Sabtu, 14 Januari 2017

Rumah Diantara Kabut__bagian 1

Akulah yang melebur senja menjadi cerita..
Menggurat malam dengan segenggam asa..
Tetaplah disana, biarkan aku membalut diri dengan duri.
Tak akan terasa sakit, karena jantungku masih tetap beku..
Lalu, jika aku tiba-tiba terlelap hanya karena sepucuk jarum mantra atau apel terkutuk..
Bangunkan aku disaat matahari menepi,
Luluhkan kutukan itu dengan sepercik pendar rindu,
Bintang Malam..

***
"Jadi, kapan Eja bisa bertemu Tinkerbell, Papa?"

"Kau sungguh ingin bertemu dengannya?"

Anak lelaki kecil itu mengangguk penuh semangat. Ditangan kirinya tergenggam sebuah buku dongeng bersampul gambar peri yang menggenggam cermin ajaib bersama seekor kunang-kunang. Sam menghela nafas tanpa bisa menyembunyikan senyum kecilnya. 

"Tunggu ya, Eja. Saat ini Tink sedang bersembunyi. Nanti kalau sudah saatnya, kau pasti bisa bertemu dengannya."

"Apa Tinkerbell benar-benar bisa terbang? Dimana rumahnya? Coba lihat, Papa. Di buku ini, dia bisa membuat perahu hebat!"

"Haha..sudahlah, Eja. Ini sudah malam. Ayo tidur. Jangan lupa berdoa untuk Mama." Eja mengangguk meski berat. Disimpannya buku dongeng kesukaannya itu dibawah bantal. "Selamat malam, Papa.."

Sam merapikan selimut anak kecil periang itu yang mulai terlelap. Beberapa hari lalu, sepulang dari makam ia  membelikan buku dongeng yang ternyata sangat disukai Eja, meski ia belum bisa membaca sepenuhnya. Mungkin sebuah kesalahan, ketika cerita telah usai ia bergumam kepada senja tentang kerinduannya dengan peri kecil. Dan kini Eja percaya Tinkerbell itu ada.

Dibawah langit yang baru saja bergejolak, wanita muda itu berjalan sempoyongan. Mobil yang menurunkannya ditengah jalan, telah melesat. Satu-satunya bintang malam enggan berbagi cahaya. Wanita itu terperosok, hak sepatunya patah. Sepasang lengan telah menangkapnya terlebih dulu, sebelum ia benar-benar jatuh, Namun si wanita telah pingsan.

*

Aku pernah berjanji, tak akan menangis ketika hujan datang. Karena aku tak ingin terlihat seperti pecundang, yang diam-diam tanpa sadar menunjukkan air matanya kepada dunia, dalam tangisan diantara hujan. Apalagi berharap sebuah payung menghampiri bersama orang yang pura-pura peduli. Tapi aku selalu tidak bisa menghentikan kebiasaan jantungku yang terhenti sesaat, ketika memori tentangnya tersingkap dengan sangat memalukan__bukan sebab angin, melainkan keinginan hati. Aku....

"Ran..sayang. Aku pulang."

Segumpal kabut membawa pergi sebagian ingatanku.

"I..iya mas. Tunggu sebentar."

Dan dibalik pintupun, ada kabut lain yang membawa seorang wanita setengah telanjang..
Itu beberapa menit yang lalu. Secangkir kopi telah kehilangan aroma dan kehangatannya. Namun Doni tetap meminumnya juga.

"Jadi, Mas menemukannya ketika jalan pulang? Apa mas tidak takut disangka yang bukan-bukan?"

"Aku lebih takut kalau dia meninggal tanpa ada yang menolong. Bagaimanapun dia wanita. Dan Aku hanya melakukan kewajiban manusia untuk menolong. Maaf, Ran."

Sudut mata Ran melirik wanita setengah telanjang yang telah ia selimuti. Tak ada perasaan ganjil dalam hatinya. Hanya khawatir kondisi wanita itu memburuk.

"Baiklah, mas mandi dulu saja lalu istirahat. Biar aku yang mengurus wanita itu. Makan malam sudah aku siapkan." Doni mencium kening istrinya. "Thanks, darling.."

Ran pun sibuk mencarikan baju untuk si wanita yang belum juga siuman. Beberapa saat kemudian, ia mendengar suara batuk dari arah sofa.

"Ah, kau sudah sadar." Ran membantu wanita itu bangun. "Tubuhnya kecil, namun berat juga.."

"Dimana aku?"

"Tenanglah, kau di rumahku, Suamiku menemukanmu di jalan. Oh iya, siapa namamu?"
Hening. Wanita itu memegangi kepalanya. Ran memberikan segelas air putih.


"Farah. Aku Farah.."

3 komentar :