Lani mengamati Ran yang
berjalan sedikit tertatih dari pintu masuk mall. Tubuhnya yang mungil selalu
tergesa saat berjalan, bahkan terkadang terlihat seperti melompat-lompat ketika
harus melewati sisi jalan yang berlubang.
“Sepertinya aku harus mencarikanmu
banyak baju dan kerudung dengan pilihan warna lain, nanti.” Dengus wanita
berkaos merah itu. Ran sibuk menyeka wajahnya yang kemerahan dengan tisu basah.
“Panas sekali..” Ran
seolah tak mendengar sahabatnya yang selalu menggerutu saat mereka belanja baju
bersama.
“Tahu nggak sih! Kamu
dengan kerudung, long dress, dan
rompi hijau itu..jadi mirip Tinkerbell.”
“Masa sih..haha. Lucu
ya?”
Ran tertawa sambil
mengimbangi langkah Lani. Di depan toko kacamata, ia melengos sejenak kearah
kaca setengah cermin dan melihat penampilannya dalam gemerlap lampu mall.
Hidungnya yang kecil dan runcing serta mata bulatnya memang membuat orang
selalu mengira ia masih belasan tahun, bahkan tak menyangka kalau sudah
menikah.
Lani menghentikan
langkah disebuah toko jaket yang tak berpengunjung. Ia meraih beberapa jaket
jenis parka berwarna hitam.
“Aku mau membeli jaket couple dengan Pras. Bagaimana menurutmu?”
Ran mengangguk setuju.
Ia bersyukur karena mereka kembali akur.
“Ah, lebih bagus warna
ini..” Ran menunjuk warna merah maroon. Tapi ternyata tidak ada ukuran yang pas
untuk Lani.
Toko sempit yang tadi
tak berpengunjung mulai didatangi beberapa pemuda, disusul sepasang kekasih__sepertinya,
lalu seorang wanita pribumi bergaya bule,
lengkap dengan rambut cat pirangnya dan celana diatas paha. Lani menarik tangan
Ran karena merasa toko semakin sesak dan ia tak leluasa untuk memilih.
Merekapun singgah di
toko jaket yang hampir sama, hanya kebanyakan jaket kulit. Sepi tak
berpengunjung, namun beberapa menit kemudian mulai ramai sebelum Lani sempat
menemukan yang ia cari. Lagi-lagi mereka keluar karena merasa sesak tanpa
hasil.
Sudah empat toko mereka
jelajahi, dan belum menenteng apapun. Lani menyantap es krim sambil
memperhatikan sekeliling. Bahkan kursi di counter
makanan yang mereka singgahi perlahan penuh dengan orang, padahal sebelah
masih sepi.
“Kenapa orang-orang itu
seperti mengikuti kita sih.” Gerutu Lani disela suapan es krim terakhirnya.
“Memangnya kenapa? Aku
sudah biasa tuh sama mas Doni.”
Lani mengerutkan dahi. “Maksudmu,
kamu biasa mendatangi toko yang sepi, lalu tiba-tiba toko itu menjadi ramai
karena kedatanganmu?”
“Bisa dibilang seperti
itu.” Ran sedikit acuh dan lebih menghiraukan ayam goreng yang ia pesan bersama
segelas cola.
“Pantas saja, restoran
tak seramai kalau kamu masuk..” Gumam Lani setengah tak percaya.
“Jangan berlebihan.
Mungkin hanya kebetulan.” Sahut Ran.
Lani menghela nafas
dalam-dalam. Ran terkadang memang terkesan pendiam dan tak berdaya dengan tubuh mungilnya. Tapi siapa sangka, ia
koki diatasnya? Bahkan sekarang di matanya, ia seolah memiliki daya tarik
tersendiri.
Mereka kembali
menjelajahi lima lantai dari mall di pusat ibu kota itu. Lani mendapatkan
sepasang jaket kulit meski harus berdesak-desakan. Ran membeli sepatu wedges namun harus pasrah saat ukuran
terkecil hanya 36, yang bagi kakinya masih terlalu besar.
Beberapa kaos juga Ran
beli untuk Doni. Ia ingat pertama kali mereka membeli baju berdua, ukuran baju
Doni M. Tapi sekarang dengan ukuran itu, terlalu sesak. Setelah menikah, Doni
jauh dari laki-laki kurus pucat yang Ran temukan di jembatan layang 3 tahun
yang lalu. Laki-laki yang ia perhatikan dari sisi lain jembatan__telah
kehilangan separuh dari akal sehat yang ikut terkubur bersama jasad
tunangannya. Mungkin terburai bersama darah yang merembes dari kain kafan, lalu
hilang terbenam. Dan sisa dari akal sehat itu akan ia tikam dari atas jembatan
layang.
Ran hanya memperhatikan,
masih dari sisi lain jembatan.
Laki-laki berkemeja
kusut itu mulai menjejakkan kaki di pembatas jalan. Retinanya yang redup
menuruni batas ketinggian jembatan layang sepi dan menghanyutkan. Mendung
menggantung, namun tak ada rinai. Hawa yang pengap membungkus angin agar tak
melenakan. Tiba-tiba kilat menyambar. Tak ada bangunan yang melebihi tinggi
laki-laki itu di atas jembatan, jadilah ia terkapar tersambar petir yang
mengejutkan.
Sesaat Ran hanya
bergeming. Tapi kaki kecilnya melesat kearah laki-laki yang tersambar petir
itu. Nadinya masih berdenyut, meski beberapa bagian tubuhnya terbakar. Beberapa
saat kemudian tempat itu ramai, dan ambulans pun datang.
“Kamu harus ganti
dengan warna ini.” Lani membuyarkan lamunan, dan menyodorkan sehelai kerudung
warna biru laut.
“Atau ini juga manis.”
Warna coklat muda yang lembut memang cocok dengan bentuk wajah Ran yang berdagu
runcing.
“Bolehlah. Aku ambil
dua-dunya.”
Lani tersenyum puas.
Merekapun beralih ke pusat buah dan sayur. Ran mengambil tiga macam paprika, dan bawang Bombay. Lalu daging
asap, keju, dan jamur.
“Kamu mau buat pizza?”
“Yap. Buat ibu, katanya
senin akan datang, mas Doni juga suka sekali.”
Senyum Lani seolah
mengatakan, “Semoga berhasil..” dan Ran paham.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar