Sabtu, 08 Juli 2017

Rumah Diantara Kabut_bagian 4

Lani mengamati Ran yang berjalan sedikit tertatih dari pintu masuk mall. Tubuhnya yang mungil selalu tergesa saat berjalan, bahkan terkadang terlihat seperti melompat-lompat ketika harus melewati sisi jalan yang berlubang.

“Sepertinya aku harus mencarikanmu banyak baju dan kerudung dengan pilihan warna lain, nanti.” Dengus wanita berkaos merah itu. Ran sibuk menyeka wajahnya yang kemerahan dengan tisu basah.

“Panas sekali..” Ran seolah tak mendengar sahabatnya yang selalu menggerutu saat mereka belanja baju bersama.

“Tahu nggak sih! Kamu dengan kerudung, long dress, dan rompi hijau itu..jadi mirip Tinkerbell.”

“Masa sih..haha. Lucu ya?”
Ran tertawa sambil mengimbangi langkah Lani. Di depan toko kacamata, ia melengos sejenak kearah kaca setengah cermin dan melihat penampilannya dalam gemerlap lampu mall. Hidungnya yang kecil dan runcing serta mata bulatnya memang membuat orang selalu mengira ia masih belasan tahun, bahkan tak menyangka kalau sudah menikah.

Lani menghentikan langkah disebuah toko jaket yang tak berpengunjung. Ia meraih beberapa jaket jenis parka berwarna hitam.

“Aku mau membeli jaket couple dengan Pras. Bagaimana menurutmu?”

Ran mengangguk setuju. Ia bersyukur karena mereka kembali akur.

“Ah, lebih bagus warna ini..” Ran menunjuk warna merah maroon. Tapi ternyata tidak ada ukuran yang pas untuk Lani.

Toko sempit yang tadi tak berpengunjung mulai didatangi beberapa pemuda, disusul sepasang kekasih__sepertinya, lalu seorang wanita pribumi bergaya bule, lengkap dengan rambut cat pirangnya dan celana diatas paha. Lani menarik tangan Ran karena merasa toko semakin sesak dan ia tak leluasa untuk memilih.

Merekapun singgah di toko jaket yang hampir sama, hanya kebanyakan jaket kulit. Sepi tak berpengunjung, namun beberapa menit kemudian mulai ramai sebelum Lani sempat menemukan yang ia cari. Lagi-lagi mereka keluar karena merasa sesak tanpa hasil.

Sudah empat toko mereka jelajahi, dan belum menenteng apapun. Lani menyantap es krim sambil memperhatikan sekeliling. Bahkan kursi di counter makanan yang mereka singgahi perlahan penuh dengan orang, padahal sebelah masih sepi.

“Kenapa orang-orang itu seperti mengikuti kita sih.” Gerutu Lani disela suapan es krim terakhirnya.

“Memangnya kenapa? Aku sudah biasa tuh sama mas Doni.”

Lani mengerutkan dahi. “Maksudmu, kamu biasa mendatangi toko yang sepi, lalu tiba-tiba toko itu menjadi ramai karena kedatanganmu?”

“Bisa dibilang seperti itu.” Ran sedikit acuh dan lebih menghiraukan ayam goreng yang ia pesan bersama segelas cola.

“Pantas saja, restoran tak seramai kalau kamu masuk..” Gumam Lani setengah tak percaya.

“Jangan berlebihan. Mungkin hanya kebetulan.” Sahut Ran.

Lani menghela nafas dalam-dalam. Ran terkadang memang terkesan pendiam dan tak berdaya  dengan tubuh mungilnya. Tapi siapa sangka, ia koki diatasnya? Bahkan sekarang di matanya, ia seolah memiliki daya tarik tersendiri.

Mereka kembali menjelajahi lima lantai dari mall di pusat ibu kota itu. Lani mendapatkan sepasang jaket kulit meski harus berdesak-desakan. Ran membeli sepatu wedges namun harus pasrah saat ukuran terkecil hanya 36, yang bagi kakinya masih terlalu besar.

Beberapa kaos juga Ran beli untuk Doni. Ia ingat pertama kali mereka membeli baju berdua, ukuran baju Doni M. Tapi sekarang dengan ukuran itu, terlalu sesak. Setelah menikah, Doni jauh dari laki-laki kurus pucat yang Ran temukan di jembatan layang 3 tahun yang lalu. Laki-laki yang ia perhatikan dari sisi lain jembatan__telah kehilangan separuh dari akal sehat yang ikut terkubur bersama jasad tunangannya. Mungkin terburai bersama darah yang merembes dari kain kafan, lalu hilang terbenam. Dan sisa dari akal sehat itu akan ia tikam dari atas jembatan layang.

Ran hanya memperhatikan, masih dari sisi lain jembatan.
Laki-laki berkemeja kusut itu mulai menjejakkan kaki di pembatas jalan. Retinanya yang redup menuruni batas ketinggian jembatan layang sepi dan menghanyutkan. Mendung menggantung, namun tak ada rinai. Hawa yang pengap membungkus angin agar tak melenakan. Tiba-tiba kilat menyambar. Tak ada bangunan yang melebihi tinggi laki-laki itu di atas jembatan, jadilah ia terkapar tersambar petir yang mengejutkan.

Sesaat Ran hanya bergeming. Tapi kaki kecilnya melesat kearah laki-laki yang tersambar petir itu. Nadinya masih berdenyut, meski beberapa bagian tubuhnya terbakar. Beberapa saat kemudian tempat itu ramai, dan ambulans pun datang.

“Kamu harus ganti dengan warna ini.” Lani membuyarkan lamunan, dan menyodorkan sehelai kerudung warna biru laut.

“Atau ini juga manis.” Warna coklat muda yang lembut memang cocok dengan bentuk wajah Ran yang berdagu runcing.

“Bolehlah. Aku ambil dua-dunya.”

Lani tersenyum puas. Merekapun beralih ke pusat buah dan sayur. Ran mengambil tiga macam paprika, dan bawang Bombay. Lalu daging asap, keju, dan jamur.

“Kamu mau buat pizza?”

“Yap. Buat ibu, katanya senin akan datang, mas Doni juga suka sekali.”

Senyum Lani seolah mengatakan, “Semoga berhasil..” dan Ran paham.


Tidak ada komentar :

Posting Komentar