Kamis, 07 Desember 2017

Rumah Diantara Kabut_bagian 5

Suara adzan mengiringi semburat matahari jingga. Beberapa anak perempuan berkerudung warna warni berjalan beriringan sambil menjinjing tas kain merk minimarket, berisi buku kecil dan hafalan iqra’. Anak laki-laki mengalungkan sarung kecilnya, mereka yang lebih besar melempar-lemparkan kopiah ke udara. Tawa riang yang menentramkan.

Surau bercat kusam itu lumayan penuh. Penuh anak kecil. Hanya seorang imam beserta lima orang kakek dan dua orang nenek yang mengisi shaf depan. Seorang ibu bermukena kusut berlari kecil memasuki pintu surau, menambah satu dari dua jamaah wanita dewasa. Shalat ashar berjalan khusyu meski hanya sampai rakaat kedua karena barisan anak perempuan di belakang ribut, salah satu anak mukenanya terinjak teman sebelahnya.

Anggi merapihkan kerudung hitam yang tersingkap angin. Tatapannya masih tertuju barisan shaf laki-laki yang terhalang pintu kaca. Pohon kersen rindang terlalu nyaman untuknya berdiri seperti itu selama 15 menit, mengumpulkan niat dan meyakinkan hati bahwa ini pilihan hidup terbaiknya. Menjadi mu’allaf.

“Menunggu siapa, neng?”

Ibu bermukena kusut tiba-tiba telah disampingnya. Membuyarkan lamunan akan alif, ba, ta, yang baru ia baca tadi malam. Ia kembali membetulkan kerudungnya yang tidak rapi.

“Eh, saya teman Syarif Ibrahim. Saya ada janji bertemu dia di surau ini.”

“Oh..mas Ibrahim guru ngaji anak-anak. Sepertinya hari ini dia nggak ada. Tapi coba tanyakan sama pak Teguh. Dia yang menggantikan mas Ibrahim kalau sedang ada halangan. Pak Teguh yang berkemeja batik itu.” Tunjuk si ibu sebelum pergi. Anggi mengangguk berterimakasih.

Anak-anak kecil mulai melafalkan al fatihah. Dengan ragu Anggi mengucapkan salam. Serentak merekapun menoleh dan menjawab salam.

“Ada yang bisa saya bantu, neng?” Pak Teguh mempersilahkan Anggi masuk.

“Ah, saya mencari Ibrahim. Saya temannya..”

“Oh, Ibrahim sedang pulang kampung. Beberapa hari yang lalu dia kecelakaan dan dibawa pulang oleh oranng tuanya. Apa dia nggak kasih kabar?”

Sesaat Anggi tercekat. Kecelakaan? Kenapa ia tidak tahu? Memang beberapa hari terakhir laki-laki itu susah dihubungi, karenanya ia memutuskan untuk menemuinya langsung.

“Kalau boleh tahu, separah apa pak? Dan kampungnya dimana?”

Pak Teguh tertegun. Ia pun tersenyum maklum.

“Kalau tidak keberatan, temui saya setelah mengajar anak-anak ya.”

Anggi mengangguk malu. Ia pun pamit dan kembali menunggu dibawah pohon kersen. Dalam hatinya berdesakkan beribu rasa.

Langit mulai meredup. Taxi yang membawanya tampak tenang melaju tanpa kemacetan. Anggi mengeluarkan ponselnya, mencari sebuah alamat dengan aplikasi maps. Wonosobo, Jawa Tengah.

*

Suara mixer berdesing tanpa henti. Dua orang wanita sibuk menimbang adonan. Beberapa menyiapkan kemasan untuk kue-kue yang sudah dingin.

Seorang wanita bagian pemanggangan menjerit. Lengannya tak sengaja menyenggol loyang panas.
“Hati-hati, Tin. Pakai handglovenya yang benar.”

Lani muncul dari ruang dekorasi tart. Tangannya masih menggenggam piping bag berisi butter cream warna merah. Tini mengusap lengannya yang memerah.

“Nih, oles dulu dengan salep luka bakar. Parah nggak?” Ran menyodorkan kotak salep luka bakar.

“Terimakasih, mbak. Nggak parah kok.”

“Oh iya, Ran. Kamu bisa bantu buat hiasan mawar nggak? Aku buat dari butter cream hasilnya kurang bagus.”

“Coba pakai fondant saja, Lan. Ayo, aku bantu.”

Kedua wanita itu pun kembali menghias kue tart wedding setinggi satu meter. Ran tampak lebih sehat setelah operasi. Ia pun memutuskan untuk resign, dan mengisi kesibukan dengan membantu Lani di Lani’s Ginger House. Kebetulan akhir-akhir ini rumah bakery itu sedang ramai pesanan.

“Fuhh..pegal tanganku.” Lani meletakkan hiasan daun terakhir dari fondant.

“Diminum dulu kopinya. Sudah nggak ada rasanya tuh.”

Ran menunjuk meja kecil disudut ruangan. Segelas green tea dan kopi hitam telah kehilangan aroma karena suhu ruangan yang dingin.

“Nanti sore setelah pesanan tart ini diambil, aku mau jogging. Kau mau ikut?”

Ran menggeleng. “Aku mau merevisi cerita anak edisi minggu lalu. Kemarin belum bisa terbit karena masih ada bagian kalimat yang terlalu susah dimengerti anak-anak.”

Lani menenggak kopinya sampai habis. Ia tak bisa bohong, bahwa kopi buatan Ran memang paling enak.

“Pras apa kabar?” Ran merebahkan punggungnya di kursi kayu dekat pintu.

Lani mendecapkan lidah, menikmati pahitnya kopi yang tersisa. “Biasa saja. Kami lebih seperti teman sekarang. Teman satu atap yang saling menahan kata keluar, jika sama sekali tak perlu.”

Tidak tergambar raut kesedihan di wajah bulat wanita itu. Atau mungkin ia yang terlalu lelah dan bosan  dengan rasa seperti itu, hingga membuangnya jauh-jauh dan lebih memilih menikmati hidup bersama kue-kue buatannya.

“Kau baik-baik saja?” Ran menggumam.

“Seperti yang kau lihat..” Lani tertawa. Melempar Ran dengan kepingan coklat berbentuk hati, sisa hiasan yang tak terpakai.

Aku tak berharap, suatu saat hatimu yang hangat benar-benar beku seperti kepingan coklat hanya karena suasana dingin dalam rumahmu. Kepingan coklat yang retak.


*

Tidak ada komentar :

Posting Komentar