Kamis, 19 Januari 2017

Rumah Diantara Kabut_bagian 1

Lihatlah, peri kecil. Aku berdiri di kapal ini. Meski bukan nahkoda seperti dalam kisahmu saat membuat perahu kertas. Anehnya, aku berkeyakinan bahwa kau hanya sembunyi, mungkin diantara buih ombak itu, atau diujung pasir yang menunggu ombak menyapu. Ah, aku terlalu bodoh untuk bisa membedakan harapan dan keyakinan. Tapi peri kecil, aku yakin suatu saat kau akan benar-benar muncul disaat aku tak kenal lagi siapa diriku..

Sebuah perahu kertas melayang dari atas dek, terbawa angin beberapa saat sebelum akhirnya menjadi titik tak telihat dilautan. Sam kembali ke kabin untuk bersiap-siap. Tiga puluh menit lagi ia harus sampai di bar.

“Saya pikir, kamu sudah masuk kerja Sam. Kamu tidak membangunkan saya.” Seorang pemuda berkebangsaan Amerika menegurnya.

“Maaf, Burns. Kau terlihat sangat lelah. Aku pikir pukul 07.40, aku baru akan membangunkanmu.”

Well, tidak masalah. Saya memang sangat lelah, dan keputusan untuk cuti akhir bulan ini sepertinya akan benar-benar tepat.” Burns memicingkan matanya yang gelap. Kulitnya mengkilat dalam bayangan matahari yang menembus celah jendela.

Sam tersenyum. Semua kru yang ia kenal, banyak yang mengeluh. Bekerja di kapal pesiar tak sekeren yang dibayangkan, kecuali untuk manusia berhati karang, bertulang baja.  Sam pun tak sekuat itu. Ia baru menjalani  tiga dari delapan bulan yang harus dilalui.


Come on, James Burns.”

*

Hawa panas senada dengan bisingnya berbagai peralatan, dan bau bermacam-macam masakan, membuat kepala ingin meledak. Salah satu blower baru saja tak berfungsi, setelah beberapa hari sebelumnya tersambar api dan nyaris kebakaran.

Ran masih sibuk dengan lima jenis masakan Chinese. Setelah itu ia telah janji ingin menyiram kepalanya dengan air es.

“Fuhh, akhirnya. Sungguh, kalau besok belum ada pembetulan blowernya, aku mau off.”

Lani tertawa. Tubuhnya yang tinggi besar, sedikit melindungi tubuh Ran yang mungil dari panasnya kompor.

“Aku kira setelah menikah kau mau resign.”

Ran tidak mendengarnya, karena sibuk dengan air es.

“Ah, kau sungguh menyiram kepalamu. Aku rasa bukan blowernya yang benar-benar membuat kepalamu panas. Mungkin kau sedang ada masalah.” Celetuk Lani.

“Ran, makan dulu saja. Biar Joko yang menggantikanmu.” Tegur Pak Hans.

“Baik, Pak.”

Di ruang makan karyawan, Ran hanya memandangi sepiring nasi dengan sepotong ayam goreng mentega. Butiran nasi yang perlahan menjadi pecahan kenangan. Memacu jantungnya agar tetap tersadar. Tapi keheningan menguatkan lamunan.

“Aku tidak suka ayam. Aku tidak mau makan.”

“Apa? Hey, kau pikir kenapa Upin dan Ipin suka ayam goreng? Yah, karena ayam membuat mereka tidak tumbuh besar dan cepat tua. Haha..Jadi, makanlah agar kau awet muda dan aku bisa menunggumu sampai kapanpun seandainya aku dikutuk menjadi kucing seperti dalam kisah Sangkuriang.”

“Hey, yang benar anjing..”


Lalu sesuap nasi dan ayam berhasil Ran telan. Laki-laki itu dengan sabar menyuapinya seperti seorang ibu. Dan Ran tidak peduli dengan tatapan beberpa orang di meja sebelahnya.

*

Tidak ada komentar :

Posting Komentar