Senin, 10 Juli 2017

Rumah Diantara Kabut_bagian 4

Hujan mengguyur saat Ran membuka pintu. Lani langsung pulang setelah mengantarnya, karena banyak cucian yang belum diangkat dari jemuran. Ran yakin wanita itu telah kuyup bersama motor matic merahnya.

Angin menampar-nampar daun jendela yang kurang rapat, menyibakkan tirai merah jambu dan meninggalkan titik-titik air di permukaaan kaca. Baru menjelang ashar, tapi langit tak peduli waktu. Ran menyalakan lampu, tapi ternyata  terjadi pemadaman listrik.

Doni mengirim pesan, ia kemungkinan pulang telat karena hujan pun mengguyur lebih lebat di daerah tempat kerjanya.

Kilat menyambar dua kali, menerangi ruang tamu kecilnya. Seperti radio usang, guntur mengerang lambat-lambat lalu makin keras. Sesekali sangat keras dan tiba-tiba tanpa disertai kilat, mulut Ran hanya komat-kamit membaca ayat-ayat suci. Ia menyesal kenapa Lani tadi tidak mampir saja dan membiarkan jemurannya disapu hujan. Toh, iapun pasti sudah kehujanan.

Tenggorokannya sangat kering, namun ia enggan ke dapur mengambil air minum. Kakinya malah melangkah ke jendela, menyeka titik-titik air dengan jari, mengukir namanya sendiri. Memorinya kembali terlepas, menghambur bersama butiran hujan yang sedingin es. Ia pernah berdiri disana, diantara kawanan hujan yang  mempermainkan gejolak hatinya. Maskara yang luntur, lipstick merah bata yang berganti abu-abu, lalu seseorang menyeka matanya. Memastikan ia tidak menangis. Tidak. Ia berjanji tak akan menangis ditengah hujan. Tentu sangat gelagapan, karena ia pernah melakukannya saat kecil. Ibu mengayunkan sapu lidi ke pantat, karena ia selalu pulang sekolah terlambat. Dan alasannya sudah ibu ketahui, mampir kesungai mencari anak udang atau ikan sepat pelarian dari empang saat banjir datang. Sangat sulit menangis ditengah hujan, karena ingusmu akan tercampur dengan air hujan yang bila terhirup membuat bersin berkepanjangan.

Beberapa tahun kemudian, seseorang menulis kata-kata aku ingin berjalan di derasnya hujan agar tak ada yang tahu bahwa aku sedang menangis.. Ran menggeleng. Ia tidak akan melakukan hal aneh itu.

Hujan tinggal rinai. Beberapa anak kecil terlihat membawa payung warna-warni. Pasti mereka akan mengaji. Anak-anak. Ran mengusap perutnya. Perih.

Doni tiba saat adzan maghrib. Untung listrik sudah menyala, Ran menyiapkan makan malam dan air hangat untuk mandi. Ibu menelepon saat mereka selesai shalat. Kamar ibu kebanjiran, ada atap yang bocor. Libur minggu ini Doni disuruh pulang, sekalian menjemput ibu karena ia sudah janji akan datang ke rumah mereka.

Ran pura-pura melipat mukena saat Doni menatap minta persetujuan. Tapi saat makan, ia berkata “Pulanglah, aku tidak apa-apa..”
*
Seperti yang Ran duga, sesampainya di rumah, Lani sudah kuyup. Tapi cuciannya sudah tidak ada. Itu artinya Pras di rumah.

Memang benar, ada mobil Nino terparkir di garasi. Ruang tengah nampak benderang, mereka bermain game. Tidak ada yang aneh. Lani pun hanya sekedar lewat dan menanyakan kapan pulang, lalu ke kamar mandi. Selesai mandi ia menyiapkan makan malam. Diatas kompor tercecer bekas mie instan dan bungkusnya. Lantai pun licin karena sepertinya ada air yang tumpah. Bahkan ketika ia menyadari, kamar mandi pun tadi begitu berantakan. Dengan segenap kesabaran yang ia peroleh dari saran Ran, wanita itu membereskan segalanya. Baju kotor yang berserakan ia kumpulkan. Sesekali air mata bergulir, namun cepat-cepat lengannya  menyeka. “Ah, andai aku tidak keguguran, aku pasti sedang menimang anakku. Mengurus rumah, menjadi ibu, dan ada penyejuk jiwa saat lelah..”

Ia memaki lantai yang licin. Tumpahan minyak yang memang wajar terjadi di dapur restoran. Gumpalan darah yang keluar saat ia mandi malam sepulang kerja. Dan kenyataan bahwa dirinya mendapatkan penghargaan sebagai wanita, sekaligus ketidakberdayaannya melawan takdir. Nyeri di perut hanyalah seiris dari perih dan sesal yang menggumpal. Meratap sepilu apapun, darah itu telah mati. Tidak akan kembali ke rahimnya yang hangat dan bersemayam disana selama 9 bulan, lalu lahir menjadi bayi manis yang dinanti-nanti. Atau Pras yang terbaring di rumah sakit itu, akan siap menerima kenyataan lain, bahwa ia tidak akan bisa menjadi seorang ayah lagi, bahkan dengan wanita lain sekalipun. Terlalu perih, seperti halnya tertusuk karang lalu terpelanting ke lautan. Tidak tahu mana yang lebih sakit.

Dua butir air mata kembali bergulir. Hangat di pipi yang beku. Ia baru sadar kalau jari-jarinya pun kedinginan.

Saat makan malam telah siap, ia hanya mengingatkan Pras untuk makan, sekalian temannya. Ia sendiri terlalu lelah, bahkan hanya untuk sekedar menyendokkan sesuap nasi. Mencium aroma masakannya sudah cukup untuk mengganjal perut. Namun merebahkan diri di kasurnya yang dingin tak mengurangi rasa lelah yang merajam. Jaket yang siang tadi dibeli masih tergeletak diatas meja. Ia sudah tidak  peduli.

Tengah malam ia terbangun, dan tak mendapati Pras disampingnya. Pasti ia tidur diruang tengah, bersama Nino. Hujan tadi petang masih menyisakan dingin. Kepalanya pening, nafas terasa hangat. Kakinya melangkah ke dapur untuk minum obat. Entah kenapa ia tidak ke ruang tengah yang gelap, untuk sekedar memastikan Pras tidur dengan nyenyak tanpa kedinginan. Ia bahkan tak khawatir, suaminya tidur dengan siapa, karena Nino teman laki-laki. “Bukan apa-apa..” Gumamnya sesaat setelah obat demam meluncur di tenggorokan.

*

Tidak ada komentar :

Posting Komentar