Rabu, 25 Januari 2017

Rumah Diantara Kabut_bagian 2

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pukul 00:45…
Dia bukan Puteri yang tergesa-gesa karena dentang jam. Kulitnya yang seputih susu, hampir nampak keseluruhan karena selembar kain mini hitam hanya membalut sebagian kecil tubuh rampingnya. Dia berdansa dengan__ah ya, bisa dibilang “pangeran”__berduit__bertubuh gempal__dan muka merah merona dengan aroma alcohol yang kuat. Sepatunya bukan dari kaca, melainkan high heels dari kulit ular phyton. Sang “pangeran” menuntunnya ke sofa. Bibirnya mendesiskkan bisikan liar. Dan jual beli pun berlangsung.
Dia bukan Cinderella…

*
Tinggal di perumahan biasa, tanpa pernah mengenal tetangga sekitar. Pun sebaliknya dengan tetangga khususnya ibu-ibu yang tidak pernah tahu pasti, berapa penghuni rumah itu. Rumah yang selalu menjadi bahan gosipan disaat tukang sayur mangkal di rumah sebelahnya. Meski hampir 6 tahun sejak rumah kosong paling ujung itu berpenghuni, tidak ada habisnya gosip-gosip baru maupun yang telah berbulu bermunculan.

Dan pagi ini, terjadi sesuatu dengan rumah itu. Tercium aroma masakan, seperti nasi goreng. Bukan hal biasa, karena selama ini yang mereka tahu penghuni rumah itu selalu delivery makanan cepat saji.
Pintu rumah bercat hijau itu terbuka. Seorang gadis kecil dengan penuh semangat menghirup udara pagi, seperti anak angsa yang baru berjuang dari cangkang yang keras.

“Nah, Arumi. Hari ini hari pertama kamu sekolah. Ingat pesan tante, pulang sekolah jangan kemana-mana. Mbak akan menjagamu.”

“Baik, tante. Arumi senang sekali.”

“Belajarlah yang rajin, jangan nakal.” Sebuah kecupan mendarat di pipi mungil gadis itu. “Mbak, tolong jaga baik-baik Arumi. Saya sudah pesankan taxi yang selalu antar jemput setiap harinya. Dan tolong, jaga rahasia Arumi.”

“Baik, Bu. Kalau begitu saya berangkat dulu. Ayo, Arumi.”

“Hati-hati, sayang. Jangan jajan sembarangan.”

Sejenak ibu-ibu yang sedang belanja terpesona. Wanita pemilik rumah itu tersenyum sebelum menutup pintu.

“Ya Ampun, kalian lihat kan? Dia memang cantik banget. Sepertinya keturunan Tionghoa. Tapi, anak kecil tadi siapa ya? Masa sih anaknya?”

“Aku rasa bukan. Nggak mirip sama sekali dengan dia.”

“Iya, tapi sepertinya yang tadi itu pembantunya..”

“Mungkin memang anaknya, cuma mirip ayahnya.”

“Sudahlah. Kalian ini mau belanja nggak sih?” Tukang sayur yang sudah kepanasan menggerutu.

Beberapa menit kemudian kerumunan itu pun bubar. Yang rumahnya paling jauh masih sempat menyambung obrolan sebelum berpisah.

“Kapan-kapan aku mau datang ke rumahnya. Dia sepertinya orang baik.”

“Memangnya kamu yakin dia mau membukakan pintu?”

“Ah, coba sajalah. Apa salahnya kan? Toh, kalian juga pasti ingin tahu.”

Dan rapat terbaru hari itu pun selesai.

*
"Apa yang akan kau lakukan dengan anak-anak kita nanti, saat mereka tak mau mendengar nasihatmu?"

"Aku..akan membacakan dongeng."

"Kamu yakin, mereka mau mendengarnya?"

"Tak ada anak-anak yang tidak mau mendengar cerita, kecuali ia telah bisa membuat ceritanya sendiri, dan sadar bahwa dongeng hanyalah nasihat yang unik."

"Kau tahu, apa yang dikatakan jantungku?"

"Tentu saja, Sam.."


Dalam ikatan waktu yang telah lalu, aku meminta. Ajari aku bercerita. Karena aku menjadi bisu saat bulan menatap dengan sayu. Bagaimanakah cara menjinakkan rasa? Kau tahu, aku terjerat amukan cinta. Bagiku kau menghilang begitu saja, padahal aku tahu alasannya. Waktu menang atas segalanya..

Disisi tebing keputusasaan, harapanku menjuntai. Tapi ada seorang wanita dengan keriputnya yang selalu bersinar, menggenggamku dengan racikan tehnya yang sejenak melepaskan jerat hasrat mengerikan. Namun pada tegukan terakhir, aku tenggelam dalam larutan kenangan dan waktu. Aku teracuni. Jantungkku tak kuat lagi. Kamulah yang disebut putik kecil (oleh seekor capung) di taman liar, tolong beri sedikit serbuk sari pengobat rindu. Aku membutuhkannya.

“Tehnya terlalu pahit ya Sam?”

“Oh, haha..nggak, Bu. Memangnya aku terlihat seperti menelan jamu?”

“Kau terlihat seperti menelan racun. Ada apa?”

Ah, Ibu memang selalu tahu. Memperhatikan setiap detail kerutan di wajahku. Dan pada akhirnya, selalu meniupkan kata-kata lembut, diantara kesibukan jemarinya yang menggenggam tasbih galih asam. "Aku merindukan aroma teh melati yang ku teguk saat daun pohon petai cina berguguran. Aroma yang sama dengan tubuhnya yg mungil namun sekuat akar beringin. Mistik yang mengikat pesona rindu.."

“Bagaimana dengan rencanamu di kapal pesiar itu? Bukankah kau sudah nyaman dengan pekerjaanmu sekarang?”

“Manager perusahaan itu tadi pagi  mengirimkan email. Katanya akhir tahun ini aku bisa tanda tangan kontrak kerja.”

“Syukurlah, kalau itu pilihan terbaikmu. Kau tak perlu khawatir soal Eja. Ibu pasti menjaganya.”


Desiran angin membawa aroma bunga melati, membaur dengan serpihan cahaya senja. Menerbangkan serbuk-serbuk sari benalu. Calon tumbuhan yang tanpa malu menghisap nadi kehidupan, perlahan dan mematikan tanpa racun. Namun, benalu perasa dengan canggung mengakui bahwa garis takdir yang kokoh itu tidak bisa dipatahkan. Dengan ratapan apapun.

*

Tidak ada komentar :

Posting Komentar