Ran memuntahkan kembali
potongan apel yang baru saja ia telan. Itu makanan pertama yang ingin ia makan
sejak terbangun dari bius. Namun ternyata perutnya belum bisa menerima apapun,
selain air putih yang dipaksakan. Kepalanya sangat berat. Luka bekas operasi
terasa berdenyut saat bergerak.
Beberapa kali darah
naik ke selang infus, namun itu tak lebih parah dari mual yang ia alami.
Seorang perawat membawa nampan makan siang dan obat. Ran enggan menyentuhnya,
melihatnya saja membuat perut kembali bergejolak.
Dengan sabar Doni
menyuapkan nasi dan kuah lauk bacam tahu. Telur rebus ia singkirkan karena Ran
tidak suka.
Sungguh lebih pahit
dari menelan pil tanpa air. Ran mengerang. Doni menjauhkan sendok dan nasi yang
baru beberapa butir masuk ke mulut.
“Jangan dipaksa,
biarkan perutnya tenang dulu.” Lani datang membawa seikat kelengkeng dan
sebungkus nasi padang. Wajah dan rambutnya terlihat lebih segar.
Doni mengernyit,
prihatin. Digenggamnya tangan Ran.
“Makan dulu saja. Biar
aku yang menjaga Ran.” Diulurkannya bungkusan nasi padang yang membuat perut tiba-tiba
menjadi tak terkendali. Tapi Doni tampak
enggan.
“Makan dulu saja, mas.
Aku nggak mau kamu ikut sakit.” Ran mengangguk. “Thanks, Lan.”
“Bagaimana keadaanmu?”
Ran mengangkat bahu
sambil mengerang karena perutnya tiba-tiba perih. Lapar dan mual. Lani memijit
kakinya.
“Tidak apa-apa. Itu
efek obat biusnya. Yang penting perbanyak minum air putih.” Ran memejamkan
matanya.
“Ah, kak Ira belum
datang ya?”
“Mungkin sebentar lagi.
Mau aku hubungi?” Lani mengeluarkan ponselnya. Ran menyebutkan 12 digit angka.
Belum sempat nada
panggilan terhubung, pintu terbuka. Kak Ira muncul, masih dengan ransel di
punggung. Wanita itu langsung memeluk Ran.
“Bagaimana kondisimu?”
“Tak lebih baik dari
robek tersangkut semak.” Ran tersenyum. Kak Ira melepaskan pelukannya, mengangguk
kearah Lani yang sempat terabaikan.
“Ah iya, mas Iwan tidak
bisa ikut. Belum bisa cuti.”
Ran mengangguk. Bahkan
ia sampai lupa wajah kakak iparnya. Pertama dan terakhir bertemu hanya saat
pernikahan mereka.
Kak Ira menurunkan
ranselnya. Ran baru menyadari sesuatu.
“Kakak hamil?”
Kak Ira tersenyum,
meski agak kaget. “Sebenarnya ini kejutan. Dua bulan lagi kakak mau pulang,
tujuh bulanan di rumah ibu. Tapi
sepertinya kamu tak pernah terkejut dengan hal mengejutkan apapun.”
Ran mengakui itu. Ia
bukan keturunan cenayang, tapi
tebakannya sering benar. Selalu ada perasaan tertentu sebelum terjadi sesuatu.
***
Tidak ada komentar :
Posting Komentar