Kamis, 12 April 2018

Rumah Diantara Kabut_bagian 6

Lani memainkan ujung pulpennya diatas meja. Ia memandang sekilas ke seberang jalan. Terik matahari membuat aspal terlihat bergoyang, menguap. Seorang anak kecil dengan lesu menyusuri pinggiran jalan yang menguap itu, tanpa alas kaki. Matanya memandang kebawah, seperti mencari-cari sesuatu.

“Bu, pesanan atas nama ibu Maria sudah jadi. Mau ditelepon sekarang orangnya?”

Seorang pegawai membuyarkan lamunannya.

“Ya sudah. Jangan lupa bonusnya dipacking sekalian.” Lani meraih telepon, dan mulai menghubungi nomor di buku pemesanan.

Dua pengemen cilik berdiri di depan pintu. Dengan bermodalkan tutup botol minuman soda yang dipipihkan dan dipaku menjadi satu dalam sebalok kayu, mereka bernyanyi. Seorang lainnya menenteng bungkus permen kumal, berisi beberapa koin.

Lani menatap mereka dari balik kaca. Sayup-sayup terdengar lirik lagu yang sering ia dengar di bus kota.

Hidupku dulunya seorang pengamen,
Pulang malam selalu bawa uang recehan,
Mengejar cita-cita paling mulia,
Membantu keluarga di rumah..

Lagu terhenti karena anak yang paling kecil batuk-batuk. Temannya yang khawatir memijit tengkuknya. Lani membuka pintu, kedua anak itu mundur beberapa jengkal.

“Kenapa adikmu?” Lani memberikan sebotol air mineral.

“Terimakasih, Bu. Dia sedang sakit. Beberapa hari ini suka batuk-batuk, kadang sampai berdarah.” Matanya berkaca-kaca.

“Kalian baru di daerah sini? Saya tidak pernah melihat kalian.”

Anak itu mengangguk. Lani masuk sebentar mengambil minyak angin dan beberapa bungkus kue.

“Terimakasih, Bu. Kami pamit dulu.”

Kedua anak itu pergi. Batuknya sesekali masih terdengar, kering dan berat. Lani menghela nafas panjang. Beberapa saat ia kembali melamun, hari ini pikirannya sangat kacau. Diambilnya kunci motor, lalu berpamitan kepada pegawainya. Ia ingin istirahat di rumah.

Pras tadi telepon, ia pulang cepat hari ini. Terasa canggung, karena sejak waktu itu mereka jadi jarang mengobrol. Bahkan Lani merasa, mereka hanyalah “teman” satu rumah yang terikat dalam kalimat akad di bulan Januari, tiga tahun yang lalu. Kamar yang dulu hangat, kini seakan membeku karena hanya ia yang menempati. Pras terlalu sering untuk berpura-pura, ketiduran di depan tv.

Sebelum ke rumah, Lani mampir ke pasar. Ia berniat masak untuk Pras hari ini. Sayur lodeh dan ikan tongkol adalah kesukaannya. Dulu saat awal-awal pernikahan, hampir setiap hari Lani masak sayur tersebut, hingga suatu hari Pras mengalami magh akut dan dokter menyarankan untuk mengurangi konsumsi santan.

Seperti yang ia duga, Pras tertidur di depan tv. HPnya tergeletak di meja, sekilas Lani melihat ada panggilan masuk namun nadanya tak terlalu keras. Ia berniat membangunkannya, namun urung. Canggung.

Diteruskannya langkah menuju dapur. Kondisinya masih sama seperti tadi pagi, Pras belum membuat mie instan seperti biasanya jika Lani belum masak. Wanita itu buru-buru menyalakan kompor dan merebus air, sambil mengupas terong. Hanya butuh waktu satu jam, sayur lodeh dan balado tongkol tersaji. Baru saja ia melangkah ke depan untuk membangunkan Pras, laki-laki itu muncul diambang pintu.

“Hmm, sayur lodeh ya?” Ia menghampiri meja makan, namun Lani mencegah.

“Cuci muka dulu.”

Pras tersenyum. Entah kenapa Lani berdebar melihatnya, seperti ketika pertama kali mereka berkenalan di parkiran sebuah café, empat tahun yang lalu. Senyum yang sama, namun tak pernah terlihat lagi sejak ia dirawat di rumah sakit.

“Kamu sudah makan?” Pras membuyarkan lamunannya.

“Hmm, belum. Kamu makan dulu sa..”

Pras menarik lembut tangannya yang masih memegang lap. Menuntunnya ke meja makan. “Ayo, makan sama-sama.”

Lani seperti terlempar ke beberapa tahun yang lalu. Pras yang romantis, pengantin baru yang harmonis. Meja makan yang selalu mereka isi berdua, dengan aneka masakan yang baru matang. Ia hampir saja menangis, jika Pras tak menyuapkan sayur yang masih hangat ke bibirnya.

“Aduh..”

“Eh, masih panas ya?” Pras buru-buru meniup suapannya.

“Jangan ditiup, katanya nggak bagus.” Lani  mencegah.

“Masa sih? Aku baru tahu. Dulu ibu kalau menyuapi aku ditiup dulu, bahkan kadang dimasukkan ke mulutnya untuk memastikan masih panas atau nggak.”

Lani tertawa.  Dulu ibunya juga melakukan hal yang sama. Dan baru-baru ini, ia membaca info disebuah majalah kesehatan, bahwa cara tersebut tidak baik karena bisa menularkan penyakit dari orang tua ke anak-anak melalui udara ataupun liur.

Pras makan dengan lahap. Lani merasa beku yang menyelimuti rumahnya perlahan mencair. Seiring sayur lodeh pedas yang menghangatkan perutnya. Ia merasa ini hal yang bagus untuk memulai kembali segalanya dari awal, sebuah keluarga yang hangat.

“Lan..” Pras memegang tangan Lani yang akan membawa piring kotor ke belakang.

“Ya?”

“Ada yang ingin aku bicarakan.”

Lani terhenyak, menaruh kembali piring kotor ke meja. “Katakan..”

Pras menarik nafas dan diam untuk beberapa saat. Lani hanya sesekali memandang matanya.

“Kemarin aku tidak sengaja bertemu dokter yang merawatku dulu. Ia masih mengenaliku, dan kamu tahu, ia bilang apa?”

Lani menggeleng dengan perasaan tidak enak.

“Ia menawariku terapi, agar kita bisa punya anak.” Pras terdiam sebentar, menatap Lani. “Kenapa kamu tidak pernah memeberitahuku, bahwa sejak kecelakaan itu aku mandul?”

Lani tertunduk. Air mata yang tergenang mulai mengalir hangat di pipinya.

“Maaf, Pras. Aku nggak mau kamu terbebani..”

“Dan kamu menanggung beban ini sendirian?”

Lani tak menjawab. Tenggorokannya tersumbat oleh berbagai perasaan. Pras memeluknya.

“Maafkan aku, karena selama ini aku tak berusaha mencari tahu dan hanya menyalahkanmu.”

Bebrapa saat hanya waktu yang bergulir perlahan dalam hening. Sesekali isakan Lani masih terdengar.

“Jadi, kamu mau ikut terapi?” Tanya Lani setelah tenang.

Pras hanya menghela nafas dalam-dalam. Tak ada yang ia katakan setelahnya. Mungkin itu jawaban dari pilihan Lani beberapa bulan kemudian. Pilihan untuk melepaskan diri dari ikatan suci yang telah berjalan tiga tahun. Ada duri yang berkamuflase dalam seikat lily yang baru mekar. Orang ketiga tak terduga.
*

Selasa, 27 Maret 2018

Rumah Diantara Kabut_bagian 6

Aku ingin membaur bersama angin. Menceritakan semua rahasia, tanpa ada yang mengerti karena derunya menyamarkan kalimatku.
Tapi bolehkah aku berharap, satu hembusan menerjemahkan rinduku, menyampaikannya kepada dia yang indah? Sebuah putik kecil pemberi harapan, pelipur lara.
Bukan salah mawar, ia memiliki duri yang melukai. Bukan salahnya, ketika ia tak bisa ku genggam.
Tapi hati ini yang salah, menyematkan butiran kasih pada jiwanya yang tulus.

“Halo, Sam. Kamu sudah bangun?”

Ibu menelepon jam 4 pagi. Sam membuka matanya dengan enggan, meraih handphone yang berdering tiga kali sebelum akhirnya ia angkat.

“Iya, bu. Ada apa?”

“Kamu baik-baik saja kan? Perasaan ibu nggak enak.”

Sam terdiam sejenak. Menghela nafas panjang. “Tentu. Bagaimana dengan kalian?”

“Eja bulan depan mulai sekolah. Dia sudah lancar membaca lho.”

“Syukurlah..”

“Hmm, sebenarnya ada yang ingin ibu sampaikan.”

“Ya?”

“Kemarin Sekar meminta nomormu. Apa dia sudah menghubungi?”

Tak ada jawaban. Sambungan telepon terjeda dengan panggilan masuk. Nomor baru.

“Ya, halo?”

“Ha..lo, Sam. Ini..Sekar.”

Entah kenapa, jarinya tiba-tiba menekan simbol merah di layar 7 inchnya. Beberapa menit tak ada panggilan lagi. Ia merasa lega sekaligus tak enak.

Terakhir kali yang ia ingat, Sekar berdiri di ujung dermaga. Rambutnya yang hitam lurus dibiarkan tergerai, dipermainkan angin laut. Tompelnya makin memudar, atau mata Sam yang salah lihat. Kapal itu mulai bergerak, diiringi lambaian tangan sanak saudara yang ikut mengantar perjalanan mereka menuju ibu kota. Sekilas, sebelum orang-orang itu mengecil dan hilang dari pandangan, Sam melihat Sekar mengeluarkan selembar kertas dari kantongnya. Diangkatnya tinggi-tinggi kertas bertuliskan spidol hitam itu. “Bodohnya. Dia pikir mataku setajam elang, bisa melihat dari jarak sejauh ini.” Tapi Sam membalas juga dengan lambaian, dan ia merasa Sekar tersenyum saat itu.

Beberapa saat ia termangu. James masih terlelap dibalik selimut. Sesekali dengkurannya terdengar seperti nafas kucing. Diluar, angin terasa berdamai dengan ombak. Sam meraih kembali ponselnya, dan membuka facebook. Entah kenapa ia mengetikkan nama ‘Sekar’ di pencarian. Ada banyak nama yang muncul. Ia memilih salah satu akun dengan profil foto close up seorang  gadis dengan tanda lahir yang tak bisa disembunyikan. Jantungnya berdegup saat mengklik foto tersebut. Ya, memang Sekar. Tidak banyak yang berubah dari 11 tahun lalu. Rambutnya masih tetap panjang, bahkan terlihat lebih panjang, tompelnya masih melekat dibawah mata kiri, tak berpindah. Hanya beberapa jerawat menghiasi pipi kanan, namun membuatnya terlihat lebih dewasa. Tidak banyak foto yang diunggah, beberapa foto dengan teman-teman sekelasnya saat perpisahan sekolah, dan satu foto dirinya memegang kertas di pantai. Sam terkejut. Itu kertas yang ditunjukkan dulu, saat di dermaga. Tulisannya mulai pudar, namun masih bisa terbaca. “AKU YAKIN KAMU PASTI AKAN KEMBALI. SEKAR, UNTUK SAM.”

Sam menarik nafas dalam-dalam. Mungkinkah Sekar menyukainya sejak kecil? Atau  sejak ayahnya membuat perjanjian dengan Abah Somad? Sam sangat menyesali keputusan ayah, meminjam uang yang tidak sedikit kepada laki-laki licik itu, sebelum tambak mereka di racuni orang. Yang mengherankan, Abah Somad tak meminta uang itu dikembalikan. Sam yang curiga berusaha mencari tahu. Hingga suatu malam ia mendengar ayah dan ibu membicarakan perjodohannya dengan Sekar.
Waktu merayap lambat. Geliat rindu memenuhi rongga jiwa yang hampa. Sam mengetikkan sebuah nama lagi di menu pencarian. R the Writer. Sam harusnya tahu, nama itu tak mungkin ada, karena sejak hari itu ia telah menghilang. Benar-benar menghilang, bahkan semua pertemanan dengan Sam di media sosial telah di blokir. Dengan putus asa, ia memejamkan mata. Berusaha mengingat bentuk senyumnya, namun yang muncul wajah wanita lain. Ah, apa kau juga menghapus ingatanku, putri?

*

Selasa, 27 Februari 2018

Rumah Diantara Kabut_bagian 6

Sekumpulan anak-anak SD berkerumun di pematang sawah. Riuh suaranya mengusir pipit yang akan mencomot sebutir padi di pematang sebelah. Seorang anak memperhatikan dari jauh. Lengan seragam putih itu tergulung, kulit lengannya mengkilap tertimpa terik matahari pertengahan bulan September. Ia mulai jengah saat kerumunan itu bertambah dua orang. Diayunkannya langkah mendekati anak-anak itu.

“Kalian tak pernah bosan mengganggu anak perempuan, ya.”

Seorang anak yang paling kecil menoleh. Raut wajahnya langsung berubah kecut. Ia mundur perlahan dan berlari meninggalkan teman-temannya.

Anak itu kembali mengulangi kata-katanya dengan nada tinggi. Serentak bocah-bocah bertangan dekil itu menoleh. Seorang yang paling besar maju sambil mengayunkan genggaman berisi lumpur sawah berbau amis.

Sekali berkelit, ia menjatuhkan anak laki-laki yang berbadan lebih besar darinya. Anak-anak yang lain langsung lari setelah ada yang berbisik bahwa ia sang jago karate.

“Awas kamu, Sam!”

Anak itu tertatih menyusul kawan-kawannya yang tunggang langgang. Mukanya yang hitam tercoreng lumpur yang ia genggam sendiri. Sam tertawa melihatnya.

Gadis itu terduduk dibawah pohon pisang. Wajahnya tercoreng lumpur yang mulai mengering, menutupi tompel dibawah mata kirinya. Beberapa kali ia menarik-narik saku bajunya dan menangis. Sam mengulurkan sapu tangannya.

“Kan sudah ku bilang, adukan saja sama ayahmu. Kamu juga jangan diam saja kalau mereka mengganggu.” Sam menggerutu.

Tangisan gadis itu makin keras, saat ada sesuatu yang menggeliat dari sakunya. Seekor cacing besar berusaha keluar karena merasa kepanasan. Sam mengambilnya.

“Aih, hanya seekor cacing. Kenapa harus menangis sih.”

Sam memeriksa tas selempang merah yang juga kotor. Seekor belut menggeliat diantara buku-buku pelajaran.

“Nih, mau kamu bawa pulang buat lauk?”

Gadis itu menggeleng cepat. Ia pun takut dengan belut.

“Ya sudah. Aku bawa pulang. Lain kali minta ayahmu untuk menampar bokong mereka.” Sam berlalu meninggalkan gadis itu. Dari jauh seorang laki-laki berkumis berlari-lari sambil mengepalkan tinju. Sam mempercepat langkahnya, enggan berurusan dengan si kumis juragan kapal nelayan di kampungnya.

Tapi ternyata ia harus menghadapi laki-laki itu sore harinya. Bersama anak gadisnya, ia datang ke rumah membawa durian dan kebutuhan dapur. Ayah dan ibu menyambut dengan sangat ramah, namun Sam membuang muka. Ia sudah menduga kedatangannya bersama oleh-oleh itu ada maksud dan tujuan yang tidak ia sukai.

Benar saja, setelah berbasa basi mereka pulang. Ayah memanggil Sam yang menyibukkan diri memperbaiki jala.

“Sam..kamu tahu anaknya Abah Somad kan?”

Sam hanya berdehem. Jari-jarinya semakin cepat menyulam lubang jala yang tersangkut karang, kemarin.

“Beliau meminta kamu untuk menemani anaknya si…ah ya Sekar, setiap berangkat dan pulang sekolah. Kalian hanya beda setingkat kan?”

“Kenapa harus aku? Dia kan ada dua abang.”

Ayah tersenyum. Jarinya yang kekar mengusap rambut Sam yang ikal.

“Karena kamu jago karate.”

“Kalau aku tidak mau?”

“Kalau kamu mau, Abah Somad akan menyewakan kapalnya dengan harga murah. Ayah juga akan diberi pinjaman untuk memperbaiki tambak. Nanti kalau sudah panen, ayah belikan kamu dan ayuk sepeda.”

Sam tidak menjawab. Tapi keesokan harinya, ia berangkat ke sekolah bersama gadis itu, yang menunggu di persimpangan jalan, dibawah pohon durian. Setiap hari, kecuali hari minggu. Suatu ketika, Sam melihat tempat gadis itu berpijak tak berumput. Ia tak pernah berpindah dari titik itu, sampai suatu pagi berangin, sebuah durian setengah umur jatuh dan menimpa punggungnya. Sejak saat itu ia berpindah tempat, di pinggir parit tak jauh dari pohon durian.

Hari-hari selanjutnya, Sekar memang tak diganggu anak-anak lagi. Diam-diam, terkadang ia tersenyum dibalik punggung Sam yang berjalan setengah berlari. Dengan berlari kecil, ia mengikuti. Terik matahari menambah butir-butir keringat yang menetes dari selah-selah ketiak dan pelipis. Ia tak peduli, tak sempat menyekanya dengan sapu tangan bunga-bunga di kantong roknya. Karena ia bahagia, tak ada lagi belut di dalam tas, bau lumpur yang mengering di  muka, atau panggilan si tompel.

Sam berjalan tanpa pernah menoleh kearahnya. Sesekali ia memperlambat langkahnya, karena Sekar masih jauh dibelakang. Atau menunggunya sambil memetik beberapa buah jambu monyet di sisi jalan.

Sekar tak pernah mengajaknya bicara. Sam pun selalu berharap ia tak melakukan itu. Suatu pagi, ia tak ada dipinggir parit. Sam menunggunya beberapa menit, namun ayahnya yang muncul membawa surat ijin. Sekar sakit. Hari itu, Sam seperti kerbau tanpa pedati. Bebas tanpa beban. Hanya hari itu, karena malamnya Abah Somad datang membawa sepeda baru, lengkap dengan boncengan. Tentu untuk Sam dan anak gadisnya, Sekar.

*

Selasa, 06 Februari 2018

Rumah Diantara Kabut_bagian 6

Sam membersihkan rompinya di wastafel. Noda muntahan itu terlalu menyengat. Ia membuka rompi hitam tersebut dan mengguyurnya dengan air kran. Sudah lumayan menghilang, namun sekarang tidak bisa dikenakan lagi. Basah.

“Go away, and change your vest!”

James muncul dari balik punggungnya. Laki-laki berkulit legam itu mengibas-ngibaskan tangannya.

“How about my jobs? I have five tables that have to be served.”

“I can do it for you.”

Sam menepuk pundak teman baiknya itu, lalu bergegas ke kabin untuk mengganti seragam. Ia tak bisa berlama-lama, karena bar sedang ramai.

Wanita itu masih meracau. Teman lelaki disampingnya terus menenggak beberapa botol bir, sambil sesekali mencium lehernya. James sibuk melayani beberapa meja, sambil matanya mengawasi si wanita yang belum lama menabrak dan memberi muntahan kepada Sam.

Langit malam sangat cerah, laut pun nyaris tak ada gelombang. Jajaran bintang seperti mutiara lepas dari untaian. Angin lembut beraroma asin mempermainkan rambut-rambut yang tergerai, menyingkap leher-leher jenjang, membuat para lelaki menatap nanar.

Wanita bergaun hitam itu berjalan sempoyongan. Lagi-lagi menabrak Sam yang sedang membawa botol kosong. Salah satu botol terjatuh, untung tidak pecah. Teman lelakinya hanya menengok sebentar dan tidak melakukan apapun.

“Uh, sory..toilet?”

Sam menunjukkan arahnya. Ia membantu wanita itu berdiri. Tentu dengan menjaga jarak, karena seragamnya tak ingin kotor lagi. James melintas sambil berbisik. “A dumb drunker!”. Sam tertawa. “Kamu ada masalah dengan dia?” Lelaki itu mengangkat bahu. “Tidak suka wanita seperti itu.”

Waktu bergulir diantara terang dan petang. Melesat bersama himpunan kerinduan yang terangkum dalam diam. Sam tak ingin memperpanjang kontraknya. Ia menyukai laut, tapi lebih cinta dengan pantai. Ia  rindu keramba-keramba yang penuh sesak dengan udang, hasil panen bulan itu. Bahu kekar ayahnya yang mengangkat jala, dan aroma amis berujung manis dalam setiap akhir hitungan timbangan. Dulu, lengan Sam masih kecil. Belum cukup kuat untuk menebar jala. Namun ayahnya tanpa bosan selalu menyemangati, mengiming-imingi sepeda gunung keluaran terbaru, dan tambahan uang jajan.

Dulu, sebelum semuanya tergerus roda waktu. Sebelum udang-udang itu ditemukan mati bergelimpangan, karena keracunan. Selalu ada iri, dalam setiap kesuksesan. Bahkan dari hati keluarga sendiri.

Dengan tenang, ayah Sam merelakan. Ia sewakan lahan itu, dan membawa keluarganya ke Jakarta. Tak ada sepeda baru, namun Sam cukup paham. Ia harus terbiasa dengan perubahan, bahkan dengan perubahan kulit ayahnya setelah berada di Ibu Kota dan membuka usaha warung makan.

Kini, tambak-tambak itu seolah terhampar kembali dipelupuk mata, setelah ayahnya berniat mengajak pulang. Namun satu hal perjanjian fatal selalu membuatnya enggan. Perjanjian yang membuatnya menjadi lelaki pecundang, menyakiti seseorang yang dengan payah ia temukan diantara kerlipan bintang. Senja itu, dengan bodohnya ia percaya, bahwa “dia” benar akan baik-baik saja lalu membiarkan langkahnya menderap tanpa jejak.

James menyenggol bahu Sam, menunjukkan jam tangan hitam yang terlihat seperti bermimikri di pergelangan tangannya. Sudah waktunya pergantian shift. Beberapa staf pengganti terlihat segar dengan aroma sabun mandi yang masih terselip diantara parfum dan pomade.

“Kamu seperti sedang memikirkan sesuatu. Tell me about your problem.”

Sam tersenyum. Setelah mandi, pikirannya sedikit tenang. Tapi ternyata James bisa membaca sisa gejolak kegelisahannya.

“Kamu tahu kan, saya tidak akan memperpanjang kontrak?”

“Ya. Apa yang akan kamu lakukan?”

“Pulang.”

James tersenyum, namun segera mengernyitkan kening saat muka datar Sam menatapnya.

Yeah, of course. You will go home, see your family and everything is ok, right?

I wish right.”

Sam menutup matanya setelah mengucapkan selamat tidur. Lima menit kemudian terasa pegal, karena matanya tak ingin lelap. Ia merasa James belum tidur, dan sedang memandangi dirinya dari seberang tempat tidur. Namun suara dengkuran yang khas membuatnya tak yakin James melakukan hal itu.

Hawa dingin menjalari tubuh, saat Sam membuka sedikit matanya. Laki-laki setengah baya berjambang lebat itu berdiri di sudut menatapnya, sebelum kemudian menghilang dalam remang-remang bulan purnama yang menembus celah jendela.

*


Sabtu, 30 Desember 2017

Rumah diantara Kabut_bagian 5

Hawa dingin menembus melalui sela-sela jendela, meski telah ditutup rapat-rapat. Embun menghiasi dinding-dinding kaca yang membeku. Di sebelah timur, matahari mulai menampakkan benang-benang emasnya diantara kabut. Beberapa rombongan wisatawan yang terlambat mulai bergegas, menuju arah bukit Sikunir. Menurut penduduk sekitar, setiap pagi bukit kecil itu tak pernah sepi oleh orang-orang yang ingin menyaksikan “telor ceplok raksasa”.

Anggi menghela nafasnya yang berasap. Jaket tebalnya ia rapatkan. Bus kecil itu mulai bergerak menuju desa Parikesit. Sepanjang jalan, terhampar perkebunan carica dan kentang. Beberapa petani memikul keranjang-keranjang kecil hasil panen mereka.

Disebuah tikungan, bus mengerem mendadak. Seorang ibu dengan karungnya melambaikan tangan. Kondektur mulai mengangkut karung berisi kentang-kentang segar. Ibu berkerudung selendang itu duduk disamping Anggi.

Bus kembali melaju dalam keheningan. Terkadang terdengar percakapan sopir dengan kondektur dalam bahasa daerah yang tak dimengerti Anggi. Si ibu menoleh kearahnya, dan tersenyum. Ia menawarkan permen jahe rumahan tanpa merk.

“Monggo, mbak. Permen jae damelane kula kiyambak..”

Anggi menggeleng. “Maaf, saya tidak paham.”

“Oh, orang Jakarta ya?” Si ibu tersenyum lebar, mencoba berbahasa Indonesia dengan logat jawanya.
Anggi tersenyum. Ia mengangguk sambil menggosok-gosokkan tangannya yang kaku.

“Ini lho, makan ini biar anget. Mbaknya mau kemana?”

“Desa Parikesit, Bu. Masih jauh ya?”

“Ohh, ndak kok. Kula..eh aku juga mau kesana, ketempat menantu sekalian kondangan.”

“Wah..kebetulan sekali ya.” Anggi tersenyum. Permen jahe buatan ibu itu memang enak. Hangat dan manis.

“Mbaknya mau kerumah siapa? Barangkali aku kenal.”

Bus kembali mengerem mendadak. Truk didepannya tiba-tiba berhenti.

“Ah, teman saya. Namanya Ibrahim. Syarif Ibrahim.”

Si ibu terlihat mengernyitkan keningnya, mencoba berpikir. Beberapa penumpang sekilas melihat kearah mereka yang bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia.

“Ibrahim, putranya Pak Bahar bukan? Yang di Wadas Putih?”

Anggi menggeleng. “Saya tidak tahu. Saya kesini pun belum tahu rumahnya.”

“Lho, apa ndak takut nyasar? Kok temanmu itu ndak jemput atau kasih alamat yang jelas.”

“Dia tidak tahu saya kesini kok. Ah, ibu namanya siapa?”

“Panggil saja Mbok Ranggi. Lha mbak siapa?”

Sambil tertawa, Anggi menggenggam tangan mbok Ranggi. “Saya Anggi, mbok.”

Wanita setengah baya itu terkejut, karena namanya hampir sama.

“Oalah, lha kok mirip ya. Eh, mbak Anggi kalau mau, ikut mbok dulu saja. Nanti biar mbok bantu cari teman kamu itu. Kebetulan kondangannya juga ndak jauh dari rumah menantu saya. Nanti selesai kondangan kita ke kelurahan.” Mbok Ranggi menawarkan bantuan. Entah kenapa, Anggi merasa percaya dengan wanita desa yang polos namun sopan dan berwibawa itu.

“Baiklah. Terimakasih sebelumnya, mbok.”

Tiga puluh menit kemudian bus berhenti. Mbok Ranggi mengajaknya turun.

”Dari sini, kita naik ojek mbak.”

Mbok Ranggi memesan dua ojek. Anggi memaksa untuk membayar tarifnya, setelah wanita itu beberapa kali menolak.

Jalanan mulai terjal. Beberapa kali sangat licin karena guyuran hujan semalam. Kepala Anggi sangat berat. Dua hari ia kurang tidur, meski telah mendapatkan tempat penginapan di sekitar Wonosobo. Ia hanya ingin memastikan, laki-laki itu baik-baik saja meski harus berkorban meninggalkan Arumi beberapa hari dan naik kereta ke Jawa Tengah.

Ojek memasuki wilayah perkampungan. Pemandangan hijau disekitar sedikit meringankan lelah. Mbok Ranggi yang berada di depan menunjukkan sebuah tempat. Sebuah hiasan janur kuning melengkung, masih sangat segar. Dibawahnya tergantung sebuah tulisan tangan yang indah. Ibrahim bin Bahar & Alisa binti Mahmud. Anggi merasa jantungnya berhenti sesaat. Ia tak melihat mempelai, karena acara belum dimulai. Merekapun berhenti disebuah rumah berpagar bambu. Rumah menantu Mbok Ranggi.

“Nah, sudah sampai mbak. Ini anakku.”

Mbok Ranggi memperkenalkan seorang wanita dua puluh tahunan yang menggendong bayi laki-laki. Wanita itu sempat bertanya sebentar kepada ibunya, sebelum kemudian tersenyum dan mempersilahkan masuk.

Sesaat setelah melepas lelah, Anggi membantu Ratih, anak Mbok Ranggi menyiapkan sarapan. Bayinya di gendong sang nenek di halaman.
“Maaf, mbak merepotkan..”

Ndak apa-apa mbak. Anggap saja kami keluarga.”

“Oh ya..kalau boleh tahu, yang menikah itu namanya  siapa? Ah, laki-lakinya maksud saya..”

Ratih merendam potongan kentang dengan air garam. “Itu teman sekolah aku dulu mbak. Namanya Ibrahim, anaknya Pak Bahar. Belum lama ini dia dibawa pulang karena kecelakaan. Terus setelah sembuh, sama bapaknya dijodohin..”

Muka Anggi pucat. Jantungnya seperti tersengat hawa dingin pegunungan Dieng. Ratih terkejut.

“Kenapa, mbak?”

“Dia..kerja dimana?”

“Emm..di Jakarta.”

Anggi merasa perutnya sangat mual. Bayang-bayang janur kuning menjerat kepalanya yang semakin berat. Ratih yang panik menuntunnya ke ruang depan. Ia tak sadarkan diri.

*

Arumi memperhatikan Ran yang sedang mengaduk bubur ayam. Aroma sedap menyebar di dapur kecil itu. Mbak pengasuh beberapa kali mengajak gadis kecil itu keluar dari dapur, namun Arumi selalu menolak.

“Arumi mau lihat Tante Ran masak.” Rengeknya.

Ran tertawa. Ia mengambil sesuap kecil bubur yang masih meletup-letup, mendiamkannya sebentar, lalu diberikan ke Arumi.

“Enak nggak, sayang?”

Arumi mengangguk sambil mendecapkan lidahnya. Ia pun mengambil mangkuk kecil.

“Arumi mau kasih ke Tante Anggi.”

“Sebentar ya, masih panas.”

Ran mematikan kompor saat Doni menelepon. Ia menanyakan jam berapa harus menjemputnya. Ran menatap jam di dinding ruang tengah. Masih 5 jam lagi sebelum film mulai.

“Dua jam lagi, mas. Ini baru selesai buat bubur.”

Anggi terbaring dengan selimut tebal. Wajahnya sangat pucat, namun panasnya sudah mulai turun setelah dikompres. Ran menggenggam tangannya yang dingin.

“Makan dulu, mbak. Ini Arumi mau suapin katanya.”

Anggi tersenyum. Ran sangat prihatin setelah tadi Arumi meneleponnya. Sudah tiga hari wanita itu demam. Mbak pengasuh sudah memanggil dokter, namun belum ada perubahan.

“Makasih ya, Kirana. Kamu apa kabar?”

Ran memijit lengannya yang terasa lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu. “Alhamdulillah, sudah baik mbak. Setelah operasi, saya sudah nggak kerja lagi.”

Arumi mengaduk dan meniup bubur yang masih mengepul agar cepat dingin. Anggi tersenyum melihat tingkahnya.

“Arumi, kenapa kamu malah menelepon Tante Ran?”

Gadis itu terlihat cemberut. Mbak pengasuh mengusap kepalanya.

“Tadi Arumi menelepon Tante Farah, tapi malah dimarahin. Suaranya juga berisik sekali.”

Anggi menatap mbak pengasuh. Wanita muda itu mengangguk. “Iya, Bu. Sepertinya Mbak Farah sedang mabuk.” Bisiknya.

Anggi baru ingat, temannya itu sedang berlibur dengan kapal pesiar. Mungkin ia tidak tahu kalau Arumi yang menelepon.

Selesai makan, Anggi menyuruh Arumi untuk mandi. Ran menatap mata Anggi yang terlihat gelisah.
“Kalau nggak keberatan, ceritakan saja apa masalah mbak. Siapa tahu saya bisa bantu..”

Anggi menunjukan beberapa gambar di HPnya. Ran mengamati daerah dalam foto tersebut.

“Ini..seperti di daerah Dieng.” Gumamnya.

“Iya. Beberapa hari yang lalu, aku kesana untuk mencari seseorang..”

Suara riang Arumi terdengar dari arah kamar mandi. Terkadang ia berteriak kecil saat sabun mengenai matanya.

Ran mengulurkan tisu, menyeka butiran air mata di pipi tirus Anggi yang sedang rapuh. Ia menggenggam kedua tangan berjari lentik itu.

“Ran, kamu bisa membantuku…menjadi, muallaf?” Suara Anggi lirih. Ada getar dalam kata terakhir.

Insya Allah, mbak. Tentu saja dengan senang hati.”

Ran sempat terkejut dengan pilihan wanita itu. Bagaimanapun, ini bukanlah pilihan mudah jika bukan dari keikhlasan hati.

Arumi telah selesai mandi. Mbak pengasuh pun mengetuk pintu kamar Anggi untuk meminta izin shalat ashar. Namun ia terkejut saat melihat wanita itu tengah bersimpuh dalam balutan mukena putih bersih, bersama Ran yang menuntunnya untuk membaca kalimat syahadat.

Suara iqomah terasa berbeda di senja penuh makna, mengiringi lafal indah yang mengawali kehidupan baru seorang wanita muallaf.


**