Minggu, 19 Maret 2017

Rumah Diantara Kabut_bagian 2

Dari sekian jenis minuman yang pasti menjadi pilihan ditengah cuaca panas, Ran memilih green tea hangat dengan madu. Seorang waitress muda mengantarkannya ke meja out door dibawah pohon belimbing.

“Silahkan, Bu. Ini meja nomor 23 yang sudah dipesan atas nama ibu Anggi.”

“Terimakasih.”

Kehangatan teh mengalir bersama lembutnya matahari dari balik bayang-bayang daun belimbing. Angin membuka celah masa lalu saat seseorang tidak bisa membedakan aroma teh dengan parfum yang ia kenakan.

“Anda..Kirana?”

“Oh..ya. Dan anda pasti, emm..ibu Anggi.”

“Haha..panggil Anggi saja, dan ini keponakan saya, Arumi. Maaf. sudah lama menunggu ya, Kirana?”

“Belum kok. Silahkan duduk, eh..mbak.”

Ran sibuk menerka-nerka umur Anggi saat ia sibuk memilihkan pesanan untuk Arumi. Di mata Ran, ia bagaikan tart susu bertopping stroberi dengan sedikit sprinkle pelangi diatasnya. Sangat anggun dengan dress merah terang yang membalut kulit putihnya. Arumi, gadis manis berkepang dua itu__ah, mata dan hidungnya mirip seseorang…

“Ngomong-ngomong, enak ya, jadi koki. Bisa buat masakan enak, pekerjaan jelas, bisa buka usaha buat masa depan juga..” Anggi memulai pembicaraan.

“Sama saja kok mbak. Semua orang juga pasti bisa masak. Hanya mungkin enak atau tidak..haha.”

“Tante juga bisa masak nasi goreng buat bekal Arumi.” Gadis kecil itu menyela. Anggi tertawa.

“Yah, cuma nasi goreng yang aku bisa. Itupun dengan bumbu instan.”

Ran tertawa. Ternyata wanita cantik itu juga pandai bercanda dan periang.

“Nggak masalah, mbak. Kalau mau belajar masak, main saja ke rumah. Arumi juga boleh ikut. Dirumah saya nggak ada anak kecil. Jadi, pasti menyenangkan ada Arumi.”

“Oh ya..tentu saja. Arumi diam-diam penggemar tahu bayam buatanmu lho..” Lagi-lagi Anggi tertawa. Arumi terlihat malu-malu.

“Wah..benarkah, Arumi? Eh, maaf sebelumnya. Tapi saya harus kembali kerja. Jam istirahatnya hampir habis.”

“Aku yang minta maaf, Kirana. Sudah mengambil waktu istirahatmu. Kapan-kapan kita masih bisa bertemu lagi kan?”

“Haha..tentu saja, mbak. Tante pergi dulu, Arumi..”

Arumi menatap Ran yang menunggu taxi di seberang cafĂ©. “Tante itu kecil banget ya, tapi cantik..”

Masa sih. Tapi pasti lebih cantik tante kan?”

Arumi tertawa lalu menghabiskan es krimnya. “Tante tau nggak, Tinkerbell? Peri kecil yang bajunya hijau? Tante tadi..mirip Tinkerbell. Haha..imut.”

“Ya ampun, Arumi. Jangan keras-keras. Nanti dia dengar lho..”

Arumi menutup mulutnya dengan pancake pisang. Anggi memandang Ran yang sudah mendapatkan taxinya. Diperjalanan pulang, diam-diam ia mencari gambar tentang peri kecil yang dikatakan Arumi. Tinkerbell?
*
Aku bukan ratu dengan puluhan dayang-dayang. Jika kau perhatikan, jari ini tidak ada yang luput dari luka. Sayatan di telunjuk belum juga layu, kini kelingking tergores mata pisau. Cincin bermata satu ini tak bisa ku geser karena sengatan uap panas membuat jari manis melepuh.
Jadi, aku bukan istanamu meski kau seorang raja.
Suatu ketika, saat badai menghantam jalan pulang, kau kehilangan payung dan tak berani berteduh di bawah pohon. Rumah ibu mu masih sangat jauh. Saat kilat menyambar pohon kelapa, terlihatlah sebuah rumah. Cukup dekat jika mampu memperhitungkan kilat yang menyambar lima menit sekali. Lalu kau berlari, berharap sampai di rumah itu sebelum menit kelima. Tapi terlambat. Kau tiba di menit ketujuh. Tak ada kilat yang menyayat kulit, karena kakimu telah memasuki gerbang rumah. Pada akhirnya, kau berlindung di rumah itu sampai orang tuamu datang menjemput sambil membawa uang untuk membeli rumah yang telah menyelamatkan putranya dari badai. Sekarang kau memiliki sandaran saat lelah merobohkan langkah. Tapi beberapa waktu, kau hanya singgah. Karena ada surga yang kau jaga, dan rumah itu tak bisa menyalahkan surga yang telah memberimu tempat aman sebelum badai.

Ran menyandarkan tubuhnya ke sofa. Terasa beberapa tulang berderak, saling memposisikan diri. Hari ini Doni menginap di rumah ibunya. Tentu dengan debat singkat, yang berakhir “Ibu nggak akan pernah mau tinggal dengan kita, Ran.” Dan Ran harus mengalah, meski jengah.

Wajah ibu mudah sekali ditebak saat pertama kali datang ke rumah mereka. “Sangat kecil, ibu nggak betah. Kamu nggak pasang AC? Bagaimana kalau biang keringat ibu kambuh kalau gerah? Lalu kamar mandi sekecil itu, mana tahan ibu mandi dengan bak kecil dan pasti lima menit di dalamnya, sangat pengap. Pokoknya kamu yang harus di rumah ibu atau ibu nggak akan pernah mau tinggal di rumah mewah mu..”

Setiap sudut rumah, Ran selalu terbayang keringat yang harus ia keluarkan untuk membangun rumah itu. Beberapa tahun bekerja, dan inilah hasilnya. Hasil kerja payahnya sendiri, sedang uang Doni untuk membiayai pernikahan mereka. Tidak ada satu barang pun dari ibu mertua. Tapi beberapa peralatan dapur itu hadiah dari mama dan kakak-kakaknya. Ran tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Tapi ibu akhir-akhir ini selalu ribut, karena anak lelaki satu-satunya jarang berkunjung. Doni sudah lelah membujuk ibunya dan tak kuasa mengajak Ran untuk tinggal bersama ibunya lagi, setelah rumah yang ia impikan terwujud dan kebetulan dekat dengan tempat kerjanya.

Malam itu, Anggi datang tanpa Arumi. Tangannya penuh dengan belanjaan bahan makanan.

“Mbak Anggi mau masak apa? Banyak banget belanjanya. Haha..”

“Kemarin aku lihat di internet, ada risolles dari roti tawar. Kamu bisa ajari aku cara membuatnya kan? Semua bahannya sudah aku beli.”

Ran tertawa. “Ayo ke dapur.”

Beberapa saat, ke dua wanita itu sibuk di dapur. Ran sempat mengirimkan pesan singkat ke Doni sebelumnya. “Temanku, Mbak Anggi datang, mau belajar masak. Mungkin aku akan sibuk beberapa saat. Tidak ada laki-laki.”

“Suami kamu belum pulang, Kirana?”

“Oh, menginap di rumah ibunya, mbak..”

“Kalian saling percaya, ya?”

“Bukankah memang begitu seharusnya?” Ran tersenyum. Anggi berhenti memotong kentang saat handphonenya bunyi. Terdengar suara seorang wanita setengah berteriak diantara keramaian.

“Kamu dimana? Nggak kerja?”

“Aku sedang belajar memasak. Jangan ganggu dulu.” Suara Anggi terdengar ketus.

“Apa? Kamu gangguan jiwa ya? Klien kamu banyak yang menunggu. Cepat berangkat!”

Nggak mau. Buat kamu saja..”

“Hahh..hei tunggu..!”

Anggi mematikan handphonenya. “Maaf, Kirana. Teman kerjaku, bawel banget. Haha.”

“Mbak bolos kerja?”

“Yah, karena lagi pengen belajar masak. Bukan masalah kok. Ayo, kita lanjutkan..”

Satu jam kemudian, risolles dari roti tawar pun terhidang dengan cantik. Berkali-kali Anggi memotret hasil masakannya.

Ran tersenyum saat beberapa kali wanita anggun itu berkomentar enak sambil menirukan gaya Farah Quinn diacara televisi dan mengunyah tanpa malu-malu. Sesaat ia teringat, ketika dihari kesepuluh pernikahannya, tanpa sengaja mendengar ibu bilang ke tetangga sebelah bahwa masakannya sangat payah. “Bagaimana bisa wanita seperti itu jadi koki? Padahal masakannya sangat payah. Aku selalu mulas tiap kali makan masakannya. Kalau bukan karena anakku, mungkin aku rela mati kelaparan daripada makan masakannya.”

Lalu tetangga yang memang bermulut pedas itu berkomentar. ”Hati-hati lho, Bu. Sekarang banyak berita menantu meracuni mertuanya..”

Beberapa hari kemudian, Ran melihat semua masakannya yang masih hangat dibuang ke tempat sampah. Saat ia bertanya apa sebabnya, ibu hanya menjawab, “Sudah basi, masa mau dimakan.” Tapi Ran tidak pernah menceritakan hal itu kepada Doni, setidaknya sampai saat ini.
*

Tidak ada komentar :

Posting Komentar