Karena
tanpa kekosongan, seseorang tidak akan bisa memulai sesuatu. Aku menemukan
kata-kata itu saat mencari gambar wallpaper bertema perahu kertas, di internet.
Tanpa kekosongaan. Sejak kau pergi__bukan. Sejak aku pergi__tidak. Sepertinya
lebih tepat jika__sejak kita tidak memungkinkan untuk bersama, aku menemukan
kekosongan itu. Tapi apa yang aku mulai? Aku hanya menjadi mesin pembuat
lingkaran. Bahkan terkadang menjadi pelukis pelangi tanpa warna. Dan sesekali
sebagai pendengar curahan hati dari orang-orang yang tidak mempunyai buku
diary.
Ran meluruskan kakinya.
Beberapa anak kecil tak peduli dengan kehadirannya di bangku taman dekat ayunan
anak-anak. Tapi, beberapa saat ada seorang balita yang baru belajar berjalan
mendekatinya sambil mengulurkan remahan biskuit. Ibu balita itu buru-buru
menggendongnya sambil minta maaf. Ran tertawa.
“Ah, Ran..kamu disitu
ternyata.”
Muka Lani sembab. Ran
masih bisa melihat mata merahnya meski wanita itu berkacamata gelap.
“Oh iya, Lan. Tadi aku
sempat jogging dua putaran lalu istirahat disini. Pindah kesana saja ya.”
Ran mengajaknya duduk
dibawah pohon kamboja merah jambu. Lani membawa dua botol minuman teh kemasan,
satu diulurkan ke Ran.
“Jadi..” Ran memulai
pembicaraan setelah Lani menenggak setengah botol minumannya. Wanita itu masih
terdiam beberapa saat. Ran memungut sekuntum kamboja, lalu menghirupnya.
Menunggu sahabatnya mengumpulkan kata-kata.
“Seperti yang aku
bilang tadi malam..” Lani kembali diam. Menenggak minuman dingin itu sampai
habis.
Ran membuka kembali chat yang ia terima tengah malam. Dua
kali scroll hanya satu pesan dari
Lani. Tentang suaminya.
“Jadi menurutmu,
Pras..”
“Selingkuh.”
Beberapa saat angin
menghamburkan daun-daun petai cina. Beberapa kuntum kamboja ikut berjatuhan.
Diujung sana, di bangku yang dinaungi pohon merambat, sepasang suami istri
memeluk balitanya. Melindungi dari butiran debu dan beberapa daun kecil yang
mengusik putri kecilnya. Lani memandang mereka dengan iri.
Setahun yang lalu ia
keguguran, dan hingga kini belum hamil lagi. Pras selalu menyalahkan Lani yang
tidak bisa menjaga janinnya. Saat itu Lani memang tidak menyadari kalau dirinya
hamil dan tetap bekerja seperti biasa.
“Kamu sudah mencoba ke
dokter lagi?” Ran memecah ketidaknyamanan perasaan Lani.
“Sudah. Tidak ada yang
salah dengan rahimku. Hanya saja, Pras..”
Dua bulan sebelum
keguguran, Pras kecelakaan. Sebulan di rumah sakit, membuat Lani harus tetap
bekerja untuk membayar biaya berobat. Dokter tidak mengatakan apapun saat ia
diperbolehkan pulang. Tapi setelah keguguran, Lani belum hamil sampai saat ini.
Pras selalu bersikeras bahwa Lani yang bermasalah, dengan alasan kerja berat.
Padahal diam-diam Lani pernah mendatangi dokter yang pernah merawat Pras, dan
ternyata akibat kecelakaan itu ia infertil.
Sekarang, saat
laki-laki itu tidak bisa menerima kenyataan bahwa ia tidak bisa memiliki
keturunan dari Lani, ia mulai mencari wanita lain. Begitulah menurut Lani yang
mulai curiga, tiap malam Pras tidak pernah menyentuhnya lagi. Terlebih ia
selalu menerima telepon tengah malam, dan paginya ia akan bilang bahwa hari ini
pulang telat atau bahkan menginap di rumah Nino, rekan kerjanya untuk urusan
proyek yang sedang mereka kerjakan bersama.
Pras memang tidak
berbohong, karena Lani pernah meminta tolong salah satu teman Pras untuk
mengawasinya. Dan dari foto yang ia terima, Pras memang menginap di rumah Nino.
“Kenapa kau tidak
berusaha mengatakan yang sebenarnya? Bukankah itu lebih baik dan mungkin saja,
Pras mau mengerti.”
“Aku nggak mau melihat dia semakin terbebani,
Ran. Setelah kecelakaan, ia harus menerima kenyataan bahwa aku keguguran.
Bagaimanapun, aku__mencintainya.”
Ran tersenyum getir. Mencintai
perkara mudah, yang sulit proses mempertahankan cinta itu. Seperti ketika mengulum permen rasa mint, padahal kau tidak suka permen. Tapi kau melakukannya
karena pemberian orang yang kamu cintai. Perlahan kau mulai menyukai permen itu, dan berusaha
mempertahankan rasanya yang segar ada di mulut selama mungkin. Sulit, karena
ada saatnya rasa itu akan lenyap, dan yang perlu dilakukan hanya__memakan
permen itu lagi.
Sekuntum kamboja merah
muda jatuh di pangkuan Ran. Kelopaknya ada tujuh, kuntum yang jarang ditemui.
Ran menyimpannya di saku. Dulu sewaktu kecil, ia senang bermain-main di kuburan
belakang rumah neneknya, dan mencari kuntum kamboja dengan kelopak selain lima.
Jika dapat, ia akan menyimpannya di halaman al-qur’an karena kata teman
mengajinya, itu bisa membuatnya gampang menghafal al-qur”an. Asumsi kanak-kanak
yang polos, namun cukup memberikan sugesti yang baik bagi Ran, karena ia jadi
semakin rajin mengaji.
“Boleh aku menginap di
rumahmu, malam ini saja Ran. Aku butuh ketenangan.”
“Lan, kita ini istri
yang serba mudah. Mudah mendapatkan pahala, dan juga dosa. Kamu pergi begini
tanpa izin suamimu saja sudah dosa, apalagi meninggalkan rumah untuk waktu yang
lama tanpa ridhonya. Maaf, Lan..bukannya aku nggak boleh.”
“Aku mengerti. Thanks, sudah mau mendengar ceritaku.”
Ran tersenyum. “Tidak
masalah. Katakan apa yang ingin kamu
sampaikan, kapanpun. Pulang yuk,”
Matahari mulai
meninggi. Tiupan angin merepotkan beberapa wanita penyapu jalanan. Tapi Ran
melihat ketegaran dibalik seragam jingga mereka, setegar tangkai sapu yang
mereka genggam.
*
Tidak ada komentar :
Posting Komentar