Akulah yang melebur senja menjadi cerita..
Menggurat malam dengan segenggam asa..
Tetaplah disana, biarkan aku membalut diri dengan duri.
Tak akan terasa sakit, karena jantungku masih tetap beku..
Lalu, jika aku tiba-tiba terlelap hanya karena sepucuk jarum mantra atau apel terkutuk..
Bangunkan aku disaat matahari menepi,
Luluhkan kutukan itu dengan sepercik pendar rindu,
Bintang Malam..
***
"Jadi,
kapan Eja bisa bertemu Tinkerbell, Papa?"
"Kau
sungguh ingin bertemu dengannya?"
Anak lelaki
kecil itu mengangguk penuh semangat. Ditangan kirinya tergenggam sebuah buku
dongeng bersampul gambar peri yang menggenggam cermin ajaib bersama seekor
kunang-kunang. Sam menghela nafas tanpa bisa menyembunyikan senyum
kecilnya.
"Tunggu ya,
Eja. Saat ini Tink sedang
bersembunyi. Nanti kalau sudah saatnya, kau pasti bisa bertemu dengannya."
"Apa Tinkerbell benar-benar bisa
terbang? Dimana rumahnya? Coba lihat, Papa. Di buku ini, dia bisa membuat
perahu hebat!"
"Haha..sudahlah,
Eja. Ini sudah malam. Ayo tidur. Jangan lupa berdoa untuk Mama." Eja
mengangguk meski berat. Disimpannya buku dongeng kesukaannya itu dibawah
bantal. "Selamat malam,
Papa.."
Sam merapikan
selimut anak kecil periang itu yang mulai terlelap. Beberapa hari lalu,
sepulang dari makam ia membelikan buku
dongeng yang ternyata sangat disukai Eja, meski ia belum bisa membaca
sepenuhnya. Mungkin sebuah kesalahan, ketika cerita telah usai ia bergumam kepada
senja tentang kerinduannya dengan peri kecil. Dan kini Eja percaya Tinkerbell
itu ada.
Dibawah langit yang baru saja bergejolak,
wanita muda itu berjalan sempoyongan. Mobil yang menurunkannya ditengah jalan,
telah melesat. Satu-satunya bintang malam enggan berbagi cahaya. Wanita itu
terperosok, hak sepatunya patah. Sepasang lengan telah menangkapnya terlebih
dulu, sebelum ia benar-benar jatuh, Namun si wanita telah pingsan.
*
Aku pernah berjanji, tak akan menangis ketika hujan datang.
Karena aku tak ingin terlihat seperti pecundang, yang diam-diam tanpa sadar
menunjukkan air matanya kepada dunia, dalam tangisan diantara hujan. Apalagi
berharap sebuah payung menghampiri bersama orang yang pura-pura
peduli. Tapi aku selalu tidak bisa menghentikan kebiasaan jantungku yang
terhenti sesaat, ketika memori tentangnya tersingkap dengan sangat memalukan__bukan
sebab angin, melainkan keinginan hati. Aku....
"Ran..sayang. Aku pulang."
Segumpal kabut membawa pergi sebagian ingatanku.
"I..iya mas. Tunggu sebentar."
Dan dibalik pintupun, ada kabut lain yang membawa seorang
wanita setengah telanjang..
Itu beberapa menit yang lalu. Secangkir kopi telah
kehilangan aroma dan kehangatannya. Namun Doni tetap meminumnya juga.
"Jadi, Mas menemukannya ketika jalan pulang? Apa mas
tidak takut disangka yang bukan-bukan?"
"Aku lebih takut kalau dia meninggal tanpa ada yang
menolong. Bagaimanapun dia wanita. Dan Aku hanya melakukan kewajiban manusia
untuk menolong. Maaf, Ran."
Sudut mata Ran melirik wanita setengah telanjang yang telah
ia selimuti. Tak ada perasaan ganjil dalam hatinya. Hanya khawatir kondisi
wanita itu memburuk.
"Baiklah, mas mandi dulu saja lalu istirahat. Biar aku
yang mengurus wanita itu. Makan malam sudah aku siapkan." Doni mencium
kening istrinya. "Thanks, darling.."
Ran pun sibuk mencarikan baju untuk si wanita yang belum
juga siuman. Beberapa saat kemudian, ia mendengar suara batuk dari arah sofa.
"Ah, kau sudah sadar." Ran membantu wanita itu
bangun. "Tubuhnya kecil,
namun berat juga.."
"Dimana aku?"
"Tenanglah, kau di rumahku, Suamiku menemukanmu di
jalan. Oh iya, siapa namamu?"
Hening. Wanita itu memegangi kepalanya. Ran memberikan
segelas air putih.
"Farah. Aku Farah.."
Mana lanjutannya
BalasHapusBelum..lagi proses.
HapusHaha
hokya hokya
Hapus