Selasa, 14 Maret 2017

Semak Mawar Berduri

Ibu langsung memangkas habis rumpun mawar yang nyaris mekar bunganya dua tangkai. Aku diam-diam menanamnya di belakang rumah, untuk ku hadiahkan kepadanya saat sudah berbunga. Tak kusangka, bukan tawa ibu yang kudengar. Tapi dencingan parang menebas habis rumpun itu hingga tak tersisa. Wajah ibu merah, lebih merah dari mawar yang kini tergeletak pasrah diantara duri-durinya. Anehnya, tak sepucuk duripun melukai tangan ibu. Bahkan kini aku yang merasa dicabik-cabik ribuan pucuk duri.
Melihat rumpun itu telah roboh, ibu tampak sangat puas. Lalu dipandangnya aku dengan masam. Aku bergidik ngeri, membayangkan tangan ibu yang halus mampu menumpas habis rumpun berduri itu bagaikan membabat segerombolan laki-laki yang mencoba menggodanya. Aku ingat, suatu hari ketika kami pulang dari pasar, tiga orang laki-laki berwajah jelek menghadang dan bersiul menggoda ibu. Saat itu aku sangat ketakutan dan bersembunyi di balik kain jaritnya. Tanpa disangka-sangka, ibu melempari ketiga laki-laki itu dengan telur dan sayuran. Bahkan diayun-ayunkannya sepotong kayu untuk menghalau mereka. Aku tidak bisa membayangkan ketika tangan ibu merogoh pisau yang baru dibelinya. Untunglah mereka segera pergi setelah mengumpat-umpat dan memelototi bagian dada ibu yang tak sempat terjamah.
Sejak saat itu, ibu tidak pernah meninggalkanku sendirian di rumah, maupun bepergian sendiri. Aku merasa ibu menjadi lebih was-was.
Ibu selalu melarangku mendekati laki-laki, siapapun itu. Lalu ketika aku bertanya siapa ayahku, ia hanya mengatakan bahwa aku terlahir begitu saja dari rahimnya tanpa seorang ayah. Ia tidak mengatakan dirinya Maryam. Tapi saat aku telah belajar mengaji, aku tahu hanya Maryam yang dianugerahi seorang anak tanpa suami.
Selama itu aku mempercayai ibu, karena hanya dialah yang aku punya. Pernah suatu ketika ibu mengajakku ke sebuah makam. Katanya itu makam nenek. Tapi ketika aku bertanya tentang kakek, wajah ibu langsung merah. Persis seperti ketika ia membabat habis rumpun mawar yang kutanam untuknya. Setelah itu, ia melarangku untuk menanyakannya lagi kalau tidak ingin ibu mati. Aku sangat takut, lalu mengunci pertanyaan itu serapat mungkin. Hingga suatu hari kunci itu terlepas dengan sendirinya.
Terdengar ibu menjerit, dari arah sumur. Ia jatuh terpeleset saat mengangkat cucian. Kepalanya terantuk bibir sumur. Terlihat darah merembes disela-sela sanggulnya yang terurai. Aku terisak tanpa suara. Ibu menjamah tanganku lalu bergumam lirih.
"Aku memang bodoh, membiarkanmu hidup sengsara bersamaku. Tapi kurasa itu lebih baik, daripada kau bernasib sama sepertiku. Jika aku meninggal, carilah ayahmu. Dia pasti mengenalimu." Ibu menghela nafas dengan sangat payah. Bukan karena luka di kepalanya. Tapi beban yang selama ini tertimbun dalam-dalam harus dikeluarkan. Harus. Matanya yang kering kerontang menatapku. Sangat kering. Lalu ibu bercerita.

**
Saat itu Minggu sore. Aku masih ingat. Aku memakai baju motif bunga mawar dan rok dari kain yang mirip kantong terigu kaku yang kadang membuat gatal, jahitan ibu. Bersama Utik dan tiga anak lagi, kami bermain petak umpet. Aku mendapat tempat persembunyian yang baik, di dalam semak mawar berduri yang gelap dan melindungi namun diam-diam menikam perlahan.
Aku merasa duri-duri mawar melindungiku untuk beberapa saat, sebelum ketakutan mengurung diriku beberapa waktu. Aku melihat seorang laki-laki menyekap Utik yang sedang berhitung dibalik pohon lalu menggendongnya ke arah gubuk yang tampak jelas dari dalam semak. Bukan. Bukan ayah Utik. Ayahnya sudah meninggal saat ia masih bayi. Utik meronta-ronta lalu diam tak bergeming. Aku gemetar ketakutan. Air mataku menggelincir bercampur dengan darah goresan duri mawar.
Ibu menemukanku di dalam semak. Tubuhku habis dimakan duri. Ibu menggendongku pulang, sementara orang-orang masih berkerumun dan sibuk menanyai tiga temanku yang tentu tak tahu apa-apa karena mereka bersembunyi di rumah masing-masing. Dan hanya aku yang tahu kenapa Utik pingsan bertelanjang bulat dengan sedikit darah di ujung bajunya.

*
Ibu menggigil kedinginan. Aku memeluknya. Ia melanjutkan ceritanya meski aku melarangnya. Lukanya terlalu parah, tapi aku juga ingin tahu apa alasan ia membenci rumpun mawar.
"Suatu hari, ketika ibu ke pasar, seseorang menyergapku. Kau tahu, dia ayah. Kakekmu. Ia menganggapku wanita dewasa yang bisa melayaninya. Aku tidak yakin itu ayah. Tapi siapa lagi yang memiliki luka bakar di lengan, bulat dan hitam. Aku yang menyebabkan luka itu. Ibu pernah menceritakan hal itu, sebelum ayah terjebak di dunia setan. Aku sendiri yakin, ayah sudah menjadi setan saat itu. Matanya merah menerkam, rambutnya lebih buruk dari ijuk. Dan kuku-kukunya yang hitam mencengkeram kerah baju baru yang sedang kucoba. Aku melanggar janji untuk memakai baju itu saat lebaran.
Sayup-sayup masih terdengar suara ayah yang mengancam akan membunuh ibu jika aku bercerita. Aku menangis. Lalu tubuhku terhempas ke dalam semak mawar berduri yang gelap, dengan bayangan hitam laki-laki di atas tubuh Utik di dalam gubuk. Lengan laki-laki itu terdapat luka bakar hitam bulat yang kian membesar dan menjadi sebuah lubang hitam gelap. Lubang neraka.
Selama itu aku diam. Ibu benar-benar percaya bahwa aku nyaris diterkam harimau. Hingga suatu petang, ketika ibu masih mengenakan mukena panjangnya sehabis shalat maghrib, ayah pulang dengan terhuyung-huyung. Matanya tidak seperti manusia, harimau pun bukan. Ditujunya tudung saji yang ada di atas meja. Namun yang ditemukan hanyalah kendi warisan nenek berisi air putih, yang baru saja diisi airnya. Ayah sangat murka. Dilemparkan kendi itu ke ibu tepat di kepalanya. Kendi pecah, begitupun kepala ibu. Sungguh, aku tidak tahu kekuatan apa yang ada dalam kendi tersebut. Atau kepala ibu yang terlalu rapuh sehingga kendipun mampu menghancurkannya. Aku terisak disamping ibu, persis seperti kau saat ini."
Ibu tersenyum. Sangat getir. Aku bisa merasakan pahit yang sangat mencekik. "Aku tidak ingin kau sepertiku. Tapi kau punya ayah. Mungkin dia lebih baik dari ayahku. Tapi aku tidak begitu yakin. Kurasa semua laki-laki sudah tidak waras. Atau mungkin dunia akan berakhir besok pagi."
Aku merasa terjerembab ke dalam semak mawar yang ibu ceritakan. Gelap dan mengerikan. Seluruh tubuhku basah oleh darah. Aku tidak ingin melanjutkan keturunanku. Aku ingin mati bersama ibu.
***


Jakarta, 11 Oktober 2015
Tentang Paedofil mengerikan..
Hanya fiktif, namun hati-hati..

Tidak ada komentar :

Posting Komentar