Ibu
langsung memangkas habis rumpun mawar yang nyaris mekar bunganya dua tangkai.
Aku diam-diam menanamnya di belakang rumah, untuk ku hadiahkan kepadanya saat
sudah berbunga. Tak kusangka, bukan tawa ibu yang kudengar. Tapi dencingan
parang menebas habis rumpun itu hingga tak tersisa. Wajah ibu merah, lebih
merah dari mawar yang kini tergeletak pasrah diantara duri-durinya. Anehnya,
tak sepucuk duripun melukai tangan ibu. Bahkan kini aku yang merasa
dicabik-cabik ribuan pucuk duri.
Melihat
rumpun itu telah roboh, ibu tampak sangat puas. Lalu dipandangnya aku dengan
masam. Aku bergidik ngeri, membayangkan tangan ibu yang halus mampu menumpas
habis rumpun berduri itu bagaikan membabat segerombolan laki-laki yang mencoba
menggodanya. Aku ingat, suatu hari ketika kami pulang dari pasar, tiga orang
laki-laki berwajah jelek menghadang dan bersiul menggoda ibu. Saat itu aku
sangat ketakutan dan bersembunyi di balik kain jaritnya. Tanpa disangka-sangka,
ibu melempari ketiga laki-laki itu dengan telur dan sayuran. Bahkan
diayun-ayunkannya sepotong kayu untuk menghalau mereka. Aku tidak bisa
membayangkan ketika tangan ibu merogoh pisau yang baru dibelinya. Untunglah
mereka segera pergi setelah mengumpat-umpat dan memelototi bagian dada ibu yang
tak sempat terjamah.
Sejak
saat itu, ibu tidak pernah meninggalkanku sendirian di rumah, maupun bepergian
sendiri. Aku merasa ibu menjadi lebih was-was.
Ibu
selalu melarangku mendekati laki-laki, siapapun itu. Lalu ketika aku bertanya
siapa ayahku, ia hanya mengatakan bahwa aku terlahir begitu saja dari rahimnya
tanpa seorang ayah. Ia tidak mengatakan dirinya Maryam. Tapi saat aku telah
belajar mengaji, aku tahu hanya Maryam yang dianugerahi seorang anak tanpa
suami.
Selama
itu aku mempercayai ibu, karena hanya dialah yang aku punya. Pernah suatu
ketika ibu mengajakku ke sebuah makam. Katanya itu makam nenek. Tapi ketika aku
bertanya tentang kakek, wajah ibu langsung merah. Persis seperti ketika ia
membabat habis rumpun mawar yang kutanam untuknya. Setelah itu, ia melarangku
untuk menanyakannya lagi kalau tidak ingin ibu mati. Aku sangat takut, lalu
mengunci pertanyaan itu serapat mungkin. Hingga suatu hari kunci itu terlepas
dengan sendirinya.
Terdengar
ibu menjerit, dari arah sumur. Ia jatuh terpeleset saat mengangkat cucian.
Kepalanya terantuk bibir sumur. Terlihat darah merembes disela-sela sanggulnya
yang terurai. Aku terisak tanpa suara. Ibu menjamah tanganku lalu bergumam
lirih.
"Aku
memang bodoh, membiarkanmu hidup sengsara bersamaku. Tapi kurasa itu lebih
baik, daripada kau bernasib sama sepertiku. Jika aku meninggal, carilah ayahmu.
Dia pasti mengenalimu." Ibu menghela nafas dengan sangat payah. Bukan
karena luka di kepalanya. Tapi beban yang selama ini tertimbun dalam-dalam
harus dikeluarkan. Harus. Matanya yang kering kerontang menatapku. Sangat
kering. Lalu ibu bercerita.
**
Saat itu Minggu sore. Aku masih
ingat. Aku memakai baju motif bunga mawar dan rok dari kain yang mirip kantong
terigu kaku yang kadang membuat gatal, jahitan ibu. Bersama Utik dan tiga anak
lagi, kami bermain petak umpet. Aku mendapat tempat persembunyian yang baik, di
dalam semak mawar berduri yang gelap dan melindungi namun diam-diam menikam
perlahan.
Aku merasa duri-duri mawar
melindungiku untuk beberapa saat, sebelum ketakutan mengurung diriku beberapa
waktu. Aku melihat seorang laki-laki menyekap Utik yang sedang berhitung
dibalik pohon lalu menggendongnya ke arah gubuk yang tampak jelas dari dalam
semak. Bukan. Bukan ayah Utik. Ayahnya sudah meninggal saat ia masih bayi. Utik
meronta-ronta lalu diam tak bergeming. Aku gemetar ketakutan. Air mataku
menggelincir bercampur dengan darah goresan duri mawar.
Ibu menemukanku di dalam semak.
Tubuhku habis dimakan duri. Ibu menggendongku pulang, sementara orang-orang
masih berkerumun dan sibuk menanyai tiga temanku yang tentu tak tahu apa-apa
karena mereka bersembunyi di rumah masing-masing. Dan hanya aku yang tahu
kenapa Utik pingsan bertelanjang bulat dengan sedikit darah di ujung bajunya.
*
Ibu
menggigil kedinginan. Aku memeluknya. Ia melanjutkan ceritanya meski aku
melarangnya. Lukanya terlalu parah, tapi aku juga ingin tahu apa alasan ia
membenci rumpun mawar.
"Suatu hari, ketika ibu ke
pasar, seseorang menyergapku. Kau tahu, dia ayah. Kakekmu. Ia menganggapku
wanita dewasa yang bisa melayaninya. Aku tidak yakin itu ayah. Tapi siapa lagi
yang memiliki luka bakar di lengan, bulat dan hitam. Aku yang menyebabkan luka
itu. Ibu pernah menceritakan hal itu, sebelum ayah terjebak di dunia setan. Aku
sendiri yakin, ayah sudah menjadi setan saat itu. Matanya merah menerkam,
rambutnya lebih buruk dari ijuk. Dan kuku-kukunya yang hitam mencengkeram kerah
baju baru yang sedang kucoba. Aku melanggar janji untuk memakai baju itu saat
lebaran.
Sayup-sayup masih terdengar suara
ayah yang mengancam akan membunuh ibu jika aku bercerita. Aku menangis. Lalu
tubuhku terhempas ke dalam semak mawar berduri yang gelap, dengan bayangan
hitam laki-laki di atas tubuh Utik di dalam gubuk. Lengan laki-laki itu
terdapat luka bakar hitam bulat yang kian membesar dan menjadi sebuah lubang
hitam gelap. Lubang neraka.
Selama itu aku diam. Ibu
benar-benar percaya bahwa aku nyaris diterkam harimau. Hingga suatu petang,
ketika ibu masih mengenakan mukena panjangnya sehabis shalat maghrib, ayah
pulang dengan terhuyung-huyung. Matanya tidak seperti manusia, harimau pun
bukan. Ditujunya tudung saji yang ada di atas meja. Namun yang ditemukan
hanyalah kendi warisan nenek berisi air putih, yang baru saja diisi airnya.
Ayah sangat murka. Dilemparkan kendi itu ke ibu tepat di kepalanya. Kendi
pecah, begitupun kepala ibu. Sungguh, aku tidak tahu kekuatan apa yang ada
dalam kendi tersebut. Atau kepala ibu yang terlalu rapuh sehingga kendipun
mampu menghancurkannya. Aku terisak disamping ibu, persis seperti kau saat
ini."
Ibu
tersenyum. Sangat getir. Aku bisa merasakan pahit yang sangat mencekik.
"Aku tidak ingin kau sepertiku. Tapi kau punya ayah. Mungkin dia lebih
baik dari ayahku. Tapi aku tidak begitu yakin. Kurasa semua laki-laki sudah
tidak waras. Atau mungkin dunia akan berakhir besok pagi."
Aku
merasa terjerembab ke dalam semak mawar yang ibu ceritakan. Gelap dan
mengerikan. Seluruh tubuhku basah oleh darah. Aku tidak ingin melanjutkan
keturunanku. Aku ingin mati bersama ibu.
***
Jakarta, 11 Oktober 2015
Tentang Paedofil mengerikan..
Hanya fiktif, namun hati-hati..
Tidak ada komentar :
Posting Komentar