Suara
adzan mengiringi semburat matahari jingga. Beberapa anak perempuan berkerudung
warna warni berjalan beriringan sambil menjinjing tas kain merk minimarket,
berisi buku kecil dan hafalan iqra’. Anak
laki-laki mengalungkan sarung kecilnya, mereka yang lebih besar melempar-lemparkan
kopiah ke udara. Tawa riang yang menentramkan.
Surau
bercat kusam itu lumayan penuh. Penuh anak kecil. Hanya seorang imam beserta
lima orang kakek dan dua orang nenek yang mengisi shaf depan. Seorang ibu
bermukena kusut berlari kecil memasuki pintu surau, menambah satu dari dua
jamaah wanita dewasa. Shalat ashar berjalan khusyu meski hanya sampai rakaat
kedua karena barisan anak perempuan di belakang ribut, salah satu anak mukenanya
terinjak teman sebelahnya.
Anggi
merapihkan kerudung hitam yang tersingkap angin. Tatapannya masih tertuju
barisan shaf laki-laki yang terhalang pintu kaca. Pohon kersen rindang terlalu
nyaman untuknya berdiri seperti itu selama 15 menit, mengumpulkan niat dan
meyakinkan hati bahwa ini pilihan hidup terbaiknya. Menjadi mu’allaf.
“Menunggu
siapa, neng?”
Ibu
bermukena kusut tiba-tiba telah disampingnya. Membuyarkan lamunan akan alif,
ba, ta, yang baru ia baca tadi malam. Ia kembali membetulkan kerudungnya yang
tidak rapi.
“Eh,
saya teman Syarif Ibrahim. Saya ada janji bertemu dia di surau ini.”
“Oh..mas
Ibrahim guru ngaji anak-anak. Sepertinya hari ini dia nggak ada. Tapi coba
tanyakan sama pak Teguh. Dia yang menggantikan mas Ibrahim kalau sedang ada
halangan. Pak Teguh yang berkemeja batik itu.” Tunjuk si ibu sebelum pergi.
Anggi mengangguk berterimakasih.
Anak-anak
kecil mulai melafalkan al fatihah. Dengan ragu Anggi mengucapkan salam.
Serentak merekapun menoleh dan menjawab salam.
“Ada
yang bisa saya bantu, neng?” Pak Teguh mempersilahkan Anggi masuk.
“Ah,
saya mencari Ibrahim. Saya temannya..”
“Oh,
Ibrahim sedang pulang kampung. Beberapa hari yang lalu dia kecelakaan dan
dibawa pulang oleh oranng tuanya. Apa dia nggak kasih kabar?”
Sesaat
Anggi tercekat. Kecelakaan? Kenapa ia tidak tahu? Memang beberapa hari terakhir
laki-laki itu susah dihubungi, karenanya ia memutuskan untuk menemuinya langsung.
“Kalau
boleh tahu, separah apa pak? Dan kampungnya dimana?”
Pak
Teguh tertegun. Ia pun tersenyum maklum.
“Kalau
tidak keberatan, temui saya setelah mengajar anak-anak ya.”
Anggi
mengangguk malu. Ia pun pamit dan kembali menunggu dibawah pohon kersen. Dalam hatinya
berdesakkan beribu rasa.
Langit
mulai meredup. Taxi yang membawanya tampak tenang melaju tanpa kemacetan. Anggi
mengeluarkan ponselnya, mencari sebuah alamat dengan aplikasi maps. Wonosobo,
Jawa Tengah.
*
Suara
mixer berdesing tanpa henti. Dua orang wanita sibuk menimbang adonan. Beberapa
menyiapkan kemasan untuk kue-kue yang sudah dingin.
Seorang
wanita bagian pemanggangan menjerit. Lengannya tak sengaja menyenggol loyang
panas.
“Hati-hati,
Tin. Pakai handglovenya yang benar.”
Lani
muncul dari ruang dekorasi tart.
Tangannya masih menggenggam piping bag
berisi butter cream warna merah. Tini
mengusap lengannya yang memerah.
“Nih,
oles dulu dengan salep luka bakar. Parah nggak?” Ran menyodorkan kotak salep
luka bakar.
“Terimakasih,
mbak. Nggak parah kok.”
“Oh
iya, Ran. Kamu bisa bantu buat hiasan mawar nggak? Aku buat dari butter cream hasilnya kurang bagus.”
“Coba
pakai fondant saja, Lan. Ayo, aku
bantu.”
Kedua
wanita itu pun kembali menghias kue tart wedding
setinggi satu meter. Ran tampak lebih sehat setelah operasi. Ia pun memutuskan
untuk resign, dan mengisi kesibukan
dengan membantu Lani di Lani’s Ginger
House. Kebetulan akhir-akhir ini rumah bakery itu sedang ramai pesanan.
“Fuhh..pegal
tanganku.” Lani meletakkan hiasan daun terakhir dari fondant.
“Diminum
dulu kopinya. Sudah nggak ada rasanya tuh.”
Ran
menunjuk meja kecil disudut ruangan. Segelas green tea dan kopi hitam telah
kehilangan aroma karena suhu ruangan yang dingin.
“Nanti
sore setelah pesanan tart ini
diambil, aku mau jogging. Kau mau ikut?”
Ran
menggeleng. “Aku mau merevisi cerita anak edisi minggu lalu. Kemarin belum bisa
terbit karena masih ada bagian kalimat yang terlalu susah dimengerti
anak-anak.”
“Pras
apa kabar?” Ran merebahkan punggungnya di kursi kayu dekat pintu.
Lani
mendecapkan lidah, menikmati pahitnya kopi yang tersisa. “Biasa saja. Kami
lebih seperti teman sekarang. Teman satu atap yang saling menahan kata keluar,
jika sama sekali tak perlu.”
Tidak
tergambar raut kesedihan di wajah bulat wanita itu. Atau mungkin ia yang
terlalu lelah dan bosan dengan rasa
seperti itu, hingga membuangnya jauh-jauh dan lebih memilih menikmati hidup
bersama kue-kue buatannya.
“Seperti
yang kau lihat..” Lani tertawa. Melempar Ran dengan kepingan coklat berbentuk
hati, sisa hiasan yang tak terpakai.
Aku
tak berharap, suatu saat hatimu yang hangat benar-benar beku seperti kepingan
coklat hanya karena suasana dingin dalam rumahmu. Kepingan coklat yang retak.
*
Tidak ada komentar :
Posting Komentar