta disalah satu tepinya, setelah berhasil melepaskan tambatan yang bukan miliknya.

*

Suara ibu masih terdengar jelas, meski terhalang pintu yang tak tertutup sepenuhnya. Ran enggan membuka mata, karena sekeliling terlihat berputar dan membuat mual. Ia merasa ada selang infus di tangan kiri. Seragam kerjanya pun sudah berganti menjadi pakaian berwarna biru dengan kancing dibelakang. Seingatnya, ia berencana ke rumah sakit saat jam istirahat. Namun saat di toilet, kepalanya terasa pusing serta mual, dan tiba-tiba terjadi pendarahan. Lebih hebat dari sebelum-sebelumnya. Keadaan semakin parah, pandangannya berputar-putar dalam gelap. Seperti ada titik-titik jingga diantara pekat yang memabukkan. Iapun pingsan.

”Jadi, ibu tidak akan pernah mendapatkan cucu dari dia?”

Suara ibu terdengar lebih keras dari petir. Sedikit bergetar dalam gendang telinga. Gejolak kecemasan dan kecewa yang tertahan. Ran menggerakkan sedikit kepala. Perut bagian bawahnya masih terasa sakit dan tertekan.

“Ibu, tolong jangan bahas masalah ini dulu.” Doni berusaha menenangkan ibu. Ran yakin, laki-laki itu pun belum cukup tegar.

“Doni juga tidak ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya..”

Ran sedikit membuka mata. Sekilas bayangan Doni menatapnya dalam ketakutan. Lebih takut dari saat pertama kali dokter mendiagnosis bahwa Ran akan kesulitan hamil, karena ada miom yang berkembang di endometriumnya.

Wajah ibu diliputi goresan kekecewaan. Ran ingat, raut itu juga ia rasakan saat pertama kali Doni mengajak ke rumah, bahkan saat masakan Ran tak pernah sesuai dengan seleranya.
Ran sangat mual. Ia butuh kantong plastik. Seseorang mendekat. Derap kakinya tak berirama, seperti kuda bertapal sebelah.

“Lan..”

“Jangan banyak bicara dulu, Ran. Istirahatlah. Besok pagi, kamu akan dioperasi.”

Suara Lani terdengar lebih lembut. Tangannya menggenggam jari-jari Ran yang dingin dan pucat.

“Jangan khawatir, kamu pasti masih bisa hamil. Rahimmu tidak akan diangkat.” Lani berbisik, seolah tahu apa yang ingin Ran katakan.

Doni masuk tanpa ibu. Lani mundur dan memberi ruang untuk mereka.

“Sayang, kamu sudah sadar?” Ran hanya mengangguk. Ia menyembunyikan genangan air mata dengan mata terpejam. Tapi sepertinya tidak berhasil.

“Tolong, berjanjilah untuk sembuh..” Doni mencium air mata yang tak bisa disembunyikan itu. Lagi-lagi Ran hanya menggerakkan kepalanya.

“Istirahatlah. Aku masih harus pergi mencari darah untukmu. Besok siang kak Ira baru bisa datang, jadi tidak sempat mendonorkan darah untukmu.” Doni menggenggam tangan Ran. Lani memalingkan wajah ke jendela yang mengarah ke taman belakang rumah sakit. Sepasang burung gereja berlarian di hamparan rumput gajah. Salah satunya terlihat sedikit pincang, lalu terbang keatap bangunan seberang.

Ran tadi mendengar pembicaraan suster, bahwa persediaan darah O di rumah sakit sedang kosong, jadi harus mencari sendiri ke PMI. Ran tahu, salah satu kakak kembarnya itu pernah mendonorkan darah untuknya saat masih kecil. Ia tidak begitu ingat seberapa banyak darah yang keluar. Yang ia tahu, ada bekas jahitan di kaki kanannya setelah seminggu dibungkus kain kasa.

Suster datang, dan memberitahu bahwa  dari jam 12 malam ia tidak boleh makan dan minum, karena operasi akan dilakukan jam 7 pagi. Lani tak pernah beranjak dari sisi ranjang, jika tak diingatkan untuk mengganti seragam kerjanya oleh Ran.

“Lan, ibu dimana?”

Lani keluar sebentar dan kembali dengan mengangkat bahu. “Sepertinya ikut Doni ke PMI.”

“Aku mau menelepon ibuku.”

Lani mengangguk dan memberikan handphonenya.

“Ibu, ini aku..”

Tak ada jawaban, hanya isakan kecil yang terdengar. “Ran..” Kak Ara yang menjawab. Katanya ibu sangat sedih, karena tidak bisa datang. Ibu memang sudah terlalu tua untuk perjalanan jauh sampai Jakarta. Kak Ara pun tidak bisa datang karena menjaga ibu.

“Jaga diri baik-baik, Ran. Kami disini mendoakanmu. Kak Ira berangkat nanti sore dari rumah suaminya. Mungkin besok siang baru sampai.”

Ran menutup telepon. Ia tahu betul sifat ibu kalau anak-anaknya sakit. Ran tidak pernah menangis dihadapan ibu, bahkan saat kakinya robek tersangkut semak yang baru dipangkas.
“Aku akan baik-baik saja, Bu. Semoga baik-baik saja..”

Ruangan bernuansa biru langit, damai namun mencekam. Sesekali aroma terapi yang dipasang oleh Lani (katanya untuk menyamarkan bau dari cairan infus dan obat-obatan) menguap dari atas meja kecil. Ran menghirupnya dalam-dalam, tapi urung karena perutnya terasa ngilu saat menghirup terlalu banyak udara. Doni belum kembali sejak sore tadi, iapun memutuskan untuk tidur.

Sebuah kehangatan menelusuri wajah, mengusik mimpi tentang dua anak kembar yang dicengkeram ombak. Ran membuka mata. Doni mengulurkan sebotol air mineral. Jarinya memijit lengan kiri Ran.
“Kamu harus banyak minum, sayang. Sebentar lagi jam 12.”

“Mas, sejak kapan disini?”

“Sepuluh menit sejak kamu mengigau. Tadi mengantar ibu dulu, tidak apa-apa kan?”

Ran tersenyum. “Aku pun lebih tenang kalau ibu di rumah saja. Ahh, maksudku..aku nggak mau ibu juga sakit karena kurang istirahat disini.”

Doni mencium kening Ran. Hangat nafasnya sejenak melupakan bayangan meja operasi yang dingin.

“Tidurlah, aku akan menjagamu.”

“Lani dimana?”

“Aku memaksanya istirahat di rumah, mukanya sudah seperti benang berpaut. Kusut.” Doni tersenyum.

“Syukurlah. Dia sangat keras kepala.” Gumam Ran.

Benar saja, saat azan subuh ia telah muncul membawa roti hangat dan teh manis untuk Doni. Tapi sepertinya wanita berambut ikal itu lupa sesuatu yang membuat ruangan bertukar aroma. Ia tidak mandi dari kemarin.
**