Rabu, 25 Oktober 2017

Rumah Diantara Kabut_bagian 4

Ran memuntahkan kembali potongan apel yang baru saja ia telan. Itu makanan pertama yang ingin ia makan sejak terbangun dari bius. Namun ternyata perutnya belum bisa menerima apapun, selain air putih yang dipaksakan. Kepalanya sangat berat. Luka bekas operasi terasa berdenyut saat bergerak.

Beberapa kali darah naik ke selang infus, namun itu tak lebih parah dari mual yang ia alami. Seorang perawat membawa nampan makan siang dan obat. Ran enggan menyentuhnya, melihatnya saja membuat perut kembali bergejolak.

Dengan sabar Doni menyuapkan nasi dan kuah lauk bacam tahu. Telur rebus ia singkirkan karena Ran tidak suka.

Sungguh lebih pahit dari menelan pil tanpa air. Ran mengerang. Doni menjauhkan sendok dan nasi yang baru beberapa butir masuk ke mulut.

“Jangan dipaksa, biarkan perutnya tenang dulu.” Lani datang membawa seikat kelengkeng dan sebungkus nasi padang. Wajah dan rambutnya terlihat lebih segar.

Doni mengernyit, prihatin. Digenggamnya tangan Ran.

“Makan dulu saja. Biar aku yang menjaga Ran.” Diulurkannya bungkusan nasi padang yang membuat perut tiba-tiba menjadi tak terkendali. Tapi Doni tampak  enggan.

“Makan dulu saja, mas. Aku nggak mau kamu ikut sakit.” Ran mengangguk. “Thanks, Lan.”

“Bagaimana keadaanmu?”

Ran mengangkat bahu sambil mengerang karena perutnya tiba-tiba perih. Lapar dan mual. Lani memijit kakinya.

“Tidak apa-apa. Itu efek obat biusnya. Yang penting perbanyak minum air putih.” Ran memejamkan matanya.

“Ah, kak Ira belum datang ya?”

“Mungkin sebentar lagi. Mau aku hubungi?” Lani mengeluarkan ponselnya. Ran menyebutkan 12 digit angka.

Belum sempat nada panggilan terhubung, pintu terbuka. Kak Ira muncul, masih dengan ransel di punggung. Wanita itu langsung memeluk Ran.

“Bagaimana kondisimu?”

“Tak lebih baik dari robek tersangkut semak.” Ran tersenyum. Kak Ira melepaskan pelukannya, mengangguk kearah Lani yang sempat terabaikan.

“Ah iya, mas Iwan tidak bisa ikut. Belum bisa cuti.”

Ran mengangguk. Bahkan ia sampai lupa wajah kakak iparnya. Pertama dan terakhir bertemu hanya saat pernikahan mereka.

Kak Ira menurunkan ranselnya. Ran baru menyadari sesuatu.
“Kakak hamil?”

Kak Ira tersenyum, meski agak kaget. “Sebenarnya ini kejutan. Dua bulan lagi kakak mau pulang, tujuh bulanan di  rumah ibu. Tapi sepertinya kamu tak pernah terkejut dengan hal mengejutkan apapun.”

Ran mengakui itu. Ia bukan keturunan cenayang, tapi tebakannya sering benar. Selalu ada perasaan tertentu sebelum terjadi sesuatu.

***

Tidak ada komentar :

Posting Komentar