Kamis, 06 Juli 2017

Rumah Diantara Kabut_bagian 3

Hanya butuh tiga jam untuk sampai di rumah ibu, dengan bus malam. Itu sebabnya seminggu sekali Doni menyempatkan diri untuk menjenguk atau menginap. Sepeninggal ayah dua tahun yang lalu, rumah berpekarangan luas itu di kontrakkan sebagian.

“Ibu butuh uang untuk memperbaiki kamar mandi. Kemarin ada cacing yang menggeliat dari sela-sela keramik yg rusak. Ibu geli..”

Doni tertawa. Wanita yang baru terbangun tengah malam karena kedatangan mereka itu terlihat kesal. Doni sangat tahu ibunya paling jijik dengan hewan menggeliat itu.

“Baiklah, besok Doni bereskan. Apa lagi yang ibu butuhkan?”

Ibu menyebutkan beberapa hal tentang rumah dan kebutuhannya. Ran yang sedang membereskan kamar pura-pura tidak mendengar angka nominal terakhir yang disebutkan.

“Ya sudah, ibu tidur lagi saja sekarang. Doni juga mau istirahat.”

“Browniesnya enak. Beli dimana?”

Doni mengamati kotak pembungkus kue itu. “Oh, Ran yang beli di toko teman kerjanya. Tadi pagi dia bilang mau mengambil pesanan.”

Ibu termenung, Doni yang sudah berdiri kembali duduk. “Kenapa? Ada yang ibu pikirkan?”

“Kemarin malam ibu mimpi bertemu Ratna. Dia juga suka kue ini kan?”

Ran muncul. Ditangannya tergenggam sebuah tasbih kayu berwarna coklat.

“Ah, ibu. Ini kayu stigi bukan? Aku menemukannya diatas almari.”

“Iya, itu sisa tasbih yang dibuat ayahnya Doni. Kalau mau, ambillah.”

“Benarkah? Terimakasih, Bu.” Ran kembali ke kamar menyimpan tasbih itu.

“Bu, tolong jangan membahas soal Ratna didepan Ran. Doni sudah mengikhlaskannya.”

Doni menyusul Ran ke kamar. Ia mengira akan menemukan istrinya sedang menangis mendengar pembicaraan ibu, tapi wanita itu sudah tidur nyenyak dengan tasbih yang tergenggam di tangan mungilnya. “Maafkan ibu, Ran.” Bisiknya.

Kamarnya sudah lebih rapi setelah Ran bereskan. Doni mengambil jaket ayahnya dan meraih saku yang tersembunyi. Selembar foto kecil terselip didalamnya.

“Ratna, maafkan aku..”
*
Teriakan ibu mengejutkan Ran yang sedang mengupas papaya muda untuk sayur. Mata pisau yang tajam menggores ujung telunjuknya. Doni berlari kearah kamar mandi, dan mendapati ibu di sudut dekat bak mandi dengan wajah pucat.

“Ular..” Desis ibu.

Seekor ular sawah meringkuk didalam ember. Ukurannya tidak terlalu besar, tapi membuat ibu ketakutan setengah mati.

Doni mengambil karung, dan perlahan memasukkan ember berisi ular itu.

“Kau lihat lubang di dinding itu? Pasti ular itu masuk lewat situ.” Gerutu ibu setelah beberapa saat hilang kagetnya.

“Ya..nanti Doni segera perbaiki.”

“Sekarang. Atau menunggu ular yang lebih besar lagi masuk dan menelan ibu?”

Doni tersenyum. Ibu memang suka belebihan. “Baiklah. Doni mencari orang sekarang.” Wanita itu terlihat lega.
Siangnya, dua orang tukang datang. Ibu menunjukkan mana saja yang perlu perbaikan.

“Mas, maaf tapi aku harus ke Jakarta sore ini. Lani menelepon katannya ada acara mendadak di resto, jadi besok aku masuk kerja.”

“Ya sudah. Kamu berani sendiri kan? Aku harus menemani ibu dulu sampai semua selesai.” Ran mengangguk.

“Istrimu nggak pernah betah ya, di rumah ibu.”
Ran terkejut. Ibu muncul tiba-tiba, dan mungkin mendengar pembicaraan mereka.

“Ah ibu, maaf. Bukan begitu, tapi aku..”

“Iya, Bu. Ran memang kemarin hanya ijin dua hari, karena di kerjaannya sedang banyak acara.” Doni menimpali.

“Kalau kalian hanya memikirkan soal kerjaan, kapan kalian akan punya anak?” Suara ibu terdengar ketus. Ran terdiam. Ia tahu pada akhirnya ibu akan menanyakan hal ini.

“Ibu tenang saja, pasti tidak lama lagi, kan sayang?” Doni menggenggam tangan Ran.

“Iya..” Ran tercekat. Ia tidak tahu bagaimana kalau ibu tahu yang sebenarnya.


Mendung menggantung bersama dengan angin yang membawa rinai hujan. Ran merasa sedikit lebih aman, saat berada di dalam bus. Perlahan hujan mulai datang, diiringi gemuruh yang menyatu dengan pekatnya senja di Bandung.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar