Hanya butuh tiga jam
untuk sampai di rumah ibu, dengan bus malam. Itu sebabnya seminggu sekali Doni
menyempatkan diri untuk menjenguk atau menginap. Sepeninggal ayah dua tahun
yang lalu, rumah berpekarangan luas itu di kontrakkan sebagian.
“Ibu butuh uang untuk
memperbaiki kamar mandi. Kemarin ada cacing yang menggeliat dari sela-sela
keramik yg rusak. Ibu geli..”
Doni tertawa. Wanita
yang baru terbangun tengah malam karena kedatangan mereka itu terlihat kesal.
Doni sangat tahu ibunya paling jijik dengan hewan menggeliat itu.
“Baiklah, besok Doni
bereskan. Apa lagi yang ibu butuhkan?”
Ibu menyebutkan
beberapa hal tentang rumah dan kebutuhannya. Ran yang sedang membereskan kamar
pura-pura tidak mendengar angka nominal terakhir yang disebutkan.
“Ya sudah, ibu tidur
lagi saja sekarang. Doni juga mau istirahat.”
“Browniesnya enak. Beli
dimana?”
Doni mengamati kotak
pembungkus kue itu. “Oh, Ran yang beli di toko teman kerjanya. Tadi pagi dia
bilang mau mengambil pesanan.”
Ibu termenung, Doni
yang sudah berdiri kembali duduk. “Kenapa? Ada yang ibu pikirkan?”
“Kemarin malam ibu
mimpi bertemu Ratna. Dia juga suka kue ini kan?”
Ran muncul. Ditangannya
tergenggam sebuah tasbih kayu berwarna coklat.
“Ah, ibu. Ini kayu
stigi bukan? Aku menemukannya diatas almari.”
“Iya, itu sisa tasbih
yang dibuat ayahnya Doni. Kalau mau, ambillah.”
“Benarkah? Terimakasih,
Bu.” Ran kembali ke kamar menyimpan tasbih itu.
“Bu, tolong jangan
membahas soal Ratna didepan Ran. Doni sudah mengikhlaskannya.”
Doni menyusul Ran ke
kamar. Ia mengira akan menemukan istrinya sedang menangis mendengar pembicaraan
ibu, tapi wanita itu sudah tidur nyenyak dengan tasbih yang tergenggam di
tangan mungilnya. “Maafkan ibu, Ran.” Bisiknya.
Kamarnya sudah lebih
rapi setelah Ran bereskan. Doni mengambil jaket ayahnya dan meraih saku yang
tersembunyi. Selembar foto kecil terselip didalamnya.
“Ratna, maafkan aku..”
*
Teriakan ibu
mengejutkan Ran yang sedang mengupas papaya muda untuk sayur. Mata pisau yang
tajam menggores ujung telunjuknya. Doni berlari kearah kamar mandi, dan
mendapati ibu di sudut dekat bak mandi dengan wajah pucat.
“Ular..” Desis ibu.
Seekor ular sawah
meringkuk didalam ember. Ukurannya tidak terlalu besar, tapi membuat ibu
ketakutan setengah mati.
Doni mengambil karung,
dan perlahan memasukkan ember berisi ular itu.
“Kau lihat lubang di
dinding itu? Pasti ular itu masuk lewat situ.” Gerutu ibu setelah beberapa saat
hilang kagetnya.
“Ya..nanti Doni segera
perbaiki.”
“Sekarang. Atau
menunggu ular yang lebih besar lagi masuk dan menelan ibu?”
Doni tersenyum. Ibu memang
suka belebihan. “Baiklah. Doni mencari orang sekarang.” Wanita itu terlihat
lega.
Siangnya, dua orang
tukang datang. Ibu menunjukkan mana saja yang perlu perbaikan.
“Mas, maaf tapi aku
harus ke Jakarta sore ini. Lani menelepon katannya ada acara mendadak di resto,
jadi besok aku masuk kerja.”
“Ya sudah. Kamu berani
sendiri kan? Aku harus menemani ibu dulu sampai semua selesai.” Ran mengangguk.
“Istrimu nggak pernah
betah ya, di rumah ibu.”
Ran terkejut. Ibu
muncul tiba-tiba, dan mungkin mendengar pembicaraan mereka.
“Ah ibu, maaf. Bukan
begitu, tapi aku..”
“Iya, Bu. Ran memang
kemarin hanya ijin dua hari, karena di kerjaannya sedang banyak acara.” Doni
menimpali.
“Kalau kalian hanya
memikirkan soal kerjaan, kapan kalian akan punya anak?” Suara ibu terdengar
ketus. Ran terdiam. Ia tahu pada akhirnya ibu akan menanyakan hal ini.
“Ibu tenang saja, pasti
tidak lama lagi, kan sayang?” Doni menggenggam tangan Ran.
“Iya..” Ran tercekat.
Ia tidak tahu bagaimana kalau ibu tahu yang sebenarnya.
Mendung menggantung
bersama dengan angin yang membawa rinai hujan. Ran merasa sedikit lebih aman,
saat berada di dalam bus. Perlahan hujan mulai datang, diiringi gemuruh yang
menyatu dengan pekatnya senja di Bandung.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar